Mengapa pandemi berdampak langsung pada masalah persewaan hunian dan pemenuhan kebutuhan hidup bagi mahasiswa? Baru-baru ini dalam berbagai pemberitaan, Presiden Joko Widodo memaklumi keputusan warga untuk ‘pulang kampung’ di tengah pemberlakuan PSBB dan karantina wilayah.
Hal ini memang kelihatannya bertolak belakang, namun masih relevan menurut Presiden Jokowi dikarenakan banyaknya masyarakat yang harus memilih untuk membayar sewa hunian atau untuk membeli sembako di tengah menurunnya upah kerja mereka. Begitu pula dengan sebagian besar mahasiswa yang menuntut ilmu di tanah rantau memutuskan untuk pulang kampung karena beratnya biaya sewa kos-kosan jika dikaitkan dengan pendapatan orang tua siswa yang tentunya juga mengalami dampak. Kendati demikian masih ada mahasiswa yang tetap tidak dapat ‘pulang kampung’ karena mempertimbangkan protokol kesehatan melawan Covid-19 serta adanya resiko menjadi carrier Covid-19.
Sementara itu di Austalia, www.theconversation.com telah melakukan survei kepada banyak mahasiswa terkait dengan masalah persewaan hunian dan kebutuhan untuk bertahan hidup di tengah pandemi ini.
Menurut www.theconversation.com , mahasiswa yang disurvei terdiri dari tiga sektor perkumpulan mahasiswa: “Our survey covered all three post-secondary sectors – universities, vocational education and training, and English language (ELICOS) – and we received over 7,000 valid responses from students in the private rental sector in Melbourne and Sydney”. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa sebagain besar mahasiswa menjadi sangat khawatir dengan pembayaran sewaan hunian dan ketersediaan serta kemampuan untuk pengadaan sembako selama masa pandemi.
www.theconversation.com menyatakan bahwa “when we asked students whether losing their job would mean they would not be able to pay the rent, 57% agreed or strongly agreed. Only a quarter disagreed or strongly disagreed. The results suggest 40-50% of the international students renting privately – about 150,000 people – may now be unable to pay their rent”.
Kerja Demi Sewa
Baik di Australia maupun di Indonesia, kebanyakan mahasiswa perantau memang menjalankan kuliah sambil bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga untuk membayar sewa hunian.

Selama Covid-19, tentu ada banyak mahasiswa yang kehilangan pekerjaannya. Di Indonesia, kebanyakan mahasiswa bekerja sebagai pustakawan hingga cleaning service di kampusnya sendiri. Sebagiannya lagi bekerja di kafe-kafe dan restoran. Tidak jauh berbeda, mahasiwa Indonesia yang sedang menempuh studi di Australia-pun sebagian besarnya juga bekerja di kafe dan restoran serta menjadi asisten rumah tangga.
Semenjak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, kampus-kampus, kafe dan restoran sebagian besarnya tutup. Jika ada yang tetap memaksakan diri untuk menjalankan usaha maka sebagain besar karyawannya diberhentikan. Mahasiswa juga tidak bisa lagi menjadi cleaner part-time sebab kini para pemilik rumah ‘stay at home’ sehingga dapat melakukan pekerjaan rumahnya. Selain itu, tentunya tidak akan ada warga Australia yang akan mengambil resiko mempekerjakan orang asing dalam rumahnya selama pandemi ini karena terlalu beresiko. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan dan bisa berarti kehilangan tempat tinggal karena tidak bisa membayar sewa. Mungkin juga mahasiswa tetap dapat membayar sewa hunian dengan menggunakan tabungannya namun harus mengorbankan asupan kebutuhan makan-minum sehari-hari karena berhemat.
Kesepakatan Tuan Rumah
Baik di Indonesia maupun di Australia, tentunya Covid-19 juga mempengaruhi perekonomian para landlord. Jika landlord mengalami penurunan pendapatan dari pekerjaan tetapnya maka dapat dimaklumi jika kemudian mereka menaikkan harga sewa hunian milik mereka atau tidak memberikan kelonggaran sama sekali pada pihak penyewa.
Hal ini berdampak buruk bagi para penyewa mahasiswa internasional yang juga sedang jobless. Diketahui dari www.abc.net.au bahwa pemerintah Australia telah memberikan himbauan kepada para landlord untuk menurunkan ¼ harga dari harga sewa normalnya. Kendati demikian, hal ini menjadi sulit untuk dilaksanakan jika landlord sendiri tidak mendapat suntikan dana dari pemerintah sebab merekapun berhak menjalani kehidupan yang layak. Namun di samping itu ada juga landlord yang berbelas kasih dengan mengurangi ¼ atau ½ harga sewanya, bahkan ada juga yang memberikan pilihan pada tenant untuk tidak membayar sepeserpun selama pandemi ini. Dalam kasus lain, ada juga pemilik properti yang mengizinkan mahasiswa untuk berhutang yang nantinya akan dibayar dalam bentuk cicilan saat Covid-19 telah berlalu.
Terlalu Ramai untuk Belajar
Mensiasati masalah kesulitan membayar sewa dan membiayai kebutuhan hidup akhirnya banyak mahasiswa yang memutuskan untuk berpatungan. Patungan ini dilakukan untuk menyewa hunian yang dapat ditinggali beramai-ramai sehingga biaya sewa dan hidup sehari-hari dapat ditanggung bersama.
Dari sudut pandang ekonomi memang sangat membantu namun dari segi psikologinya para mahasiswa menjadi kesulitan berkonsentrasi. Hunian dalam bentuk kontrakan tidaklah kondusif untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas kuliah online yang jumlahnya tidak sedikit.
Pemerintah Turun Tangan
Pada akhirnya memang pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab moral dan moril untuk melindungi seluruh rakyatnya tak terkecuali mahasiswa-mahasiswi yang berjuang di tanah rantau demi mengenyam pendidikan. Namun dengan berbagai keterbatasannya, pemerintah pula membutuhkan topangan dari masyarakat lainnya.
Mahasiswa Indonesia di Australia mengakui adanya bantuan sembako dari perwakilan pemerintah Indonesia secara rutin. Hal ini dinilai cukup menolong memenuhi kebutuhan sembako, meski para mahasiswa tetap harus berusaha menemukan solusi untuk membayar sewa huniannya. Sementara itu di Indonesia, mahasiwa rantau atau yang akrab disebut ‘anak kosan’ memang harus ekstra berhemat sembari mengelolah keuangan dari keluarga; bantuan dari pemerintah setempat; bantuan sembako dari Masjid, Gereja dan perhimpunan keagamaan lainnya atau bantuan dari kampus, alumni dan sebagainya.
Leny