Sahabat BUSET pasti cinta donk dengan kain Batik. Kain yang ukiran dan eloknya membuat iri beribu bangsa. Kain yang telah menjadi identitas dari seragam sekolah, dari seragam kantor, identitas dari Indonesia yang tercinta.
Batik adalah harta karun yang begitu istimewa bagi rakyat Indonesia hingga hari kedua dari bulan Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Setiap orang yang tidak hanya bekerja di dalam industri Batik menanti-nantikan hari dimana mereka dapat merayakan keagungan Batik dan memakmurkan keindahannya hingga seluruh pelosok dunia.
Begitu disayangkan ketika dunia pun menghancurkan setiap dari harapan itu dengan munculnya Corona Virus. Semua pameran-pameran busana yang menjadi sarana utama pelestarian batik dihentikan dikarenakan pembatasan sosial berskala besar dimana-mana. Bagaimanakah orang-orang yang bekerja di dalam industri ini meneruskan misinya dalam menghidupkan kain Batik? Mari kita simak jawaban dari beberapa tokoh industri Batik di Australia dan tanah air!
Diana Wibisono – Galeri Lestadia
Diana Wibisono adalah sosok yang membentuk Galeri Lestadia. Awal mula ia jatuh cinta pada Batik adalah ketika ia kuliah di Yogya. Pada saat itu ia harus mengikuti program KKN yang mengirimnya jauh ke daerah terpencil di Gunung Kidul. Di situ, salah satu aktifitas yang ia harus lalui adalah membatik sepatu. Sejak saat itulah ia memiliki passion terhadap Batik.

Setelah itu ia pun mulai memperkenalkan diri dengan banyak orang yang pintar membuat batik. Setelah itu, ia pun untuk sementara saja hiatus karena baru saja lulus kuliah. Tak lama sesudah itu ia pindah ke Australia dan mendapatkan kesempatan untuk sekolah lagi. Namun selama semua perjalanan itu, tak kunjung berhenti ia mendapati desainer-desainer muda yang ingin menembus pasar internasional.
Kebetulan, pada tahun 2018 KJRI Melbourne mengadakan perayaan Hari Batik Nasional yang berjudul Indonesian Heritage dan mengundang desainer-desainer Batik untuk mengadakan pameran. Hari itu menjadi awal mula Diana dalam mewujudkan passion-nya terhadap Batik.
Ia lalu bekerja sama dengan adiknya yang menetap di Indonesia untuk memproduksi sendiri produk-produk Batik Galeria Lestadia dari model-model sederhana dan modern. Tidak hanya itu tetapi Galeri Lestadi juga memamerkan banyak hasil-hasil desainer-desainer muda lainnya.
Memproduksi dan menjual Batik tentu bukan merupakan tugas yang mudah. Diana ditantang untuk memperkenalkan Batik juga kepada orang-orang lokal di Australia yang beberapa sudah mengenal dan membeli Batik. Sayangnya karena banyak dari mereka yang hanya membeli Batik-Batik printing yang berkualitas rendah, mereka tidak menyadari keragaman Batik dan harga yang menjamin kualitas mereka. Diana pun mendapatkan solusi untuk mengadakan banyak pameran seperti di Sydney, Adelaide, Canberra hingga Sorento untuk membaca pasar mancanegara akan Batik.


Ia pun menemukan bahwa banyak dari konsumer Batik-nya menggemari model-model yang sederhana nan klasik yang memadukan hanya dua warna Batik saja. Tetapi juga sebuah kendala bagi Galeri Lestadia untuk mengandalkan apa yang sedang tersedia pada saat itu di pasar dan yang kualitasnya tidak dapat dijamin. Sedangkan orang-orang Australia sangat mementingkan kualitas hingga mereka berkenan untuk membayar lebih demi menjamin kualitas dari Batik yang mereka beli.
Kini karena COVID-19 tengah melanda dunia, Galeri Lestadia menghentikan aktifitas jual belinya. Hal ini dikarenakan kondisi pandemi yang begitu labil dan adanya kemungkinan untuk barang-barang jualan yang semua bersumber dari Indonesia tidak akan sampai.
Meski begitu, selama masa-masa sulit ini mereka lantas membangun bisnis online mereka dan secara aktif membaca market online yang meminati Batik. Barang-barang seperti apakah yang harus mereka jual, siapakah yang akan menjadi target pembeli mereka, dan lain-lain. Tantangan yang besar untuk Galeri Lestadia dalam menjalani proses penjualan Batik secara online ini adalah ekspektasi para pembeli yang digambarkan oleh foto-foto yang dicantumkan di dalam website mereka. Tetapi Galeri Lestadia tetap berharap untuk pameran-pameran kembali beroperasi demi mempromosikan dan membaca kebutuhan Batik para pembeli pada masa-masa ini.
Novita Yunus – Galeri Batik Chic
Novita Yunus jatuh hati pada batik sejak ia masih kecil. Sempat ia tinggal di Yogyakarta dan oleh ibunya diperkenalkan dengan begitu banyak budaya Indonesia melalui berbagai kursus – kursus Tari Jawa, kursus Tari Bali, kursus Gamelan, dan kursus melukis. Terlebih lagi karena ibunya kerap membantu ayahnya yang bekerja di bank dan menjual-jual Batik yang ibunya kirim ke Jakarta. Karena itu ibu Novita setiap seminggu atau dua minggu sekali membawa Novita ke pasar Batik yang disebut sebagai Pasar Klewer. Selain itu, ibunya sangat menyukai membuat baju batik sendiri sehingga Novi pun banyak memakai baju Batik sejak kecil.

Karena kebiasaan yang dari kecil ini, ketika berpakaian Novita selalu harus mencantumkan Batik di setiap busananya baik hanya sebagai syal atau jaket. Setelah ia lulus kuliah, ia pergi kerja di bank seperti ayahnya.
Setiap wanita tentu memiliki kesenangan tersendiri dan bagi Novi mengkoleksi tas-tas memberikannya kebahagiaan tersendiri. Namun, lambat laun ia pun menyadari kalau dibandingkan dengan membeli tas-tas branded yang berharga puluhan juta, akan lebih memuaskan apabila ia membuatnya sendiri.
Beriringan dengan pemberhentiannya dari industri perbankan, ia lantas menciptakan sebuah tas batik yang ia desain sendiri dengan bantuan home industry keluarganya. Mengunduh foto tas tersebut di Facebook menghasilkan begitu banyak peminat atas tasnya yang merupakan hal yang sangat mengejutkan. Kurang dari satu bulan ia menghitung-hitung bahwa banyaknya peminat atas tas kreasinya melebihi gaji satu bulan pekerjaan lamanya di bank. Karena itu, ia pun memulai bisnisnya di garasi rumah dan berjalan secara online.
Dengan pesatnya perkembangan bisnisnya, banyak orang ingin melihat-lihat produk Batik yang dijual secara fisik dan tidak banyak yang mau berbelanja secara online lagi. Ia pun lantas mendirikan sebuah galeri kecil di Kemang. Usahanya langsung booming karena bantuan dari banyak koneksi dari pekerjaan lamanya di bank hingga jumlah pesanan tas Batik bisa mencapai 10 atau 20 tas.
Novi pun banyak menjaga galerinya untuk melihat apa yang disukai oleh konsumer-konsumer produk Batiknya. “Banyak ibu-ibu yang mengunjungi galeriku nantinya akan bertanya, ‘Nov kalau pakai tas ini pakai baju apa ya? Kalau pakai baju ini dan tas ini aksesorisnya apa ya?’ Dari situ aku menemukan banyak oportunitas untuk membuat varian produk-produk Batikku menjadi lebih luas lagi.

Novi memiliki filosofi bahwa sebuah desain produk Batik harus bisa menunjukkan keelokkan Batik yang sudah sejak awal begitu cantik. Galeri Batik Chic kerap menghadirkan tidak hanya Batik-Batik ternama seperti Batik Solo atau Batik Cirebon tetapi beberapa yang kurang terkenal seperti Batik Tuban demi memperkenalkan mereka kepada publik. COVID-19 tidak hanya telah mempengaruhi bisnis Batik Chic tetapi hingga level pengrajin Batik yang mendapatkan stok mereka menumpuk karena banyak yang tidak membeli. Untungnya, Batik Chic bersama empat galeri Batik lainnya mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama bersama Kementrian Luar Negeri dalam memasarkan Batik kepada seluruh kedutaan besar dan konsulat jenderal Indonesia di mancanegara lain. Batik Chic pun kembali menghidupkan pasar online-nya beserta mengikuti berbagai acara webinar atau fashion show online.
“Tentu hal yang menyedihkan karena mencintai produk lokal harus ditunjukkan dengan aksi kita membeli produk-produk tersebut. Indonesia memiliki beragam-ragam kain tidak hanya Batik tetapi ada juga Ulos, atau Lurik yang tidak kalah elegannya dengan produk-produk luar negeri. Jadi saya harap kita bisa lebih mengapresiasi dan memakai produk lokal daripada menghabiskan uang untuk barang-barang branded dari negara lain.”
Dharma Wanita Persatuan Melbourne – Patchwork Club
DWP KJRI Melbourne juga tidak kalah menjadi salah satu organisasi yang menjunjung cinta akan produk Batik di Australia. DWP sebagai komunitas ibu-ibu Indonesia di Melbourne tidak hanya berkumpul dan bersilahturami saja tetapi juga saling menambah ilmu terutama dalam hal kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah melalui Patchwork Club yang mereka adakan secara reguler.

Patchwork yang dalam Bahasa Indonesia berarti kain perca adalah sebuah seni pekerjaan potong dan menjahit potongan-potongan kain menjadi desain kain baru yang utuh. Seni kerajinan ini tidak menaruh limit kepada para pengrajin akan varian kain-kain yang dapat atau bisa digunakan. Itulah mengapa Siska Prabonowati Dart menggunakan kain Batik dalam mengajar Seni Patchwork kepada Ibu-Ibu DWP.
“Indonesia memang memiliki begitu banyak kain bercorak selain Batik. Indonesia memiliki juga kain-kain seperti Lurik, Kain Songket, atau Kain Tenun. Tetapi dikarenakan Batik sudah menjadi identitas sejati kami sebagai Bangsa Indonesia, saya memusatkan fokus untuk menyorotkan pusat pada Kain Batik,” jelas Kristi Hemas selaku sekretaris DWP Melbourne yang membantu menyelenggaran kelas-kelas ini. Ia juga menambahkan bahwa lahirnya Patchwork Club ini dikarenakan wacana dari DWP Canberra.

DWP Patchwork Club diadakan tidak hanya untuk memberikan kesibukan atau ilmu tambah kepada ibu-ibu DWP tetapi juga dalam melestarikan keindahan Batik melalui karya-karya para anggota. Dari jahit-menjahit bahan-bahan kain yang sudah disiapkan, Siska mengajarkan ibu-ibu DWP untuk membuat beragam-ragam produk – taplak meja, ikat rambut, dompet-dompet kecil, tatakan gelas, dan banyak lagi. Upaya pelestarian Batik Patchwork Club DWP KJRI Melbourne tidak hanya berhenti pada antara anggota tetapi juga pada acara-acara besar. Contohnya adalah perayaan-perayaan Hari
Batik Nasional yang diadakan oleh KJRI Melbourne atau seperti dalam acara Royal Melbourne Show dimana bersama galeri-galeri Batik lainnya di Melbourne Patchwork Club DWP KJRI menjual produk-produk Batik di dalam booth Indonesian Pavilion kepada masyarakat publik di Melbourne. Sangat disayangkan ketika COVID-19 melanda dunia karena dengan begitu ibu-ibu DWP yang adalah anggota dari Patchwork Club tidak dapat berkumpul kembali.
Tetapi semua itu tidak mematahkan semangat mereka dan menghentikan mereka untuk tetap meneruskan aktivitas Patchwork Club. Melalui zoom meeting mereka tetap bertemuan secara online dan Siska terus melanjutkan kelas kerajinan Patchwork kepada para anggota. Proses kelas secara online ini banyak diorganisir melalui grup online chat para anggota. Siska awalnya akan menanyakan bahan-bahan yang sudah dimiliki oleh masing-masing anggota. Baru apabila beberapa anggota tidak memiliki bahan-bahan yang diperlukan, maka ia akan mengirimkan material-material yang dibutuhkan oleh masing-masing anggota.
Melaui Zoom Meeting, Siska akan mengajarkan cara pembuatan atau penjahitan objek-objek yang hari itu akan dibuat. Lalu, setiap anggota nantinya akan memamerkan hasil karya mereka di grup chat. Memang interaksi di antara para anggota selama sistem kelas online ini sangatlah terbatas. Terutama dalam perihal mengajar kelas, aku Siska.

“Memang kalau dalam hal mengajar lebih mudah dan menyenangkan untuk berinteraksi langsung dengan para anggota karena lebih mudah untuk melihat progress masing-masing. Saya pun menjadi lebih mudah dalam membantu mereka karena hadir bersama mereka dan memberikan contoh. Tetapi, demi kebaikan dan kesehatan publik kami pun harus menghormati peraturan pemerintah Australia,” Kristi mengucapkan prihatinnya perihal pameran-pameran Batik yang pada saat ini dihentikan.
Harapan kedua figur ini adalah tidak hanya bagi masyarakat Indonesia untuk lebih mengenal Batik dan melestarikan Batik tetapi juga bagi para anak muda untuk membantu Industri Batik dengan segala kemampuan dan ilmu teknologi yang tersedia demi mengabadikan keindahan Batik.