
Ada yang lain dari perayaan Kunci Taong 2020 oleh Kawanua Melbourne Australia (KMA) yang diadakan 1 Februari lalu.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, terdapat sesi bertajuk “Public Seminar and Open Discussion on Cultural Assimilation” yang membahas tentang sejarah asimilasi atau pembauran kebudayaan yang terjadi di Manado sejak masa penjajahan Belanda ratusan tahun yang lalu.
Adhianto Utomo, Ketua Acara Kunci Taong 2020, mengatakan selain untuk membuka tahun bersama-sama, acara ini juga bertujuan untuk membuka wawasan dari para hadirinnya tentang Manado.
“Tahun ini, karena Kawanua adalah organisasi yang mewakili Minahasa dari Sulawesi Utara, kita ada misi budaya dan pengetahuan juga,” kata Adhi.
“Jadi kita di sini tidak hanya untuk makan-makan dan pesta-pesta, memang ada unsur itu juga, tapi kali ini kita tambahkan unsur pengetahuan agar bisa memperkaya yang hadir tentang sejarah Minahasa atau budaya Minahasa itu sendiri.”

Bersama Kawanua, Adhi mengangkat tema asimilasi karena menurutnya sangat relevan dengan posisi masyarakat Indonesia di Australia saat ini.
“Kita kan orang Indonesia, boleh dibilang kita di Australia adalah migran. Dan juga dalam kehidupan migran kan tidak terlepas dari proses asimilasi. Mungkin tidak hanya orang Manado, tapi daerah mana saja di Indonesia,” katanya.
“Karena kita berinteraksi dengan orang lain di Australia, kita tidak bisa menghindari proses asimilasi dimana budaya kita tentu akan berbaur dengan budaya lokal.”
Ia berharap agar melalui seminar tersebut, pendengar dapat mengerti konsep asimilasi dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan di Australia dengan mengambil hal positif dari budaya lokal Australia dan sebaliknya memperkenalkan kebiasaan baik dari budaya Indonesia kepada masyarakat lokal.
Seminar bertajuk “Kampung Cina dan Kampung Arab di Kota Manado” dibawakan oleh Ketua Kawanua Melbourne Australia, Connie Rotinsulu yang melakukan penelitian di bidang tersebut.
Ia membuka seminar dengan fakta menarik tentang bagaimana generasi tertentu Manado pandai berbahasa Belanda. Connie pula menelusuri timeline kedatangan pedagang dari Arab dan Cina serta penjajah Portugis dan Belanda ke Manado.
Sesi kemudian lanjut diisi dengan presentasi oleh Sekretaris KMA, Jeffry Liando tentang suku Minahasa, peranakan Jawa-Minahasa di Tondano, dan Indo-Eropa Borgo Minahasa yang menjelaskan secara lebih detail sejarah keberagaman suku di Manado.
Bagaimana kondisi Manado saat ini terkait proses asimilasi yang sudah mulai terjadi ratusan tahun lalu? Simak rangkuman Buset tentang Kampung Cina dan Kampung Arab di Manado yang keberadaannya menjadi bukti asimilasi di Sulawesi Utara ini.
Kuatnya Budaya Cina di Manado

“Pengaruh asimilasi orang Cina di Manado itu luar biasa,” kata Connie Rotinsulu kepada segenap pendengar dalam seminar tersebut. Ia lalu lanjut membahas soal Kampung Cina yang keberadaaannya hampir di semua tempat.
“[Kampung Cina] itu selalu daerah bisnis, daerah pertokoan. Di sana mereka mengatakan orang Cina sangat identik dengan “usaha” walaupun adalah tidak benar semua orang Cina punya usaha. Ada juga orang Cina yang jadi pekerja.”
Menurut catatan sejarah yang dikemukakan Connie, pada tahun 1740, terjadi pembunuhan massal di Batavia. Hal ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk menempatkan orang Cina di suatu lokasi khusus di Manado.
“Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menempatkan orang Cina di suatu lokasi yang disebut ‘ghetto’ agar bisa mengontrol dan mengawasi pergerakan mereka. Dari sanalah muncul Kampung Cina.”
Kampung Cina ini kemudian menjadi lokasi tempat tinggal orang Cina.
Menurut penjelasan Connie, orang Cina pada masa itu tetap mempertahankan tradisi mereka meskipun sebagian besar menganut agama Kristen.
“Kebanyakan orang Cina cenderung Kristen walaupun mereka masih memegang tradisi. Mereka mengasumsikan tradisi dan agama itu sebagai hal yang berbeda.”
Contoh kepercayaan ini ditemukan pada kebiasaan mereka untuk pergi ke kelenteng demi melaksanakan ritual tertentu, ketika di sisi lain tetap bergaul dengan masyarakat setempat yang bergereja.
Hadirin lalu diajak menyaksikan video tentang Kampung Cina untuk mengerti persis kondisinya saat ini.
Arab Tidak Dominan

Sebelum menjelaskan tentang orang Cina di Manado, Connie terlebih dahulu menerangkan tentang sejarah datangnya pedagang Arab ke Indonesia, terutama Manado.
Menurutnya, rendahnya interaksi orang Arab satu sama lain dalam bahasa mereka menyebabkan lemahnya pengaruh mereka bagi masyarakat Manado.
“Orang Arab ketika berada di kota Manado tidak mengimplementasikan atau istilahnya mendoktrinisasi. Mereka tidak selalu menggunakan Bahasa Arab,” katanya.
“Berbeda dengan orang Cina, yang masih menggunakan bahasa mereka.”
Menurut penjelasan Connie, pendatang dari Arab pada waktu itu tidak memiliki pengaruh besar bagi Manado karena jumlah orangnya yang sedikit.
“Karena [komunitas Arab] hanya terdiri dari sejumlah kecil orang mereka tidak terlalu terasimiliasi dengan penduduk lokal. Sehingga nilai dari negara asal mereka yang terasimilasi dengan penduduk lokal sangat kecil hingga tidak terlalu dominan.”
Di tahun 1866, hanya terdapat 11 orang Arab di Manado. Selanjutnya, di tahun 1930, tercatat ada 315 laki-laki dan 270 perempuan Arab di sana.
Warisan Portugis Lewat Perkawinan
Selain China dan Arab, pada masa penjajahan Belanda, bangsa Portugis juga datang ke Manado serta meninggalkan jejak mereka di sana.
“Ketika Portugis datang mereka juga berasimilasi dalam konteks perkawinan. Ada orang Portugis yang kawin dengan perempuan Manado atau Minahasa pada waktu itu,” kata Connie.
Catatan sejarah ini kemudian menjelaskan kondisi fisik orang Manado yang menurutnya memiliki ciri khas orang Eropa.
“Oleh karena itu perawakan orang Manado itu kadang ada yang tinggi, memiliki hidung mancung seperti orang Eropa dan secara tipikal postur mereka seperti bangsa Eropa,” ucap Connie.
Selain warisan fisik, Connie mengatakan bahwa Bangsa Portugis pada waktu itu juga memberikan pengaruh bahasa yang berupa dialek.
“Jadi di Bahasa Manado ada kata dari orang Portugis. Contohnya, ‘cupa’ dari ‘kupa’ yang artinya mangkok.”
Agama, Peninggalan Terbesar Belanda
Sementara itu, Connie mengatakan bahwa Belanda meninggalkan nilai kegamaan.
“Kalau Belanda pengaruhnya sangat banyak dari sisi religious value. Sehingga di Manado atau di Minahasa ada peninggalan gedung-gedung atau gereja dari zaman Belanda.”
Warisan lainnya juga meliputi bahasa yang masih secara kental digunakan oleh generasi orangtua Connie.
“Mereka yang memiliki usia setara dengan ibu saya luar biasa fasih berbahasa Belanda,” jelas Connie.
“Bahkan Bahasa Manado [memiliki] banyak kata-kata dari Bahasa Belanda. Apalagi di dunia hukum, kita menggunakan istilah Belanda sehingga kita pun ketika kuliah sampai harus belajar Bahasa Belanda.”
Pentas seni berupa tari-tarian dan permainan musik kolintang turut menghibur para peserta yang hadir. Sebagai jamuan, jajanan khas Manado tersaji rapi di atas meja di ruangan Bhinneka di KJRI Melbourne tersebut.
Peserta juga diberikan kesempatan untuk menyumbang bagi korban kebakaran hutan Australia sebelum akhirnya menikmati makan malam khas Manado dan menutup acara dengan tari Poliness dan Poco-Poco.
APA KATA MEREKA
AL MORTYN | Pemilik Perusahaan Al’s Garden

I think they covered a lot of the aspects of different people groups, religious influences, and it was very well covered and detailed, but I’d still want to learn more about the struggles, the battles that had been fought in the region because Manado is quite unique in Indonesia, there is something quite different when you travel there, it’s like a different country, I love it there, but I want to study and learn more about the history of how they fought to retain what they still retain to this day, it’s the unique flavor to the North Sulawesi region, it’s quite distinct and unique.
Tuti Gunawan | Penterjemah dan S3 Antropologi Budaya Monash University

Saya rasa bagus sekali karena ini memang menceritakan tentang mencari jati diri sebagai orang Indonesia, khususnya Manado. Apakah orang Minahasa itu di Victoria sama dengan yang di Manado, tapi juga mengetahui asal mereka dari mana, Tondano atau Tomohon, orangtua, nenek, agama asli dan terutama benda-benda budaya, itu perlu diketahui orang Manado yang ada di Victoria, karena jangan sampai orang tahu tentang itu, tapi orang Manado di sini tidak tahu, misalnya apa itu Waruga. Banyak sekali aspek yang bisa dikeluarkan menurut saya.
Nasa