Pada suatu sore, jauh di sebuah komplek perumahan di Jayapura – Papua, sayup – sayup terdengar suara nyanyian orang. Ya, sebuah nyanyian khas Papua, diiringi dengan gitar, dan sorakan dari para penyanyi dan juga para orang disekelilingnya yang sangat meriah. Tetapi ada sebuah suara ritem yang saya pun tidak tahu, suaranya sangat menarik, seperti dipukul untuk menghasilkan bunyi sebagai landasan dan kadang-kadang iramanya berubah disertai beberapa sentakan sebagai tanda untuk mengubah seluruh irama lagu. Rasa penasaran saya pun bertambah, masih agak mengantuk, sehabis tidur siang (wajib oleh mama saya) saya pun berlari keluar, sambil  berusaha ‘bangun’.

“Heiiii….kenapa lari-lari? Ini minum teh dulu…” dan saya pun terus berlari sampai teriakan mama tidak kedengaran lagi, tiba – tiba ‘Gubrak’ “Eh kok lari – lari sih???……” Barusan saya menabrak papa saya di pintu depan. Mencari-cari sumber suara, bertanya – tanya ke orang sekeliling akhirnya saya melihat sekumpulan orang yang sedang ‘berpesta’. Ini merupakan acara syukuran dari salah satu tetangga saya. Tanpa memperdulikan alasan syukurannya, mata saya langsung tertuju ke bagian musik. Ada beberapa, gitar, ada bass betot ala Papua, dan ada alat yang ‘dipukul – pukul’. “Eh, ko tau itu namanya apa? Itu yang dong pukul-pukul?” Saya bertanya dalam logat Papua, yang artinya “Apa kamu tahu nama alat yang mereka tabuh?” Lalu dengan senyum sambil cuek, teman saya menjawab “Ohhhh… itu de pu nama TIFA” yang artinya “Itu namanya, TIFA”.

25 ICCA - TIFA 1TIFA! Sebuah nama yang sederhana saya pikir. Saya pun pulang dengan puas ke rumah, sambil menikmati teh dan ubi goreng bikinan mama.

Secara umum Tifa adalah sebuah alat musik yang khas dari Maluku dan Papua. Dimainkan dengan dipukul dengan tangan, atau kayu/stik. Terbuat dari kayu yang dilubangi dimana satu sisi lubang tersebut ditutup dengan kulit hewan yang sudah dikeringkan (yang saya tahu kulit biawak, ular, atau rusa) sementara di sisi lainnya dibiarkan terbuka. Sisi kayu tersebut biasanya terdapat ukiran menarik, dan banyak juga yang ukirannya diwarnai.

Alat ini biasa dipakai dalam acara seperti upacara adat, pertunjukan musik, atau pun mengiringi tarian. Bentuknya pun bermacam – macam ada yang mempunyai pegangan (kebanyakan dari Papua mempunyai pegangan) dan ada juga yang tidak. Dari ukurannya pun ada yang besar (menghasilkan suara yang lebih bass), sedang (menghasilkan suara yang mempunyai ‘middle frequency’) dan yang lebih kecil dengan suara yang lebih nyaring. Biasanya tifa yang lebih kecil dipakai untuk memberi aba-aba untuk pergantian irama, atau untuk memulai sebuah pertunjukan karena memanfaatkan bunyinya yang dominan dibandingkan alat yang lain.

Dari pengamatan saya, para pemain biasa menjepit Tifa di antara kedua kaki, sementara tangan memukul, bisa dengan posisi sedikit jongkok atau duduk. Ada juga yang menggunakan penyangga untuk Tifa yang berukuran lebih besar. Secara tradisi, biasanya satu Tifa dimainkan oleh satu orang, tapi sekarang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Maksud saya adalah, ada beberapa komposisi musik yang memungkinkan seorang pemain bisa memainkan beberapa tifa sekaligus. Dalam hal ini mereka akan menggunakan penyangga.

Penggunaan Tifa sendiri pada saat ini tidak terbatas pada acara – acara tradisional saja, tapi juga dalam acara resmi pemerintahan khususnya di Papua, maupun dalam komposisi musik modern saat ini, baik di dalam atau pun di luar negeri.

Pertanyaan yang sempat timbul dalam benak saya, “Apa Tifa bisa dipakai untuk setidaknya ngamen di Melbourne?” dan saya jawab sendiri “Ya, sebagai substitusi Cajon yang juga merupakan pengganti drum karena pertimbangan efisiensi”.

Bagaimana untuk memesan sebuah Tifa? Saya pikir kita masih harus kerja keras di sektor itu. Mungkin kalau ada teman dari Papua atau Maluku, patut ditanyakan. Siapa tahu mereka punya om atau kenalan yang bisa buat Tifa khusus buat kalian, bahkan juga bisa meminta agar nama kalian diukir Tifa tersebut.

Hingga sekarang saya pun masih teringat musik yang indah yang pernah saya dengar waktu itu dan tentu saja dengan suasananya yang menawan dimana semua orang ceria. Mari kita lestarikan budaya kita!
Salam kreatif,
Enos