Wim Christian Lucky Mundung datang pertama kali ke Australia di bulan Febuari 2011 untuk bekerja. Tidak ada yang bisa menyangka kakinya harus diamputasi tiga tahun kemudian oleh karena tertembak sebuah senapan.
Cerita kecelakaan seorang ayah dari tiga orang anak ini berawal dari perbincangan ringan bersama seorang menantu dari bos di tempat ia bekerja mengenai berbagai macam makanan Indonesia. Christian bercerita di beberapa lokasi di Indonesia, ada masyarakat yang gemar menyantap daging kelinci. Mendengar hal itu rekan kerja Christian tersebut tertarik dan mengajaknya berburu rubah bersama.
Mereka berduapun akhirnya berburu sepulang kerja, kala itu kira-kira pukul tujuh malam. Menurut Christian, dirinya hanya diberi tugas untuk menemukan rubah, sementara temannya yang mengendarai kendaraan dan menembak karena telah memiliki izin berburu. Setelah berkeliling selama satu jam, pria asal Sulawesi Utara ini menemukan sebuah rubah di antara semak-semak, tepatnya di bawah sebuah pohon anggur.
Karena terlalu fokus mengintai rubah tersebut, Christian tidak lagi menaruh perhatian pada teman di sisi kanannya yang sedang menyetir. Rupanya saat temannya itu ingin mengambil pistol yang terletak diantara mereka berdua, suara tembakan terdengar lantang.
Saat itu keduanya masih merasa bingung dan tidak percaya, hingga mereka merasakan kaki Christian yang telah tertembak dan berdarah. “Saat itu saya pikir hanya tertembak sedikit saja, tidak terlalu besar,” cerita Christian.
Pria berumur 45 tahun ini kemudian segera dibawa ke bangunan terdekat dimana polisi dan ambulan segera didatangkan. Saat menunggu proses yang cukup panjang tersebut, Christian mengaku sudah merasa pasrah dan hanya bisa berdoa saja. Dirinya ditangani sementara oleh rumah sakit Swan Hill, namun kemudian diterbangkan dengan helikopter ke rumah sakit Alfred di Melbourne untuk penanganan lebih lanjut.
Sekitar sepuluh hari lamanya, rumah sakit Alfred mencoba mempertahankan kaki Christian dengan melakukan beberapa kali operasi. Akan tetapi nasib berkata lain. Walaupun ia telah berhasil menggerakkan jari-jari kakinya, dokter memutuskan bahwa amputasi merupakan pilihan yang terbaik.
Akhirnya Christian pun setuju untuk melakukan amputasi demi menghindari resiko munculnya virus yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Saat itu pria yang kini tinggal di bilangan Mornington ini juga telah ditawarkan beberapa kaki palsu yang dikatakan akan membuatnya dapat berjalan dengan baik, serta jasa asuransi yang akan membantunya membayar biaya perawatan.
Namun rupanya setelah melakukan amputasi, proses hukum yang ada sangatlah panjang dan rumit. Satu tahun sudah hampir berlalu, dana asuransi belum juga cair. Kesempatan Christian untuk mendapatkan kaki palsu dan bekerjapun harus diurungkan. Bukan itu saja, Christian mengatakan, pelaku yang menembak kaki Christian sama sekali tidak menghubungi dirinya untuk bertanggungjawab. “Saya tidak mau dendam dan saya mengerti dia tidak sengaja. Tapi harusnya dia tetap datang dan mengunjungi saya. Lewat telepon atau SMS pun saya sudah senang,” ujarnya.
Alhasil kini biaya obat-obatan harus ditanggung sendiri oleh dirinya yang tidak bisa bekerja dan mencari nafkah. Ia juga harus melalui proses hukum dan birokrasi yang panjang. Saat ditanya apa yang membuat dirinya dapat kuat menjalani cobaan ini, Christian hanya mengungkapkan ia harus kuat sebagai laki-laki. “Saya juga masih punya tanggungjawab di negara saya. Saya harus membiayai anak-anak,” jelasnya. Sampai saat ini Christian tidak memberitahukan ketiga anaknya bahwa kaki kanannya telah diamputasi karena enggan membuat semangat hidup mereka redup.
Dampak yang dirasakan pria yang pernah mengenyam pendidikan di Taiwan ini tergolong banyak, termasuk trauma yang didapatnya dari kecelakaan tersebut. Christian menjelaskan, setiap kali melihat kendaraan yang melaju cepat atau film yang bertema keras, kakinya akan terasa sakit dan ngilu.
Sejak kejadian itu, Christian terus mendapatkan dukungan mental dan spiritual dari teman-teman gerejanya di St John Anglican Indonesian Congregation Camberwell. Pemerintah Indonesia melalui KJRI Melbourne pun berusaha sebisa mungkin memberikan bantuan kekonsuleran. Seperti yang diungkapkan Konsul Muda Oldrin Lawalata, adalah kewajiban KJRI untuk memberikan bantuan kekonsuleran kepada setiap warga Negara Indonesia di luar negeri tanpa kecuali, termasuk dalam kasus Christian.
Keinginan Christian saat ini tidaklah muluk-muluk, yaitu tersedianya kaki palsu sehingga ia dapat mencari nafkah. “Sekarang saya tidak bekerja dan tidak punya uang. Kalau ada kaki palsu dan diizinkan bekerja, saya mau bekerja. Saya sama sekali tidak mau minta-minta.” Demikian Christian menutup pengalamannya dengan BUSET.
gaby