Acara bertajuk ‘The 2019 Indonesian Elections: Electoral Accountability and Democratic Quality’ di hari pertamanya diadakan sebagai acara pembuka oleh Asia Institute dari University of Melbourne. Dengan sponsor dari Indonesian Democracy Hallmark Research Initiative (IDeHaRI), acara ini menghadirkan kolaborasi antara akademisi dan tokoh politik baik dari Indonesia, maupun Australia untuk mendiskusikan tentang Pemilu Legislatif dan Presiden RI tahun ini.

Grace Natalie membuka panel

Panel publik tersebut menjadi pembuka singkat mengawali workshop yang diadakan keesokan harinya. Setiap pembicara diberikan waktu 15 menit untuk mengutarakan presentasi mereka. Dimoderatori oleh Dr Dave McRae, Deputy Chair IDeHaRI, malam itu diisi dengan topik-topik hangat yang dibawakan satu tokoh politik Indonesia yang sudah tidak asing lagi di mata pembaca, yaitu Grace Natalie-Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, lalu para akademisi dari Indonesia, Dr Robertus Robet-Dosen Senior Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, dan Dr Kuskridho Ambardi-Direktur Eksekutif dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) dan dosen dari FISIPOL Universitas Gadjah Mada.

Defending Democracy menjadi topik pembuka yang dibawakan oleh Grace Natalie. Sebagai Ketua mum PSI, Grace mengangkat topik seputar kebebasan berpendapat, transparansi dalam berpolitik serta kiat pemerintah dalam membasmi hoaks. Ia menyatakan bahwa PSI memiliki kepercayaan bahwa sebuah partai politik tidak terbentuk dari kaum elit yang ada, akan tetapi, kesamaan mimpi untuk memperjuangkan politik di Indonesia menjadi salah satu hal yang membangun suatu partai. Transparansi dalam pemilihan kandidat parlemen dengan menggunakan fitur sosial media seperti Live on Instagram dan online broadcasting menjadi kiat-kiat PSI untuk memperjuangkan Indonesia di kancah politik. Seorang hadirin bertanya meresponi presentasi Grace malam itu, salah satu pertanyaannya adalah ‘apakah Indonesia memiliki masalah dengan kebebasan berpendapat?’ “Tentu masih tidak sempurna, tapi ini diakibatkan dari rendahnya literacy rate warga Indonesia sehingga mereka mudah sekali untuk diserangoleh kabar hoaks,” jelas Grace.

Dr Robertus dalam presentasinya Inherent Fragility of Democracy, Ideology and Rights, mengkritisi keadaan demokrasi Indonesia sekarang ini, dimana demokrasi hanya menjadi sebuah hal yang mengakar dalam sejarah namun tidak sepenuhnya ‘plural’ dalam praktiknya di masyarakat zaman sekarang ini. Solusi untuk hal ini? Senada dengan Grace dalam aspek pemberantasan berita hoaks, berpendapat bahwa sarana media portal yang kritis mengulas sebuah berita atau konten seperti Tirto.id salah satunya memegang peran penting dalam right-based politics di Indonesia, dan menjadi salah satu harapan bangsa untuk membela hak-hak penduduk Indonesia.

Penonton yang aktif menyimak datang dari kalangan mahasiswa akademisi juga ormas di Melbourne

Banyak yang berkata bahwa, demokrasi di Indonesia sedang menurun. Beberapa akademisi melihat keadaan ini terjadi karena Jokowi. Bagi Dr Kruskridho Ambardi, pandangan tersebut sangat mikroskopik dimana semua orang hanya mengandalkan presidennya saja. Baginya, semua orang harus go beyond Jokowi dan sadar bahwa setiap pihak memiliki “distinct collective interests” yang juga ambil andil dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Dalam presentasinya, masyarakat harus lebih aware dengan keberadaan parpol di tengah mereka. Ingat bahwa partai politik menentukan kandidat presiden, dan segala keputusan yang dikeluarkan partai politik dapat menentukan masa depan demokrasi Indonesia.

Acara kolaborasi antara University of Melbourne dengan Indonesia menjadi salah satu hal yang tidak kalah penting, sesudah pemilihan umum sekalipun. Panel publik sekaligus workshop ini memberi wadah untuk para akademisi, praktisi politik, ormas dari Indonesia maupun Australia untuk mengkritisi apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi, guna menciptakan relasi yang baik dalam tingkat akademis sekaligus menciptakan harmoni dalam masyarakat sekitar.


Apa Kata Mereka

Faras – mahasiswi University of Melbourne

Menarik sih sebenarnya ada yang mau ditanyain tapi tidak sempat. Kayaknya seru banget sih kalau ngomongin tentang demokrasi memang kompleks banget, kita mau lihat dari sisi ada yang mention tentang insufficiency of information, padahal kalau menurut saya sendiri, makanya tadi mau tanya karena kayaknya tuh bukan insufficiency of information tapi overflowing of information tapi sedikit ruang diskusi, kayaknya lebih ke uneven distribution of information saja karena terpusat di middle class jadi ada yang ke inform. Menarik banget sih buat pembuka, jadi ingin datang ke sesi-sesi selanjutnya.

Hirzy (kiri) & Ivy (Kanan)

Hirzi – mahasiswa Politics and International Studies dari University of Melbourne

Favourite tagline mungkin tadi yang Kak Grace bilang itu, di Indonesia kan ada yang namanya disrupsi bisnis kayak Gojek, jadi disrupsi ekonomi biar dia jadi lebih inovatif. Dia bilang kenapa kita tidak bisa disrupsi di politik? Jadi itu sangat inspirational karena kita di Indonesia itu politiknya sudah pesimis, seperti apa yang akademis-akademis ngomong itu. Tapi ada orang-orang di PSI seperti Grace yang mau idealis, bukan mikir ‘oh ya sudah kita bisa ngapain lagi? Ini memang realita politik Indonesia’, tapi sebaliknya ‘oh kita masih bisa ganti, kita masih bisa disrupsi sistemnya,’

Muningar

Lumayan menarik, isinya juga bagus dan banyak insight dan hal-hal baru yang didapat

Adisa