Kerjasama antara Sidney Myer Fund dan Arts Centre Melbourne menghasilkan sebuah acara bertajuk Asia Topa: A festival celebrating Australia’s connections with contemporary Asia dengan mengundang seniman-seniman dari berbagai negara. Sebutlah Thailand, Jepang, India, Papua New Guinea hingga Indonesia sendiri pun ikut berkontribusi dalam memberikan sumbangsihnya terhadap acara tersebut. Adapun Asia Topa sendiri merupakan acara yang digagas oleh penduduk Australia, khususnya Melbourne, untuk lebih mengenal lagi ‘tetangga-tetangga’ mereka dengan menampilkan kebudayaannya masing-masing. Bertempat di Arts Centre Melbourne, Asia Topa atau singkatan dari Asia-Pacific Triennal of Performing Arts ini, telah berlangsung dari bulan Januari hingga April. Dengan hubungan Indonesia dan Australia yang berlangsung baik, seniman Indonesia pun turut serta untuk menyukseskan acara ini, seperti Eko Supriyanto, Garin Nugroho, Tisna Sanjaya dan beberapa seniman lainnya.

Eko Supriyanto

Usai dari menampilkan pertunjukkannya yang diberi nama Cry Bailolo dan Balabala pada Rabu malam, 1 Maret 2017, BUSET pun berkesempatan untuk mewawancarai langsung seniman jenius yang berada dibalik kedua mahakarya tersebut. Eko Supriyanto, atau yang lebih akrab disapa Eko, adalah seorang seniman asal Solo yang telah terjun ke dunia tarian semenjak ia kecil. Seniman lulusan dari Institut Seni Indonesia Surakarta (ISIS) ini mengaku bahwa dirinya telah senang menari sejak umur 6 tahun. Hingga akhirnya beliau diberikan kesempatan untuk dapat menuntut ilmu tari lebih tinggi lagi dengan beasiswa hingga ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.

Eko mengaku sangat bahagia ketika diberikan kesempatan untuk bisa menampilkan dua karyanya ini di hadapan masyarakat Melbourne. Baginya, terdapat pesan-pesan tersendiri yang hadir dalam kedua karyanya tersebut. “Cry Jailolo menceritakan tentang adanya kerusakan terumbu karang, ekosistem dan maritim laut di Indonesia, khususnya di bagian Halmahera Barat, Maluku Utara,” ucapnya. Eko menilai bahwa telah banyak terjadi kerusakan di lautan Indonesia timur ini yang diyakini karena adanya ulah-ulah masyarakat setempat yang tidak bertanggung jawab. “Makanya tarian ini formasinya lebih seperti schooling fish, atau ikan-ikan yang bergerombol dikarenakan kehilangan rumahnya,” jelas pemilik sanggar tari bernamakan Ekos Dance Company ini.

Formasi schooling fish dalam tarian Cry Jailolo`

Jailolo sendiri merupakan salah satu nama daerah yang terletak di Maluku. Selain terinspirasi oleh daerah tersebut, Eko menyampaikan bahwa pengalaman pertamanya untuk diving juga menjadi alasan ia menciptakan Cry Jailolo yang sudah terbentuk sejak tahun 2012 ini. “Disebabkan karena saya menyelam pertama kali di Halmahera itu, saya pertama kali pula menyaksikan kerusakan terumbu karang itu secara langsung. Dan dari sanalah awal mula dari Cry Jailolo ini”.

Keunikan dari Cry Jailolo didapati dari gender seluruh penari, yang semuanya adalah pria. “Saya dari awal memang sudah menargetkan untuk memakai penari pria sejak tahun 2012. Karena saya ingin menceritakan tentang optimisme anak laki-laki setempat yang tadinya dipaksa untuk menjadi seorang polisi atau tentara, dan masih memiliki keinginan kuat untuk mempunyai dan mewujudkan mimpi yang berbeda,” jelas pria kelahiran 26 November 1970 ini. Bahkan, dari segi kostum Eko menceritakan bahwa itu mengandung makna tersendiri, “ya saya sengaja memberikan mereka celana bewarna merah, karena itu merepresentasikan warna terumbu karang”.

bersama para penari Balabala

Lain Cry Jailolo, lain pula halnya denga Balabala; sebuah tarian yang terdiri dari 5 penari wanita yang juga menceritakan tentang kehidupan wanita Indonesia bagian timur. “Saya ingin menceritakan perempuan di Indonesia timur, betapa perempuan di sana banyak mengalami kekerasan. Maka dari itu, beberapa pola-pola tarian yang saya ciptakan menggunakan tari-tarian perang. Saya ingin membantu menunjukkan bahwa perempuan juga bisa mempunyai sikap, hak berbicara dan melawan demi melindungi dirinya sendiri,” kata Eko.

Bekerja sama dengan perancang busana Tanah Air Oscar Lawalata, Eko mengaku bahwa kostum yang dipakai oleh penari Balabala ini pun juga mengandung makna tertentu. “Warna biru yang dikenakan mereka adalah simbol daripada alam yang ada di Halmahera,” tutur pria yang baru saja menyelesaikan pendidikan doktor nya dari Universitas Gadjah Mada ini.

Kedepannya, Eko berharap ingin lebih terjun untuk memperkenalkan kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia yang tidak hanya berasal dari Indonesia bagian barat saja, melainkan Indonesia Timur pun memiliki kekayaan yang luar biasa. “Saya ingin menunjukkan bahwa sumber tari Indonesia itu juga ada di Maluku Utara, Barat dan lain-lain. Dan saya merasa sebagai seorang seniman, perlu mempromosikan kebudayaan Indonesia yang sangat beragam ini”.

Bagi Eko, tahun ini nampaknya jadwalnya terbilang padat. Diakui bahwa Cry Jailolo yang sudah pernah tur di Asia, Eropa dan Australia akan unjuk gigi di Palestina dan Eropa kembali. Sedangkan untuk Balabala, sudah melalui tur ke Sydney, Jepang dan Melbourne, dan dikabarkan akan melaksanakan pertunjukan di Eropa. “Iya, doakan saja semuanya berjalan dengan lancar,” tutup Eko.

 

 

Fifi