Tahun pemilu, situasi ekonomi yang semakin lesu akibat Covid-19, dan isu kesenjangan ras yang baru-baru ini diberitakan di media, membawa berbagai tantangan bagi Amerika Serikat saat ini. Termasuk warga Indonesia yang tinggal di Negeri Paman Sam itu. Kali ini BUSET mewawancarai para pelajar Indonesia seputar isu-isu mengenai prospek karir, tren lapangan kerja, imigrasi, dan kehidupan mereka sebagai minoritas di Amerika memasuki fase ‘new normal’ (normal baru).

Davin Dewantara, Pengusaha Muda dan Lulusan MBA, Seattle University

Bersiap-siap Untuk Bekerja Dari Rumah

10 tahun tinggal di kota yang menjadi markas besar Amazon, Microsoft, Expedia membuat Davin tidak asing lagi dengan tren dunia pekerjaan yang semakin sarat dengan teknologi internet dan telekomunikasi. Fenomena work from home atau bekerja dari rumah menurut pemuda asal Medan itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh karyawan perusahaan-perusahaan di kota Bellevue, Washington State, khususnya di sektor teknologi.

“Sekarang banyak perusahaan mulai berpikir untuk apa kita perlu menyewa gedung-gedung besar di downtown kota Seattle kalau semua bisa bekerja di rumah?” cetus mantan karyawan Microsoft itu.

“Pekerjaan semua dapat dilakukan secara online. Jelas seperti zoom, kita gunakan dengan jumlah sangat besar sekarang,” ujarnya, merujuk kepada wawancara dengan kru BUSET. Dirinya juga berpendapat bahwa work from home akan menjadi tren tetap dalam fase new normal karena jauh lebih cost efficient bagi perusahaan.

Perusahaan Teknologi adalah Masa Depan

Menurut pengusaha muda yang sejak 2013 sudah merintis bisnis online food delivery itu, platform teknologi telah berkembang dengan pesat, terutama di bidang pembayaran.

Payment system dulu yang tersedia hanya Paypal, tapi sekarang sudah banyak perusahaan-perusahaan baru yang kita bisa langsung hookup ke website kita. Sekarang semua platform telah tersedia, kita tinggal copy sourcecodenya dan langsung bisa kita gunakan,” jelas lulusan MBA dari Seattle University itu.

Davin juga berpendapat bahwa tren investasi akan terus mengalir ke sektor teknologi.


Monica Selles, Master of International Economic Policy, George Washington University

Status Imigrasi Menjadi Faktor Utama

Memiliki ijazah dari perguruan tinggi Amerika dan gelar yang mengagumkan bukan lagi menjadi jaminan bagi para pelajar asing yang berniat untuk mencari pekerjaan di Amerika. Pasalnya, kebijakan Presiden Donald Trump yang semakin tidak bersahabat terhadap tenaga kerja asing semakin mempersulit perusahaan lokal untuk merekrut pekerja asing. Faktor kebijakan ini juga sering dikaitkan dengan angka pengangguran yang kian meningkat selama Covid-19.

Hal ini berdampak besar bagi para international students yang bertujuan untuk mencari kerja dalam program Optional Practical Training (OPT) selepas lulus dari perguruan tinggi. OPT yang merupakan program pemerintah mengizinkan pelajar internasional untuk bekerja selama 1 hingga 3 tahun di bidang yang sesuai dengan studi mereka. Selama ini OPT juga merupakan salah satu daya tarik bagi para pelajar internasional untuk memilih Amerika sebagai negara tujuan mereka.

I think from my observation, kalau kamu punya degree in STEM, kaya software engineer, job prospectnya lebih bagus dan opportunity lebih banyak. As for me, as my major is in International Economic Policy, I did get interviews cuma karena Trump’s administration, immigration status juga berperan dalam mencari pekerjaan. Ga sembarang orang bisa masuk US atau dapat green card status. Bayangkan sekarang kalian orang asing baru lulus dan cari pekerjaan waktu Covid, kalian harus compete bukan hanya dengan other international students tapi juga local students yang baru graduate. Ini double the pressure, karena banyak perusahaan yang prefer hire yang punya permanent work status kaya green card or citizenship,” kata mantan compliance intern di Kroll Consulting itu.

Dirinya juga mengaku mengalami tantangan mencari pekerjaan dibidang yang diminatinya. Pasalnya sebagian besar lowongan yang tersedia di kota Washington D.C. merupakan pekerjaan di pemerintahan dan membutuhkan status kewarganegaraan Amerika sebagai syarat untuk melamar.


Patrick Handojo, Lulusan Computer Science, New York Institute of Technology

Visa H-1B dan Sponsorship Semakin Langka

Sentimen yang sama juga dikemukakan oleh Patrick, lulusan computer science dari New York Institute of Technology. Meski ia banyak menerima panggilan wawancara dari perusahaan tempat dia melamar sebagai staff IT, status imigrasi tetap menjadi halangan baginya untuk mendapatkan tawaran kerja sebagai staff permanen.

“Saya sempat bekerja untuk suatu perusahaan yang terang-terangan mengaku bahwa harga yang harus mereka bayar sangat mahal untuk memberi sponsorship bagi pekerja asing untuk mendapatkan H-1B visa. Sekitar 60.000 USD, dan banyak perusahaan yang tidak mampu membayar harga tersebut,” kata Patrick yang dulu pernah bekerja sebagai security manager di suatu perusahaan di bidang crypto currency.

Saat ditanya apakah ada isu diskriminasi karena ras dalam proses hiring, pria asal Surabaya itu membantah.
Most of the time they’re not racist, it’s mostly money,” jawabnya.

Phoebe