Seperti yang diketahui, hukuman mati di Indonesia sampai saat ini masih berlaku. Hukuman mati tersebut biasa dijatuhkan kepada terpidana kasus terorisme, pembunuhan berencana dan pengedaran narkoba. Namun apakah hukuman mati yang diterapkan dapat membuat efek jera?
Ken Matahari, pria asal Yogyakarta yang saat ini bekerja sebagai staf Amnesty International di Sydney, New South Wales, memiliki pandangan menarik tentang hukuman mati. Awalnya Ken setuju dengan adanya hukuman mati untuk masyarakat yang memiliki kasus serius karena dirinya melihat penegakan sistem hukum Indonesia cukup lemah dibandingkan negara lainnya. Sebagai contoh, Negara Singapura yang memiliki penegakan hukum tegas dan menggunakan hukuman mati bagi pengedar narkoba dinilai manjur untuk memberantas gembong narkoba. Bisa jadi pandangan Ken tujuh tahun silam ini masih sama dengan pemikirian mayoritas penduduk Indonesia sekarang.
Sejak bergabung sebagai pekerja sukarela untuk Amnesty International di Adelaide pada akhir 2009, Ken mulai tertarik mempelajari lebih lanjut perihal penegakan hak sipil dan politik di Indonesia. Terlebih lagi, ketika membaca sebuah brosur Amnesty International yang jelas-jelas menentang hukuman mati tanpa kecuali.
Rasa ingin tahu Ken yang begitu tinggi mendorongnya untuk mencari beberapa sumber berita mengenai hukuman mati. Sarjana lulusan Hubungan Internasional, Studi Pembangunan dan Hak Asasi Manusia itu lalu menemukan beberapa kasus dimana hukuman mati dapat berakibat fatal. Proses hukuman mati ternyata sangat panjang dan kompleks, bahkan, dalam perjalanannya, orang yang tidak bersalah pun ada yang akhirnya dieksekusi. Beberapa diantaranya ada yang sudah dipenjara sekian lama, menunggu untuk dieksekusi, namun akhirnya terbukti tidak bersalah.
Seorang kakak beradik asal Amerika Serikat, misalnya, pernah mengalami hal ini. Henry McCollum dan Leon Brown dijatuhkan hukuman mati seturut hukum di Karolina Utara. Kakak beradik yang kala itu berusia 19 dan 15 tahun tersebut memiliki difabel mental dan mereka terjebak dalam sebuah kasus pemerkosaan gadis berusia 11 tahun. Mereka menyatakan telah dipaksa untuk menandatangani surat pengakuan. Setelah lebih dari 30 tahun dipenjara akhirnya keduanya terbukti tidak bersalah melalui penelitian DNA yang menunjukkan orang lain sebagai pelaku penganiayaan yang dituduhkan. Bayangkan berapa lama waktu yang telah mereka habiskan sia-sia serta tekanan mental yang dialami ketika berada di dalam penjara, dan bagaimana apabila kedua manusia ini sampai terlanjur dieksekusi.
Di Amerika Serikat, tercatat sekitar 4% orang yang tidak bersalah ikut dieksekusi. Meskipun angka yang diterbitkan Proceedings of the National Academy of Science ini termasuk kecil, tapi itu adalah nyawa manusia yang diambil secara tidak adil. Bila ternyata salah seorang dari 4% tersebut merupakan kerabat dekat kita, apakah kita dapat terima kenyataan? Dengan adanya kenyataan ini, Ken lalu mulai berganti arah. Menurutnya, hukuman mati bukan merupakan solusi yang tepat untuk menegakkan keadilan.
Ken pun takut membayangkan, kalau di negara maju seperti Amerika Serikat ada 4 nyawa melayang secara sia-sia dalam 100 kasus eksekusi, bagaimana dengan di Indonesia. “Apakah negara kita sudah layak untuk menggunakan hukuman mati dengan segala keterbatasan yang ada?” Pikirnya.
Bahkan, di Singapura yang nota bene merupakan negara yang sering digunakan sebagai contoh efektifnya hukuman mati oleh Ken dan kebanyakan orang lainnya, menimbulkan tanda tanya besar ketika ada penelitian oleh tim dari Universitas Hawaii pada tahun 2010. Para pengamat melakukan komparasi hukum di Singapura dan Hong Kong, dua negara yang memiliki kemiripan dalam banyak hal. Singapura dan Hong Kong cenderung memiliki tingkat pembunuhannya yang tidak berbeda jauh meskipun Hong Kong sudah menghapus hukuman mati sejak 1983. Menurut Ken, ini berarti ada indikasi jika memang hukuman mati tidak lebih tepat dibandingkan dengan hukuman yang lain. Ken lalu beropini, alangkah baiknya jika untuk kasus yang masih bisa ditangani tidak perlu dengan hukuman mati.
Hukuman Mati di Tanah Air
Seperti yang diketahui, Indonesia memberlakukan hukuman mati untuk kasus pembunuhan berencana, terorisme dan pengedaran obat terlarang. Padahal, hukuman mati bagi terpidana narkoba merupakan pelanggaran hukum internasional karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan yang paling serius. Dan berdasarkan hukum internasional, narkoba tidak termasuk kategori “kejahatan paling serius” yang dapat secara sengaja dan langsung menyebabkan kematian.
Ken lanjut menjelaskan bahwa motivasi utama pengedaran narkoba adalah mendapatkan keuntungan finansial. Selain itu, pengguna juga memiliki peran dan pilihan untuk tidak mengkonsumsi narkoba. Dengan demikian, pantas jika kasus narkoba tidak termasuk kategori “kejahatan paling serius”.
Kendatipun, Presiden Joko Widodo tidak bergeming dalam menangani kecaman hukuman mati dua warna negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang dinyatakan bersalah atas penyelundupan narkoba pada 2005. Beliau tetap bersiteguh bahwa hal tersebut merupakan contoh dalam memerangi krisis narkoba di Tanah Air.
Tentunya reputasi internasional sebuah negara menjadi salah satu komponen kekuatan diplomasinya. Ken berpendapat, posisi Indonesia dalam hukuman mati dapat membawa dampak negatif bagi diplomasi bangsa. Hal ini pun mampu mempengaruhi tingkat perdagangandan investasi asing, serta perlakuan terhadap WNI di negara lain.
Pada Mei 2015, diperkirakan ada 208 WNI yang terancam hukuman mati di negeri asing. Dan posisi Indonesia yang masih memberlakukan hukum serupa mencoreng legitimasi moral untuk mendesak negara lain agar menghapuskan hukuman mati dan melindungi WNI yang terjerat hukuman mati.
Memang, masalah kriminalitas seperti pengedaran narkoba di Indonesia perlu ditangani secara serius. Penegakan hukum harus dibenahi, sistem keamanan bandara dan perbatasan negara harus diperketat, rehabilitasi korban pecandu perlu dibenahi, kasus korupsi musti diberantas, dan pendidikan anti narkoba perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah serta kerjasama masyarakat. Namun, bukan berarti hukuman mati menjadi jawaban yang tepat.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia, Ken berharap Indonesia dapat bergabung dengan 140 negara lainnya yang telah berhenti memberlakukan hukuman mati. Bagaimana dengan Anda?
Ken Matahari