Dewasa ini, revolusi berkendara umum mulai bangkit seturut perkembangan teknologi. Revolusi ini pertama kali dikenal dengan kemunculan Uber, sebuah perusahaan jaringan transportasi asal San Fransisco yang memberikan kemudahan mencari layanan tumpangan melalui aplikasi smartphone. Gerakan ini pun cepat diikuti oleh bisnis teknologi lainnya, sebut saja Grab Bike, Grab Taxi, ataupun ciptaan anak bangsa sendiri, Go-Jek.
Go-Jek sesungguhnya tercipta dari tahun 2011 saat sang CEO, Nadiem Makarim mengaku kesulitan mencari transportasi dalam menembus kemacetan Jakarta. Nadiem pun menciptakan Go-Jek, sebuah perusahaan penyedia layanan berpergian, pengiriman barang pesan-antar makanan serta berbelanja oleh armada ojek yang tersambung melalui aplikasi mobile. Dengan Go-Jek app, pengguna dapat memesan Go-Jek Driver terdekat, menghitung pembayaran di muka berdasarkan kilometer, men-track posisi driver setiap saat serta memberi rating bagi driver. Go-Jek sendiri menyeleksi dan memantau pengemudinya secara serius. Seluruh pengemudi terdaftar secara jelas dan mudah dikenali lewat jaket hijau Go-Jek yang mereka pakai.
Pemaduan tekonologi modern dengan fasilitas ojek yang sudah dikenal luas mampu membawa Go-Jek ke dalam kesuksesannya dalam waktu singkat. Hanya dalam beberapa bulan sejak peluncuran Go-Jek App, perusahaan tersebut sudah mendapatkan lebih dari 10 ribu pengemudi yang tergabung serta mencapai 1 juta order.
Namun, tentunya keberhasilan tersebut juga disambut oleh kecaman keras dari banyak pihak – entah dari pihak tukang ojek lainnya atau dari pemerintah sendiri. Apakah bisnis semacam Go-Jek akan sukses menjadi masa depan bertransportasi? Bagaimana cara merespon revolusi teknologi yang tak dapat dibendung ini?
Respon Positif
Sebagian besar pengguna dan pengemudi Go-Jek menuai respon positif terhadap perusahaan ini. Dari sisi pengguna, Go-Jek tidak hanya memberikan kemudahan berkendara, namun juga kemudahan hidup sehari-hari. Popularitas Go-Jek pun terlihat jelas dari banyaknya pelamar yang ingin menjadi pengemudi – selain tukang ojek pangkalan, banyak ibu rumah tangga, mahasiswa bahkan pegawai swasta yang ingin bergabung bersama Go-Jek.
Bagaimana tidak, para driver yang tergabung dalam Go-Jek mendapatkan fleksibilitas waktu layaknya freelancer serta mampu meraup penghasilan yang tinggi. Kalau dihitung-hitung, rata-rata penghasilan perbulan driver Go-Jek dapat mencapai Rp 4 juta per bulannya.
Sistem pembayaran dilakukan dengan membagi 80:20 dari hasil mengojek – 80 persen untuk driver dan sisanya untuk Go-Jek. Selain itu, Go-Jek juga memberikan bonus Rp 100 ribu bagi driver yang mampu membawa pelanggan 10 kali dalam sehari serta mengadakan sistem ranking untuk memacu para driver. Go-Jek menjadi pilihan yang lebih menguntungkan karena mengurangi waktu menunggu dengan penghasilan yang lebih jelas.
Go-Jek pun mendapat dukungan positif dari pemerintah, termasuk dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Ahok mengatakan tukang ojek yang bergabung dengan Go-Jek akan lebih efisien karena tidak perlu berkeliling demi mencari penumpang. “Kalau gabung dengan GoJek, pramudi itu tahu ada penumpang di sekitarnya yang sedang butuh mereka,” ujar sang gubernur seperti dikutip dalam ringkasan berita Tempo.co.
Tak tanggung-tanggung, Ahok pun mulai mengajak pihak Go-Jek untuk bekerjasama sebagai moda feeder dalam sistem Bus Transjakarta. Melalui kerjasama ini, diharapkan Go-Jek serta Transjakarta akan bersinergi untuk mempermudah angkutan umum massal.
Penolakan Go-Jek
Di lain pihak, kecaman negatif turut datang bertubi-tubi pada Go-Jek. Sempat banyak terlihat simbol penolakan dalam bentuk spanduk di sejumlah pusat keramaian ibu kota, seperti Palmerah, Kalibata City, bahkan Bintaro. Penolakan ini datang dari pangkalan ojek konvensional yang menganggap Go-Jek sudah merebut penumpang mereka. Beberapa tukang ojek pangkalan mengaku kesal karena Go-Jek menyalahi aturan sistem penarikan penumpang pangkalan tersebut, yang biasanya dilakukan secara bergiliran.
Namun, yang mengherankan, banyak tukang ojek yang masih enggan bergabung dengan Go-Jek. Sistem pembagian hasil Go-Jek dianggap merugikan karena sang driver tidak mampu meraup untung secara penuh. Selain itu, sistem penentuan tarif di muka juga dianggap kurang menguntungkan karena mengurangi kesempatan bagi tukang ojek untuk bertawar harga.
Go-Jek juga kerap mendapat penolakan dari pemerintah. Walaupun sudah memiliki izin usaha, Go-Jek tetap dipandang ilegal karena memakai moda ojek yang tidak termasuk dalam sarana angkutan umum berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, Ellen SW Tangkudung, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, menilai kehadiran Go-Jek sebagai buah dari kurang baiknya penataan transportasi publik di Jakarta. Ellen mengkhawatirkan akan terjadi penguasaan transportasi publik oleh swasta apabila hal ini dibiarkan.
Lalu?
Mungkin banyak timbul pertanyaan: Dengan banyaknya respon negatif, mengapa Go-Jek tidak dapat dihentikan pemerintah layaknya Uber? Berbeda dengan Uber yang sering ditangkap oleh aparat karena dianggap berbisnis ilegal, Go-Jek tidaklah menyalahi aturan berbisnis UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Jadi, Go-Jek tidak akan dapat dihentikan karena ia memiliki izin bisnis yang sah dan tidak pernah melanggar hukum.
Dengan ini, kehadiran Go-Jek dan aplikasi sejenis sebagai revolusi bertransportasi tidaklah dapat dibendung. Sehingga, hal yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi bisnis tersebut di bawah payung hukum yang jelas. Wakil Ketua DPR Komisi V Yudi Widiana menilai perlunya kehadiran regulasi yang jelas untuk mengatur Go-Jek – tentunya dimulai dari isu pemakaian sepeda motor sebagai angkutan umum. “UU Lalu Lintas menyebutkan kendaraan roda dua bukan transportasi umum, itu yang pertama diubah,” ujar Yudi seperti dikutip dalam CNN Indonesia. Pengaturan selanjutnya, menurut Yudi, adalah dari segi keamanan berkendara, seperti batas kecepatan, serta sertifikasi pengendara.
Kehadiran Go-Jek tentunya telah menjadi solusi bagi kesulitan transportasi di kota-kota besar Indonesia. Walau mengundang berbagai macam respon, Go-Jek masih memerlukan dukungan pemerintah untuk beroperasi secara optimal. Apa pendapatmu tentang revolusi ini? Apakah masyarakat kita akan siap dalam menghadapi inovasi bertransportasi ini?
flase
berbagai sumber
foto: instagram/facebook