HANGAT DARI TANAH AIR
Menutup tahun 2017 masyarakat Indonesia – terutama orang tua yang memiliki anak kecil – dihantui perasaan was-was lantaran penyakit Difteri diberitakan telah kembali menyebar dan membahayakan populasi Indonesia.
Difteri adalah infeksi bakteri Corynebacterium Diphtheriae yang terjadi dalam kurun waktu cepat dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir hidung dan tenggorokan. Bakteri penyebab Difteri akan memproduksi racun yang menyerang dan membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan. Tidak hanya itu saja, racun tersebut dapat juga masuk dalam aliran darah yang bisa menyebabkan kerusakan pada syaraf, ginjal, dan jantung. Difteri tidak hanya menyerang bagian dalam tubuh, namun bagian luar seperti kulit dapat juga menyebabkan luka.
Jika tidak segera ditangani, maka akan terbentuk lapisan tebal yang berpotensi menutup jalan napas penderita sehingga mengakibatkan sesak napas, kekurangan oksigen, dan akhirnya kematian. Kematian juga bisa disebabkan apabila racun yang diproduksi berdampak pada gagal jantung dan penutupan jalur pernapasan.
Penyebaran Difteri pun tergolong sangat mudah, yakni melalui udara, bersentuhan luka, dan menggunakan benda-benda yang terkontaminasi, termasuk alat makan orang yang sudah terinfeksi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia melaporkan dalam jangka waktu Oktober hingga Desember 2017 terdapat 28 provinsi yang melaporkan kasus Difteri, termasuk Aceh, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Bahkan sangking luasnya area yang terkena imbas dan cepatnya penyebaran penyakit ini membuat Kemenkes menetapkan kasus Difteri sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Bila ditilik, Difteri bukanlah penyakit yang baru. Beberapa sumber menyatakan jika dunia medis telah mulai menemukan jenis infeksi Difteri pada tahun 1613 ketika Spanyol mengalami epidemik Difteri. Vaksin difteri kemudian dikembangkan pada tahun 1921 dan mulai digunakan secara regular pada tahun 1940-an. Seperti yang ditulis situs okezone.com, Koesmedi Priharto selaku Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta menyatakan bahwa penyakit Difteri adalah penyakit lama yang belum sepenuhnya hilang di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Menjelang akhir 2017, penyakit difteri ini menyebar di berbagai daerah dan menyebabkan kematian yang cukup banyak pula. Seperti yang diberitakan di berbagai media massa, Indonesia mencatat hampir 600 kasus Difteri dari anak usia 3 tahun hingga dewasa berusia 45 tahun, dengan angka kematian 38 kasus hingga pertengahan Desember 2017. Daerah yang dinyatakan memiliki resiko tertinggi adalah Jawa Timur dengan 265 kasus Difteri dan 11 kematian.
Pemerintah bereaksi dengan memberikan Outbreak Response Immunization (ORI) bagi anak-anak yang belum diberikan vaksin Difteri. Imunisasi ini diberikan secara gratis tanpa kecuali. Sebetulnya vaksin Difteri sudah harus diberikan pada balita sejak berusia dua bulan. Di Australia, jadwal vaksin Difteri diberikan sebanyak empat kali ketika anak berusia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 4 tahun. Kendatipun, menurut data dari Kemenkes, hanya sekitar 75% anak-anak Indonesia yang telah divaksin Difteri.
Ironisnya, berbagai sumber menyatakan penyakit Difteri ini sudah sangat minimal pada jaman pemerintahan Presiden Suharto selama 3 dekade. Akan tetapi, setelah Presiden RI ke-dua tersebut lengser, program imunisasi pemerintah jadi sedikit terbengkalai sehingga pemberian imunisasi sejak balita menjadi tidak menyeluruh di semua lapisan masyarakat.
***
Gejala Difteri termasuk sama seperti penyakit saluran pernapasan pada umumnya:
- Sakit tenggorokan
- Demam
- Kurang nafsu makan
- Sesak nafas
- Pembengkakan leher (bullneck)
Masa inkubasi 48 jam akan diikuti dengan timbulnya selaput sel-sel mati pada tenggorokan. Jika tidak dilakukan tindakan pengobatan, dapat menutup jalur pernafasan di tenggorokan sehingga mau tidak mau leher harus dilubangi demi mempertahankan sirkulasi udara ke dalam dan luar tubuh.
Rr
Berbagai sumber