Jika mengingat emansipasi perempuan, pasti langsung teringat sosok Raden Adjeng Kartini. Ia merupakan anak dari seorang bupati yang mendapatkan kesempatan untuk merasakan bangku sekolah hingga usia 12 tahun. Menjadi istimewa karena pada era itu, perempuan lainnya dilarang berpendidikan dan hanya boleh berdiam diri di rumah (dipingit) untuk bekal rumah tangga di kemudian hari.
Seluruh perjuangan Kartini untuk membangunkan emansipasi tertulis dalam surat-surat kepada sahabat penanya di Belanda. Surat-surat tersebut disatukan dalam sebuah buku berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Tak hanya itu, sebagai cara untuk menghormatinya, kini hari kelahiran perempuan asal Jepara ini diingat setiap 21 April sebagai Hari Kartini.
Lengkap dengan setelan kebaya dan sanggul yang beragam, murid perempuan tampak memamerkan kecantikannya di hari tersebut. Lomba-lomba khas ‘perempuan’, seperti peragaan busana atau memasak kerap menjadi acara yang sering diselenggarakan. Namun, apakah perayaan Hari Kartini hanya dirayakan dengan simbol tersebut?
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
Kekerasan tersebut lebih tinggi dialami oleh perempuan yang tinggal di daerah perkotaan, yaitu 36,3 persen. Dibandingkan yang tinggal di daerah pedesaan, yaitu 29,8 persen. Perempuan dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas merupakan korban yang paling banyak (39,4 persen) dibandingkan perempuan dengan status tidak bekerja (35,1 persen).
Tak hanya itu, dalam data Potret Pendidikan Indonesia 2017, peserta didik perempuan terhitung masih lebih sedikit dibandingkan laki-laki pada Tahun Ajaran 2016/2017. Namun, sudah lebih besar dari 40 persen. Lain halnya dengan jenjang pendidikan menengah ke atas, lebih dari separuh peserta didik SMA adalah perempuan (55,47 persen).
Kedua hasil riset tersebut menjadi salah satu tolak ukur bahwa saat ini emansipasi wanita belum seperti yang diimpikan oleh Kartini. Masih banyak yang menjadi korban kekerasan, serta masih ada yang belum bisa menikmati pendidikan tinggi. Meski perkembangannya masih tetap terasa dan kian meningkat.
Kendatipun, yang perlu dijadikan refleksi diri adalah dimana Hari Kartini bukan hanya dirayakan melalui simbol tertentu, tetapi juga melalui pembuktian nyata bahwa perempuan juga dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi dan dapat diandalkan. Perempuan dapat berkontribusi pada bidang yang ditekuni masing-masing.
Layaknya, sosok Srikandi Bahasa asal Majalengka, Niknik M. Kuntarto menganggap bahwa emansipasi perempuan merupakan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki untuk bisa maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya.
“Kemajuan suatu bangsa terletak pada seberapa jauh kemajuan para wanitanya. Margaret Thatcher, Benazir Bhutto adalah contoh nyata. Itulah mengapa ada istilah ibu pertiwi, ibu kota, ibu jari. Ibu atau seorang wanita adalah jantung suatu bangsa. Indonesia tentu memerlukan wanita-wanita hebat agar menjadi negara maju. Kita memiliki R.A. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, atau wanita-wanita hebat zaman sekarang seperti Susi Pujiastuti dan Sri Mulyani. Mereka bukan hanya sebagai orang hebat, melainkan sosok yang menginspirasi wanita-wanita lain di Indonesia, bahkan dunia,” ujar Niknik melalui pernyataan resmi kepada Buset, Jumat (16/2).
Makin ke sini, emansipasi bukan hanya terbentur pada masalah hak mendapatkan pendidikan. Emansipasi juga menyangkut bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Meski begitu, penulis novel Saatirah ini menyampaikan bahwa emansipasi perempuan di Indonesia juga harus berdampingan dengan kodrat wanita terlahir ke dunia bukan hanya ‘menyerupai’ lelaki.
“Pergilah! Berjuang dan menderita lah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”
Tidak jauh berbeda, konsultan legal Dhyana Arifin yang juga beranggapan bahwa emansipasi perempuan tidak mutlak bahwa seorang perempuan harus disamakan dengan laki-laki. “Emansipasi bisa diwujudkan dengan sikap orang lain dalam ‘memberdayakan’ perempuan dengan cara yang positif. Bukan untuk dijadikan korban kekerasan atau dieksploitasi oleh orang-orang tidak bertanggungjawab. Karena setiap perempuan memiliki kepandaiannya masing-masing,” ungkap Dhyana saat ditemui tim Buset di kediamannya, Tangerang Selatan (10/2).
Dengan cara yang sederhana, Dhyana membuktikan bahwa ia telah mengizinkan anak perempuannya untuk mengecap jenjang pendidikan hingga S1. Ia selalu mengajarkan bahwa tidak selamanya perempuan hanya di balik layar. Dhyana selalu berkeyakinan bahwa perempuan juga bisa menjadi seseorang yang memimpin tanpa kehilangan kodratnya.
Tak hanya lewat selebrasi dengan kebaya dan sanggul yang indah, perempuan Indonesia harus bisa maju dan membuktikan kekuatannya. Setiap perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya, belajar, dan bekerja.
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderita lah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi,” tulis Kartini dalam secarik kertas surat yang ia kirimkan kepada Nyonya Abendon pada 1901.
Selamat Hari Kartini untuk semua wanita Indonesia!
Dhyra