“Gunung berapi sudah lama menjadi objek imajinasi seniman di Indonesia. Salah satu [seniman tersebut] adalah pelukis abad ke-19 yang melukis Gunung Merapi yang meletus di tahun 1865.”
-Dr. Susie Protschky-

Baru-baru ini Dr. Susie Protschky melakukan presentasi dengan tajuk “Disaster work: Histories of Indonesian lives and livelihoods around volcanoes”. Acara yang berakhir dengan sesi tanya jawab itu dimulai pada pukul 11 pagi.

Dalam kesempatan presentasinya, Susie kemudian memperlihatkan gambar Gunung Marapi di Sumatra karya Josias Cornelis Rappard yang ialah tentara kerajaan Hindia Belanda di tahun 1882-1889. 

Di dalam presentasinya, gambar tersebut tidak lagi lukisan, melainkan hasil kromolitografi, cabang dari litografi yang merupakan metode percetakan di atas permukaan licin.

Potret Gunung Marapi di Sumatra tahun 1880

(foto: Koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen)

“Saya suka sekali dengan gambar ini karena menunjukkan kesuburan yang merupakan bagian dari gunung berapi juga orang-orang Indonesia yang sedang beraktivitas.”

Kalimat pembuka tersebut menjadi awal dari diskusi yang membahas berbagai hal yang secara garis besar adalah tentang bagaimana fotografi menceritakan kondisi masyarakat di sekitar gunung berapi periode 1840 sampai 1950-an.

DARI RISET HINGGA DOKUMENTASI

Dalam penelitiannya, Susie yang saat ini merupakan dosen senior bidang Sejarah di Monash University menemukan perubahan fungsi fotografi di Indonesia dari hasil pengamatannya atas periode 1840-an ke 1950-an. 

“Dari periode yang saya amati, bencana alam yang sering terjadi di masa itu diabadikan dengan jenis fotografi baru, yang dengan cepat berkembang di nusantara,” katanya kepada orang-orang yang hadir di Sir Louis Matheson Library hari itu.

“[Fotografi] bukan hanya [dilakukan] di daerah kejadian, tapi juga di tempat dengan audiens berbeda.”

Susie mengatakan bahwa fungsi fotografi di Indonesia yang awalnya adalah untuk penelitian Arkeologi, ekspedisi etnografi ilmiah, dan keperluan militer berubah dan mulai melibatkan faktor pemakaian oleh konsumen.

“Fungsinya melebar dan melibatkan pemakaian oleh konsumen, seperti fotografi komersial dan studio, kartu pos dan album foto. Ini terjadi dari tahun 1860-an sampai 1910-an.”

Menurut penelitian Susie, di masa itulah fotografi yang biasa digunakan amatiran mulai digunakan oleh orang biasa tepatnya di tahun 1920-an. Selain itu, fotografi juga digunakan untuk menghasilkan gambar yang menambah keterangan visual dalam buku dan jurnal.

Ia juga memberitahu para pendengar tentang salah satu fotografer komersial yang suka mengambil gambar gunung berapi juga bencana alam di Indonesia yaitu Thilly Weissenborn yang merupakan fotografer perempuan signifikan kelahiran Indonesia pertama pada masanya. Ia memiliki studio foto bernama GAH Lux. 

Hasil potret Thilly Weissenborn sebagai fotografer komersial

(foto: KITLV Special Collections, Leiden University Library)

FOTOGRAFI = CARA TURIS BERINTERAKSI

Susie mengatakan bahwa fotografer komersial yang mulai bermunculan di masa itu mendorong pertumbuhan pariwisata turis Eropa ke situs gunung api di Indonesia kolonial.

“Saya menemukan seberapa penting fotografi itu bagi para peneliti gunung berapi dan ahli ilmu Fisika, yang seringkali juga memiliki ketertarikan dan hobi di bidang geologi, vulkanologi — bidang-bidang yang berkembang di abad ke-19 dengan berkembangnya jumlah turis di Jawa hingga daerah perbukitan di pegunungan vulkanik.”

Fotografi gunung api oleh turis Eropa di masa itu, sebagaimana Susie menjelaskan kepada pendengar, seolah-olah dianggap sebagai cerminan keberanian mereka menjelajahi daerah tropik yang kondisi [daerah]nya bergejolak [atau tidak tentu].

“Fungsi sosial dari fotografi gunung api, baik baru atau lama, adalah untuk menginspirasi sekaligus mendokumentasikan perjalanan yang dilakukan wisatawan dalam menjelajahi pemandangan spektakuler, indah dan dengan sifatnya yang berubah-ubah,” katanya.

“Cara orang Eropa berinteraksi dan berpetualang di alam Indonesia sebagai wisatawan dibentuk oleh fotografi.”

Walau demikian, Susie mengatakan bahwa sejarah Sains dan Arkeologi Eropa serta catatan sejarah penjajahan berkali-kali mendorong kita untuk mengalihkan fokus kepada eksploitasi tenaga kerja di situs gunung berapi tersebut.

GAJI KULI LEBIH RENDAH DARI MAKAN SIANG

“Yang saya sadari ketika melihat lebih dekat pada foto-foto arsip ini adalah kehadiran orang Indonesia sebagai portir [atau kuli pengangkut barang] dan pemandu wisata bagi wisatawan Eropa,” kata Susie dalam seminar yang berlangsung selama satu jam lebih itu.

“Ketika melihat satu per satu foto dari tahun 1910-an hingga 1950-an, banyak orang yang berperan sebagai pemandu, yang membawa para ahli dan ilmuwan Eropa kepada ketinggian gunung api sambil membawa perlengkapan, makanan, kamera.”

“Ini ternyata adalah orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai pemandu wisata, yang sesungguhnya tidak mengherankan karena kalau Anda pernah wisata ke Indonesia, mereka masih ada sampai sekarang.”

Setelah menyadari keberadaan portir atau kuli pengangkut barang dan pemandu wisata dalam foto-foto yang ia amati, Susie mulai menggali informasi tentang pariwisata melalui brosur atau pun cetakan kertas lainnya dari hotel atau agen wisatawan di masa itu.

“…ternyata, melihat buku pedoman [wisata] yang dicetak di Belanda tahun 1922, di Garut terdapat kota penginapan yang terdiri dari beberapa jumlah hotel. Dan kota ini dibuat terkenal oleh Thilly Weissenborn. [Dari buku itu, saya tahu kalau] Anda dapat melakukan tur dan melihat gunung berapi dari sana.”

“Ternyata Anda juga dapat menyewa kuli untuk membawakan sarapan piknik atau peralatan kamera. Secara terang-terangan disebutkan bahwa jasa pembawaan kamera berharga seharga setengah gulden.”

Ia pun memberikan informasi harga lainnya seperti tujuh gulden untuk pergi ke Kawah Kamojang dengan menyewa kuda dan kursi yang diangkut oleh para kuli, delapan gulden untuk menyewa dua atau empat kuli dan 10 gulden untuk menyewa enam orang kuli bila terlalu berat.

Informasi tersebut pun membuatnya bertanya-tanya soal pengertian dari kuli.

“Tidak jelas sebenarnya apa yang dimaksudkan buku pedoman itu ketika menyebut kata ‘kuli’. Apakah maksud mereka tenaga kerja intensional, yang keberadaannya tidak sah di tahun 1930-an?”

“Hal ini menarik untuk ditelusuri. Apa maksud mereka menyebut kata ‘pekerja manual’? Apakah orang yang mengangkat barang berat dan melakukan kegiatan berat?”

Susie juga menyampaikan tentang bagaimana pemandu wisata pada waktu itu mendapat bayaran yang lebih rendah dari harga makan siang di planetarium hotel.

“Pemandu dibayar seharga setengah gulden per orang. Jadi, kalau satu kelompok berisi enam orang, satu orang membayar 50 gulden sen. Untuk memberi ilustrasi yang jelas, sedangkan untuk makan di planetarium hotel membutuhkan uang seharga 3,50 gulden per orang.”

“Jadi, tenaga kerja lebih murah dari makan siang.”

Suasana Gunung Bromo di tahun 1950

(foto: Collection Nationaal Museum van Wereldculturen, Album 2007)

Beberapa hal lainnya seperti kondisi para buruh di pabrik sulfur di abad ke-19 juga dibahas oleh Susie dalam diskusi terakhir tahun 2019 seri Monash Indonesian Seminar Series (MISS) yang merupakan kolaborasi dari Monash University Library dan Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre tersebut.

Tema diskusi yang tidak biasa ini menarik perhatian para pendengar yang datang dari latar belakang alumni, staff, mahasiswa serta publik yang tertarik untuk hadir. Di akhir diskusi, beberapa dari mereka melemparkan pertanyaan berkaitan dengan bencana alam hingga penggunaan gambar dalam teks, bidang yang didalami Dr. Susie sebagai seorang dosen senior di Monash University.


APA KATA MEREKA

DESTARI PUSPA PERTIWI
Mahasiswi Master of Education (Digital Learning) Monash University

Acara ini jadi salah satu seminar yang cukup relevan juga karena saya memang berasal dari Lampung dan topiknya yang dibahas memang adalah orang-orang yang tinggal di daerah sekitar bencana, jadi ternyata kalau saya lihat ini lebih ke dokumentasi seperti fotografi, ataupun catatan jurnalistik atau media-media itu bisa jadi acuan untuk nantinya kedepannya jadi dokumen untuk penelitian.

Dan rencana untuk wisata dimana orang-orang pergi ke suatu tempat yang sebenarnya rawan sekali bencana kayak ke Bromo, ke Merapi, kita sebagai seorang wisatawan itu juga seharusnya aware dengan bencana-bencana yang mungkin di masa yang akan datang mungkin terjadi. Jadi menurut aku pribadi kalau misalnya nantinya kita jadi seorang traveller atau wisatawan dan ke tempat yang tadi, yang rawan gunung api atau bencana alam, kita bisa be mindful lihat nih tanda-tanda apa sih yang bisa muncul kalau kita lagi berwisata di sana.

Karena kalau sekedar foto atau selfie gitu ya, bisa dimana saja sebenarnya. Tempat bagus itu cuma bonus. Tapi tadi itu, being mindful dan aware sama environment yang kita kunjungi.

PAUL THOMAS
Peneliti dan staff pengajar di Deakin University

Menarik sekali karena kalau kita lihat mungkin 10 tahun belakangan ini ada banyak sejarawan mulai minat pada seni fotografi bukan dari segi seni, tapi dari segi sejarahnya. Dan mereka juga minat pada interaksi antara foto dan teks. Karena sebagai sumber memang informasi agak berbeda. Baru ada konferensi tentang kebudayaan Tionghua di Indonesia dan mereka mulai konferensi dengan akar fotografi tapi dia juga mengamati dari segi sejarawan dan bagi saya memang menarik.

Di sini kita bisa lihat peralihan dari informasi berdasarkan teks atau yang wacana sampai ke visual yang fotografi. Coba bayangkan surat kabar dewasa ini yang tidak menggunakan foto, tidak mungkin. Tetapi kalau awal abad 20 semua laporannya biasa melalui teks. Jadi pengaruh atau dampak teknologi pada proses kaum wartawan sangat penting dan menonjol. 

Karena Susie mulai dari tahun 1840 dan ‘50 pada waktu lahir seni fotografi sampai 1950 dan saya kira jarak waktu yang sangat penting dalam pengembangan seni visual sebagai pemicu budaya modern. 

Nasa