Pangan adalah satu dari tiga kebutuhan primer bagi manusia untuk bertahan hidup. Namun, karena makanan tersedia dengan begitu mudahnya tanpa sadar mereka melupakan kepentingan dan nilai akan makanan dan membuang sisa makanan yang tak termakan tanpa pikir dua kali.

Tabiat ini bersama hal-hal lain seperti regulasi umur simpan negara hingga isu-isu dalam proses produksi atau bahkan logistik makanan berkontribusi pada jumlah makanan yang terbuang di Indonesia – negara dengan jumlah limbah makanan tertinggi kedua di dunia.

Kondisi sampah ini menghasilkan permasalahan nutrisi tingkat nasional seperti kekerdilan, kekurangan gizi bagi beberapa wanita hamil, dan persentase Global Hunger Index Indonesia ada pada angka 21.9%. Semua hasil penelitian data ini-lah yang menjadi cikal bakal Food Cycle Indonesia. Untungnya BUSET Magazine mendapatkan kehormatan untuk mewawancarai pasangan penemu organisasi ini, Herman Andryanto dan Astrid Paramita.

Food Cycle adalah sebuah lembaga non profit yang bekerja untuk mendistribusi ulang, memproses ulang, bahkan mendaur ulang surplus makanan dari berbagai tempat. Melalui kerjasama bersama Grab, kantor-kantor, yayasan-yayasan, usaha wedding planner, hingga toko-toko roti mereka berhasil menyelamatkan lebih dari 15,000 makanan sisa yang didistribusi ulang kepada mereka yang memerlukan. Pada daat ini pula Food Cycle tengah merancang tempat sampah khusus makanan sisa, Waste2Garden dan Rooftop Farming yang diharapkan menjadi salah satu solusi solid dalam menangani limbah makanan.

Tetapi apa yang membuat Herman yang dahulu menimba ilmu jurusan computer engineering dan Astrid yang mempelajari teknik pangan untuk membuka food bank di Indonesia?

Pasangan Herman dan Astrid adalah pasangan power duo lulusan universitas RMIT di Melbourne. Kedua dari mereka cukup aktif dalam tugas-tugas di luar sekolah sebagai penambah nilai resume dan rangkaian pengalaman mereka. Salah satunya adalah acara besar bertajuk Festival Indonesia yang Herman rancang bersama Konsul Jendral kala itu, Wahid Supriyadi. Sedangkan Astrid dengan gigih mendaftarkan diri untuk bekerja di KFC dari posisi sebagai seorang kasir hingga ditugaskan sebagai penggoreng ayam.

“Pada akhirnya, kita harus bisa mempromosikan diri kita kepada pekerjaan-pekerjaan yang kita inginkan melalui pengalaman-pengalaman kita. Kita sudah harus bisa memiliki banyak cerita untuk menjawab pertanyaan, ‘kamu bisa apa?’. Tetapi jangan juga terlalu fokus dengan menambah pengalaman dan melupakan tanggung jawab utama kita yakni sekolah,” jelas Astrid yang juga adalah alumni SMAK 1 Penabur, Jakarta.

Meski sudah bertahun-tahun tinggal di Melbourne, pasangan ini belum menemukan alasan yang kurang untuk mengakar di Australia.

Herman lantas menguraikan keinginannya agar Astrid dan anak-anak mereka bisa berada pada lingkungan yang dekat dengan keluarga di Tanah Air. Akhirnya setelah beberapa kali pulang ke Indonesia mereka memutuskan untuk menetap secara permanen.

Sejak awal, kedua insan ini telah memiliki misi dan mimpi yang selaras untuk berbagi kembali kepada komunitas. Herman yang ialah alumni Kolese Kanisius Jakarta bahkan menambahkan bahwa mimpi ini didukung dengan pola pikir economic independence yang berarti kebebasan untuk hidup mandiri terlepas dari keberadaan uang.

Dari situ dapat disimpulkan bahwa kita bisa berbagi dengan sesama manusia kapan pun dan dalam bentuk apa pun, tidak melulu dengan uang.

Sebagai contoh, Astrid menceritakan mengenai pemulung di Bantar Gebang yang mereka bantu dalam bentuk edukasi dalam mengolah sampah mereka menjadi hiasan-hiasan rumah.

Di tengah perjalanan, mereka menonton sebuah video yang menjadi inspirasi dasar pasangan ini dalam mendirikan bank makanan. Video itu menceritakan sebuah gerakan yang mengumpulkan makanan-makanan sisa dari banyak acara pernikahan untuk diproses dan dikirim ke orang-orang yang membutuhkan. Konsep dan ide inilah yang kemudian melahirkan yayasan Food Cycle.

Herman dan Astrid lalu menjual ide-ide mereka kepada banyak perusahaan, seperti Bridestory yang kemudian menyetujui untuk bermitra. Berangkat dari sana, mereka lantas menciptakan sebuah video kampanye bagi gerakan pengiriman surplus makanan yang pada akhirnya membuat eksistensi Food Cycle menjadi viral. Food Cycle mengolah surplus dari acara pernikahan, perkantoran hingga pabrik-pabrik makanan.

“Orang-orang mungkin masih bingung akan bagaimana kita beroperasi dan sebagai penjelasan, kami tidak mengambil makanan sisa yang tersisa dari piring-piring setelah dikonsumi. Tetapi makanan tambahan atau makanan lebih yang kita sebut makanan surplus yang masih bersih-lah yang lalu kita ambil untuk didistribusi ulang. Kami lalu memeriksa kualitas dari makanan-makanan tersebut melalui bau, tekstur, hingga rasa dari makanan-makanan yang kami kumpulkan sebelum didistribusi oleh yayasan-yayasan yang bekerja sama dengan kami,” jelas ibu dari dua anak tersebut.

Seperti hal-hal lain di dunia ini, menjalani food bank memiliki tantangan-tantangannya sendiri. Herman dan Astrid mengakui bahwa waktu bukanlah sahabat mereka dan kerap kali mereka harus menunggu hingga subuh untuk makanan surplus datang dari acara-acara pernikahan yang kadang kualitasnya harus ditolak.

Terkadang pula tidak ada makanan surplus yang tersisa dari acara-acara tersebut walau telah lama menunggu. Tetapi semua halangan tidak mempatahkan semangat dan passion Herman dan Astrid dalam menjalani Food Cycle.

Herman menambahkan mereka juga mencari solusi untuk mengatasi cara mengolah makanan bagi masyarakat yang sangat kekurangan, salah satunya adalah dengan mengajarkan memproduksi makanan sendiri dengan bantuan teknologi dan proses-proses penanaman modern.

“Itu adalah salah satu mimpi terbesar Food Cycle yang Astrid dan saya ingin wujudkan di kemudian hari. Semoga dengan begitu daerah-daerah tersebut dapat digunakan oleh masyarakat setempat sebagai sumber produksi makanan mereka,” jelas Herman.

Besar harapan Astrid bahwa dengan menyadari permasalahan kelaparan nasional yang kritis ini, orang-orang lebih menghargai makanan yang mereka peroleh. Contohnya dengan memesan atau masak makanan secukupnya saja, tidak membuang-buang makanan dengan seenaknya, dan tentunya selalu dalam bentuk apa pun berbagi dengan sesama kita yang membutuhkan.