Ditemui di acara Melbourne Knowledge Week pada Mei 2017 yang lalu, Dr. Ronald Halim adalah seorang ilmuwan Indonesia yang bergerak di bidang sumber daya berkelanjutan, atau sustainable resources. Saat ini ia tengah menjabat sebagai seorang postdoc di University of Melbourne. Dengan timnya, ia mendalami proses pembuatan bensin (biofuel) dari bahan dasar alami berupa microalgae, atau lumut yang umumnya ditemui di permukaan danau, sungai dan laut.

Ketika ditanya perihal ketertarikannya dalam bidang tersebut, anak pertama dari dua bersaudara ini menggarisbawahi pentingnya sumber daya berkelanjutan untuk generasi mendatang. Pasalnya, penggunaan bahan bakar yang saat ini berasal dari sisa fosil yang terpendam di perut Bumi selama jutaan tahun, memiliki dampak yang kurang baik terhadap Bumi yang kita tinggali. Pengaruhnya sangat signifikan terhadap global warming oleh karena emisi berupa karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer Bumi. Selain itu, jumlahnya juga diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 30 hingga 40 tahun saja!
Sudah banyak alternatif lain memang untuk renewable fuels pada saat ini, ambil saja contohnya minyak kelapa sawit (palm oil). Namun alternatif tersebut memiliki dampak negatif dimana pengelolaannya boleh dibilang mengorbankan sumber daya agrikultural. Demi menanam pohon kelapa sawit, banyak lahan pertanian yang harus dipangkas. Hal ini tidak hanya mengakibatkan berkurangnya lahan untuk menanam tumbuhan yang menjadi pangan manusia, tapi juga berkurangnya habitat hewan-hewan secara drastis. Oleh karena itu, algae pun dipilih menjadi bahan investigasi untuk renewable resource. Microalgae tidak membutuhkan arable land (tanah subur) dan air bersih untuk tumbuh; Microalgae sel juga mengandung kadar minyak yang sangat tinggi, sehingga mempunyai potensi yang luar biasa sebagai sumber bahan bakar.

Pendidikan yang dilalui seorang Ronald Halim tidaklah tanpa perjuangan. Diawali dengan program Bachelor of Chemical Engineering yang ditekuninya di University of New South Wales pada tahun 2003 hingga berlanjut ke Monash University pada tahun 2008 dimana ia kemudian menjalani bangku pendidikan tertiary studies pada tingkat Ph. D dalam mata pelajaran yang sama selama empat tahun. Barulah setelah itu, ia menjadi seorang postdoc di Melbourne University dan berkutat dalam bidang biofuel seperti saat ini.
Tidak sedikit kriteria yang harus ditempuh seorang postdoc untuk memperoleh fellowship. Di antaranya adalah presentasi ke publik yang harus dijalaninya dari waktu ke waktu, seperti yang dijalankannya pada bulan Mei lalu. Selain itu, seorang postdoc juga dianjurkan untuk mengadakan perjalanan ke negara lain. Di antaranya berupa kunjungan ke universitas di negara lain (exchange program), maupun menghadiri konferensi dan seminar. Hal tersebut terutama bertujuan untuk bertukar pengetahuan antar ilmuwan yang bekerja dalam topik yang serupa. “Australia termasuk negara yang cukup terisolasi dari negara-negara lain oleh karena letak geografisnya, sehingga program kunjungan seperti ini sangatlah penting agar para ilmuwan seperti kami bisa belajar lebih mendalam lagi dan bahkan memungkinkan untuk menyatukan projek-projek,†papar Ronald.
Anjuran kunjungan ke luar negeri ini dirangkul dengan lapang oleh Ronald. Pada tahun 2015, ia berkesempatan mengunjungi Carnegie Institution for Science yang merupakan bagian dari Stanford University di California, Amerika Serikat. Berlokasi di Silicon Valley, yang notabene juga merupakan pusat perusahaan-perusahan teknologi terkemuka seperti Facebook dan Google, dirinya kerapkali menghadiri presentasi dari berbagai Nobel Laureates, “seru banget menghadiri acara-acara tersebut dan saya seringkali terkagum-kagum dengan kualitas materi riset yang dibawakan,†kata ilmuwan asli Jakarta ini.

Bulan Oktober nanti, Ronald sudah memiliki rencana fellowship ke Eropa. Kali ini, Karlsruhe Institute of Technology di Jerman akan menjadi tempat tinggalnya selama sembilan bulan. Dua bulan pertama akan dipenuhi dengan kelas Bahasa Jerman yang perlu diikutinya, setelah itu barulah ia akan terjun ke laboratorium. Program seperti demikian umumnya dibiayai oleh kepemerintahan salah satu pihak. Terhadap pemerintah yang membiayailah, seorang postdoc harus mengajukan proses aplikasi untuk fellowship tersebut.
Seorang ilmuwan juga seringkali menerbitkan penemuan-penemuannya di jurnal ilmiah (scientific journal). Hal tersebut juga merupakan sebuah proses yang cukup panjang, selain harus melalui editor daripada publikasi jurnal tersebut, tulisannya pula musti lolos peer review process, yakni sebuah tahap dimana seorang ilmuwan dipilih secara anonim untuk melakukan proses verifikasi atas tulisan yang diajukan guna memastikan validitas dari penelitian itu sendiri. Seusai tahap itu, sang editor bisa menerima dan menerbitkan tulisan, menganjurkan revisi minor maupun mayor, atau bahkan menolak tulisan tersebut. Hingga saat ini, jumlah total tulisan Dr. Ronald Halim adalah 12 jurnal. Hebat bukan?!
Penelitian ilmiah memang seringkali menghadapi tantangan dan kendala tersendiri. Dalam investigasinya, Ronald mengakui bahwa, “saat ini kami sedang meneliti lebih lanjut cara untuk mengurangi energi yang dikonsumsi saat mengolah algae ini menjadi bahan bakar, karena memang saat ini cukup besar energi yang terpakai dan belum efisien untuk diproduksi secara komersial.â€
Pria yang hanya berusia 31 tahun ini juga tidak segan untuk mengakui pentingnya peranan seorang wanita dalam bidang sains. Ia sangat mendukung berbagai kebijakan kolaboratif untuk membangun karir wanita di sains yang diluncurkan oleh pemerintah Australia dan berbagai perusahaan swasta, seperti Women in Engineering Scholarship dan L’Oréal-UNESCO For Women in Science Fellowship. Ia menyatakan, “it is everyone’s duty in the scientific community to encourage greater participation of women in traditionally male-dominated STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) fields.â€
Ishie