Dua kata yang serasi dan saling mengisi dalam arti dua kata tersebut punya arti halus, dan orang biasanya hati-hati berucap atau berkata dan berkomunikasi. Ini kesan yang orang dapatkan kalau berbicara dengan sosok diplomat yang berkantor di 72 Queen Street, Melbourne. Sosok tersebut tak lain adalah Zaenal Arifin, beliau adalah sosok yang paling berpengaruh setelah Konsul Jendral.
Setiap ada acara yang diadakan oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia di Victoria, diplomat ini kerap muncul dan tidak hanya memberikan kata sambutan yang merupakan salah satu kewajiban seorang diplomat apabila orang nomor satu berhalangan atau karena terlalu banyak acara maka tugas-tugas memberi kata sambutan didelegasikan kepada orang kedua atau ketiga di dalam hirarki KJRI di Melbourne. Di samping memberikan kata sambutan sering sekali Zaenal juga membaca puisi yang ditulis sendiri dan penulis mendapat kesan ‘di kantong beliau selalu siap satu atau dua puisi atau pantun yang ditulis sendiri!’

Sosok Zaenal terkenal selalu siap dalam keadaan apapun kalau soal puisi dan pantun. Atau bisa disebut ‘the man for all season’ atau kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kira-kira ‘sosok segala musim’ atau ‘pesawat tempur serba cuaca’.
Pada suatu hari yang cerah, sang diplomat dan penyair mengirimkan seuntai puisi ke Jembatan Poetry Society
Dalamnya cinta,
Mengukur lautan hati
Lembutnya hati
Melunakkan lautan kegundahan
Goresan hati menyelam ke dasar lautan
Asinnya lautan bertambah
Parihnya hati teriris
Ombaknya lautan membawa hati
Kekenangan terpendam
Dan diantara hati dan lautan
Ada cinta yang membara
Ada kasih yang menepi
Ada kisah tak terasah
Ada rindu yang terkurung lalu
Pagi pun menyelam
Lautan cinta dalam hati
Hati cinta dalam lautan
Cinta lautan dalam hati
Ditulis pada waktu menyongsong purnama malam, 1440H,
St Kildanya Melbourne
Seorang filosof Soren Kieekegaard berujar, “a poet is an unhappy being whose heart is torn by secret sufferings, but whose lips are so strangely formed that when the sighs and the cries escape them, they sound like beautiful music. People crowd around the poet and say to him: “Sing for us soon again;” that is as much to say, “may new sufferings torment your soul.” (Wikipedia)
Dan memang ada betulnya, Anda tidak akan bisa menciptakan sesuatu indah apakah itu puisi, musik, lukisan atau novel, kalau Anda tidak mengalaminya sendiri atau pernah mengalaminya sendiri. Atau kenal dengan orang-orang yang mengalami penderitaan yang begitu hebat dalam menjalani kehidupan ini.
Saat terbaik untuk menulis puisi, lagu atau musik, dan novel adalah pada waktu Anda jatuh cinta atau patah hati. Di saat-saat itulah yang terbaik untuk mencipta.
Penulis tidak berani mengatakan apakah Sang Diplomat & Penyair Zaenal Arifin, saat menulis puisi di atas sedang ‘jatuh cinta?’ Seperti semua diplomat yang bertugas dan menjalankan tugas negara sebagai duta bangsa di luar negeri tentu waktu jualah yang memisahkan kita dengan sosok yang halus tutur katanya ini. Suatu waktu tentu ia akan pulang ke Tanah Air dan mungkin akan ditugaskan ke tempat lain untuk menunaikan amanat.

Sudah bisa dipastikan masyarakat Indonesia di Victoria akan kehilangan sosok Zaenal Arifin dan kami berdoa semoga suatu hari nanti kembali lagi ke Melbourne. Mungkin sebagai mantan diplomat, akan tetapi gelar sebagai ‘Penyair’ akan tetap melekat di diri Sang Diplomat!
Hanya tulisan inilah yang bisa penulis persembahkan atas Jembatan Poetry Society kepada Zaenal Arifin ‘Sang Diplomat & Penyair’ sebagai oleh-oleh yang pernah bertugas melayani warga Indonesia di wilayah Victoria & Tasmania.
Anton Alimin
ghazellapublisher@gmail.com