Pada awal bulan September 2021, telah diadakan Diaspora Channel dengan bertemakan ‘Dwi Kewarganegaraan dan Hak Kepemilikan dalam Kawin Campur’, acara tersebut diselenggarakan via Zoom dan ditayangkan pada live Youtube oleh Indonesian Diaspora Network Victoria Incorporated (IDN VIC) dengan mengundang Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej. S.H., M.Hum (Wakil Menteri Hukum dan HAM) sebagai narasumber.
Dalam perkawinan campur ada dua hal yang sampai saat ini masih menjadi pembahasan di Indonesia, yaitu terkait dengan Dwi Kewarganegaraan dan Hak Milik. Di Indonesia, dari dulu hingga saat ini berlaku ‘asas kewarganegaraan tunggal’, kewarganegaraan ganda terbatas hanya untuk anak hasil perkawinan campur yang dimana pada umur tertentu (maksimal 21 tahun-dewasa) anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya. Jika lewat dari umur yang ditentukan, maka anak tersebut akan dianggap sebagai Warga Negara Asing (WNA) atau kehilangan status kewarganegaraan Indonesia.

Permasalahan yang terjadi akibat perkawinan campur terkait kewarganegaraan yang sering terjadi di Indonesia yaitu ada dua penyebabnya, pertama adalah banyak pasangan kawin campur yang tidak mendaftarkan anaknya, kedua anak hasil kawin campur yang terlambat untuk menentukan pilihan kewarganegaraannya. Karena dua sebab itu, maka seseorang dapat kehilangan status kewarganegaraan Indonesia. Dua masalah tersebut menjadi pembahasan utama dalam perubahan Peraturan Pemerintah.

Saat ini, kebijakan – kebijakan terkait kawin campur (kewarganegaraan dan hak milik) sedang direvisi lagi dengan mempertimbangkan hal – hal yang tidak sinkron misalnya seperti batas umur dewasa untuk memilih kewarganegaraan. Tentunya dengan tujuan untuk melindungi hak – hak warga negara.
Hak atas tanah yang dimiliki oleh WNA yaitu hanya hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai saja tidak termasuk hak milik tanah. Hak milik tanah di Indonesia hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Di Yogyakarta, karena kental dengan kesultanannya, aturan mengenai hak milik tanah berbeda dengan daerah lain, yaitu ‘hak milik tanah’ hanya boleh dimiliki oleh WNI yang bukan keturunan asing. Selain hak pakai, WNA bisa memiliki rumah tinggal di Indonesia yaitu dengan hak atas tanah sekunder yaitu hak sewa.
Kewarganegaraan ganda sudah pernah ramai dibahas di Indonesia, bahkan sempat akan diperbolehkan, namun Indonesia masih mempertahankan ‘asas kewarganegaraan tunggal’, kekhawatirannya yaitu mengenai keraguan rasa cinta tanah air dan nasionalismenya. Dan saat ini (2021), pembahasan atau usul mengenai kewarganegaraan ganda sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (ProLegNas), namun belum masuk dalam ProLegNas prioritas.
Mengapa kewarganegaraan ganda belum masuk ProLegNas Prioritas? Walaupun kewarganegaraan ganda di Indonesia itu cukup menguntungkan, misal karena SDM bertalenta yang kehilangan status sebagai WNI, sampai saat ini masih sulit untuk mencapai keputusan membuat kebijakan mengenai kewarganegaraan ganda. Prof Eddy sendiri berkata bahwa, UU adalah produk politik. Dalam menentukan suatu kebijakan, diperlukan persetujuan dari kedua belah pihak yaitu DPR dan Pemerintah. Dari DPR yang mempunyai hak usul pun belum tentu disetujui oleh sesama anggota DPR, karena terdiri dari banyak partai yang pasti akan berbeda – beda pendapatnya, untuk menggoalkan suatu kebijakan, maka setidaknya harus menguasai 5 (lima) partai. Karena step yang harus dilewati tersebut, kebijakan bisa gagal dibuat.
Bagaimana dengan seseorang yang kehilangan status kewarganegaraan Indonesia? Masih bisa untuk didapatkan lagi, yaitu dengan Naturalisasi. PP yang baru ini, diharapkan akan lebih mempermudah untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.