Bagi masyarakat Indonesia, bisa bersekolah di luar negeri sudah tentu menjadi hal yang sangat prestigious. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bisa melanjutkan sekolah di luar negeri. Beberapa faktor seperti finansial, kemampuan akademik, dan serta penyebab lainnya membuat kesempatan untuk bisa sekolah di luar menjadi langka di Indonesia. 

Namun tahukah kamu walau terlihat sangat menyenangkan, mereka yang sedang mengenyam pendidikan di luar, tidak selalu merasakan masa – masa yang menyenangkan dan pengalaman yang manis? Ada harga yang harus dibayar untuk menjadi lebih baik termasuk dengan bersekolah di luar negeri. Tantangan yang dihadapi para mahasiswa Indonesia di luar negeri pun tidak sedikit. Dikutip dari ABC News  pada 10 September 2019, banyak pelajar Indonesia di Australia yang mengalami masalah psikologis selama belajar di Negeri Kangguru ini.

Diba merasakan pengalaman pertama mengikuti persidangan di Australia

Kali ini BUSET berbincang dengan enam orang pelajar Indonesia di Melbourne, mengenai tantangan dan kesulitan selama belajar dan tinggal di Australia. Para pelajar tersebut juga membagikan kiat mereka dalam menghadapi tantangan yang mereka hadapi.

Australia Sebagai Negara Tujuan

Sebagai negara yang termasuk dekat secara geografis dengan Indonesia ini, Australia memang salah satu tujuan favorit pelajar Indonesia. Berbagai alasan positif membuat banyak pelajar Indonesia berbondong – bondong ke Australia. Sebut saja Lery yang saat ini bersekolah di Victoria University, keinginannya untuk belajar ke Australia sudah dipupuk sejak sekolah dasar. Lery pun benar – benar menguatkan niatnya untuk belajar ke Australia setelah lulus sarjana di Indonesia.

Kualitas dan fasilitas pendidikan yang baik menjadi alasan mayoritas pelajar Indonesia di Australia. Stevvileny yang bersekolah di Universitas Melbourne mengungkapkan bahwa Australia terkenal dengan penelitiannya yang kuat, sehingga ini menjadi kesempatan baginya untuk belajar lebih banyak lagi tentang obyek penelitian yang dilakukannya. Gadis yang mendalami bidang Matematika dan Statistik ini mengungkapkan bahwa belajar di Australia memberikan peluang untuk berdiskusi dan membangun hubungan dengan teman – teman peneliti dari negara lain. Kualitas Pendidikan di Australia juga membuat Dio, mahasiswa Universitas Melbourne ikut bersaing untuk mendapatkan beasiswa ke Australia. “Peringkat universitas – universitas di Australia mampu bersaing dengan universitas top di negara lain. Selain itu Australia juga menawarkan kualitas hidup yang baik,” kata Dio.

Hal serupa juga dikatakan oleh Qolbi yang bersekolah di Universitas Melbourne. Pendidikan di Australia yang sudah terstandarisasi dengan baik oleh pemerintahnya dan ranking Universitas Melboune yang selalu menempati angka yang tinggi menjadi alasan pelajar yang menempuh jurusan Energy Systems ini untuk datang ke Australia. Qolbi yang saat ini sudah berkeluarga mengungkapkan faktor geografis juga menjadi alasan kuat. Sekolah di Australia memungkinkannya untuk pulang – pergi ke Indonesia untuk menjenguk keluarga.

Dio berbagi pengalaman soal perbedaan budaya terutama menjelang Ramadhan dan Idul Fitri

Namun ada pula beberapa alasan spesifik untuk bersekolah di Australia. Seperti yang diungkapkan Diba, mahasiswi program Doktor di Universitas RMIT mengungkapkan bahwa dikarenakan master thesisnya membahas politik luar negeri Indonesia terhadap Australia, Diba berpikir untuk datang ke negara ini untuk mengkaji politiknya secara langsung. Janice, mahasiswi Universitas Deakin juga memiliki alasan spesifik yang mana kuliah jurusan perhotelan di Australia dinilainya lebih baik dibanding beberapa negara lain. “Di sini bisa kerja sambil belajar juga,” papar gadis yang pernah mengambil gelar sarjana jurusan perhotelan di kota Sydney ini.

Kendala Bahasa dan Interaksi dengan Budaya Lokal

Diba mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam menjalankan program doktornya adalah tidak banyaknya kelas yang ditempuh oleh mahasiswa doktor yang membuatnya terbatas untuk berinteraksi dengan orang lokal. Hal ini kemudian diakuinya berdampak pada minimnya daya serap dalam memahami budaya orang Australia. Tantangan dalam hal budaya diakui oleh Dio merupakan hal yang harus dihadapi selama di Australia. Sebagai contoh, dirinya yang beragama Islam cukup sulit untuk menemukan tempat ibadah dan pada saat bulan Ramadhan hampir tidak terasa nuansanya seperti di Indonesia. Bahkan beberapa temannya tetap masuk kelas pada saat hari Idul Fitri.

Perbedaan budaya ini juga diungkapkan Janice tidak terlepas dari kemudahan dirinya tinggal di Indonesia dan keharusan untuk menjadi independent saat di Australia. Dia mengakui keberadaan Asisten Rumah Tangga (ART) yang dimiliki selama di Indonesia membuatnya cukup berjuang pada masa – masa awal tinggal di Australia. Perbedaan culture yang dialami Janice ini pun berimbas pada komunikasi dengan orang lokal. “Dulu aku struggle banget bicara sama orang asing di sini,” ungkap Janice.

Janice sempat mengirim aplikasi sebanyak sepuluh kali untuk menyewa tempat tinggal

Permasalahan bahasa pun tidak luput dari serangkaian tantangan yang dihadapi. Lery misalnya mengungkapkan bahwa pada awal tiba di Australia di merasa kesulitan memahami pembicaraan di sekitarnya. Namun, seiring berjalannya waktu dia mulai dapat memahami sebagian dari percakapan mereka. Sama dengan Lery, Stevvileny pun juga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. “Saya belajar Bahasa Inggris dan saya bisa berbahasa Inggris, tapi tantangannya adalah ketika berbicara dengan orang lokal dengan aksen yang sulit dipahami dan mereka berbicara sangat cepat (terdengar seperti sedang berkumur saat sikat gigi),” kata Stevvileny. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Janice yang sebelumnya tidak pernah bersekolah dengan lingkungan berbahasa Inggris dan hanya mengandalkan belajar Bahasa Inggris melalui kursus di Indonesia.

Pengaturan Waktu dan Stress

Lery mengatakan bahwa perkuliahan di Australia sangat memerlukan pengaturan waktu dari mahasiswa. Selain kegiatan di dalam kelas, banyaknya tugas yang harus dikerjakan terkadang membuatnya ‘keteteran’. Proses perkuliahan tersebut sangat berbeda dengan yang dialaminya ketika mengambil gelar sarjana di Indonesia.

“Dosen cenderung membiarkan mahasiswa berjalan sendiri sekalipun mereka selalu siap untuk membantu. Di sini terkadang ketika kita menunda – nunda untuk melakukan sesuatu terkait perkuliahan, maka pada saat deadline, kita yang kerepotan sendiri. Apalagi ditambah dengan pekerjaan part – time yang kebanyakan mahasiswa internasional jalani,” ujar Lery. Men – ‘juggling’ antara perkuliahan dan pekerjaan diakuinya cukup membuat lelah, tetapi dia menyiasati dengan membuat time table dan serius menjalani time table tersebut, sehingga semua mudah dijalani.

Di sisi lain Lery juga terkadang merasa stress. Jauh dari keluarga, sahabat ditambah padatnya perkuliahan dan pergaulan, diakuinya membuatnya merasa “overwhelmed”. Lery pun menyadari bahwa jika kita tidak tahu bagaimana cara mengelola stress, hal tersebut bisa menjadi satu hal yang berbahaya dan akan berdampak pada perkuliahan. Untuk mengatasi hal itu, dia mengungkapkan bahwa dirinya cukup menarik diri dari segala sesuatu untuk menenangkan pikiran dan selalu mengingatkan hal terpenting yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Sistem Perkuliahan yang Berbeda

Stevvileny menilai bahwa sistem Pendidikan di Australia sangat independent dan berbeda dengan di Indonesia. “Ketika saya berdiskusi dengan dekan mengenai rencana studi, berharap beliau menyarankan mata kuliah apa saja untuk semester satu sampai semester terakhir, beliau malah bilang ke saya “you can choose everything as long as it is from mathematics department. You can choose subjects that you need and you want, it is up to you”,” kenang Stevvileny.

Rajin melihat ramalan cuaca dan meminum vitamin C sangat dianjurkan Qolbi ketika tinggal di Melbourne

Stevvileny juga mengungkapkan bahwa tugas atau assignment di Australia memiliki tingkat kesulitan yang benar – benar menguras otak. “Tingkat kesulitan assignment saya selama ini, benar – benar menguras pikiran dan waktu. Di sisi lain, sistem exam di sini juga bikin geleng-geleng kepala. Final exam gagal artinya mata kuliah tersebut gagal.  Semua jurusan punya tantangan tersendiri, dan tantangan jurusan saya adalah final exam ini.” Namun diakuinya, sistem pendidikan tersebut menuntut mahasiswa untuk berjuang dan mendorong untuk lebih aktif dan kritis.

Cuaca

Tinggal di Australia terutama kota Melbourne, pasti familiar dengan cuacanya yang extreme. Dio pun mengungkapkan bahwa masalah cuaca adalah salah satu tantangan yang dihadapi, terutama pada musim gugur dan musim dingin. Sebagai orang Indonesia yang terbiasa tinggal di daerah iklim tropis, menghadapi cuaca dingin merupakan suatu tantangan tersendiri. Qolbi pun juga menganggap cuaca di Melbourne yang sering berubah – ubah adalah sebuah tantangan. Diakui Qolbi, dirinya memiliki alergi terhadap dingin dan hujan yang kadang disertai flu setelah tinggal di Melbourne.

Keadaan cuaca yang sering tidak memungkinkan juga dibenarkan oleh Stevvileny. Dia menilai cuaca bisa berubah seketika dari hangat menjadi dingin dan tiba – tiba hujan. Saat musim panas, suhu bisa mencapai 38 sampai 40 derajat sehingga membuat kesulitan tidur di malam hari dan memicu sakit kepala. Di sisi lain, di musim dingin saat bulan Juli yang merupakan periode ujian final, menjadi tantangan yang sangat berat untuk bangun saat dini hari dan belajar dengan suhu yang sangat dingin.

Belajar dari Pengalaman

Banyak pengalaman di Australia yang jadi pelajaran hidup bagi pelajar Indonesia selanjutnya. Seperti diungkapkan Janice, untuk menyewa apartemen atau rumah dirinya harus rajin melakukan inspeksi dan itu bukan hal yang mudah. Janice mengakui bahwa dirinya tidak pernah menyerah meskipun pernah menerima penolakan sebanyak 10 kali.

Urusan dalam penyewaan apartemen dan rumah memang tidak pernah mudah di Australia. Diba pun pernah mengalami dirinya harus mengikuti sebuah sidang di pengadilan sipil untuk perkara deposit atau bond ketika menyudahi sebuah kontrak. Hal tersebut membuat Diba belajar lebih tentang hak dan kewajiban atas perumahan di Australia. “Di Indonesia masuk ke pengadilan saja saya belum pernah,” jujur Diba.

Hal lain yang menjadi suatu pelajaran setelah tinggal di Australia tentu adalah budaya melayani diri sendiri. Dikatakan Dio pada saat makan di beberapa restoran cepat saji seperti KFC, kita harus membereskan sendiri bekas atau sisa makanan ke tempat sampah setelah selesai. Kemudian pada saat di bandara, untuk check – in harus dilakukan sendiri dan petugas maskapai di bandara hanya bertugas untuk menerima bagasi saja. “Budaya self-service tersebut cukup sulit ditemukan di Indonesia dan menjadi pembelajaran bahwa terdapat beberapa pekerjaan yang sebenarnya dapat kita lakukan sendiri tanpa bantuan orang lain,” kata Dio.

Sistem perkuliahan yang berbeda antara Indonesia dan Australia diakui Stevvileny adalah tantangan tersendiri

Pengalaman yang merubah pola pikir dan gaya hidup dapat dibilang banyak dan beragam. Seperti yang dikatakan Lery, semakin banyak berinteraksi dengan orang lokal Australia, dirinya mengakui bahwa mereka orang yang terbuka, demokratis serta kritis. Warga Melbourne adalah warga yang ramah dan senang berinteraksi sekalipun hanya menanyakan kabar. Ketika mereka melihat orang yang membutuhkan bantuan, terkadang mereka akan terlebih dahulu manawarkan pertolongan. Hal tersebut membuat Lery belajar banyak dari warga lokal Australia.

Senada dengan Lery, Stevvileny mengatakan dirinya belajar bagaimana menghormati orang lain yang berbeda pendapat. “Di sini sangat minim orang lain menghakimi teman bicaranya walaupun beda pendapat, beda cara berpakaian atau cara hidup. Sangat nyaman dengan cara orang menyampaikan pendapat mereka saat berbeda dengan pendapat saya. Seperti tidak memaksakan saya untuk menerima pendapat mereka. Mereka menyampaikannya hal yang ingin mereka katakan dengan tetap mempertimbangkan etika,” ungkapnya.

Mengelola Tantangan

Untuk menghadapi tantangan dan kesulitan yang mereka temui, beberapa pelajar ini memberikan informasi apa yang mereka lakukan di saat menemui kesulitan yang tidak biasa ditemukan di Indonesia. Dio mengungkapkan bahwa salah satu kunci mengatasi tantangan adalah melalui adaptasi. Di sisi lain, keberadaan komunitas Indonesia, terutama mereka yang sudah lama menetap di Australia akan sangat membantu apabila kita menemui kesulitan dan butuh bantuan atau saran. Diba juga menyimpulkan bahwa belajar dan terus mencari tahu apa yang harus dilakukan ketika menemui tantangan sangatlah dianjurkan, aapalagi di Australia tidak sulit untuk menemukan informasi.

Time table menjadi salah satu cara bagi Lery untuk mengelola berbagai kegiatan

Secara spesifik, Qolbi melihat weather forecast setiap hari untuk memahami dan mengantisipasi cuaca di kota Melbourne. Selain itu persediaan pakaian yang memadai seperti jaket tebal, dan asupan vitamin akan sangat membantu untuk menjaga ketahanan tubuh.

Dalam urusan tempat tinggal, Janice menyarankan untuk never give up dan mencari alasan atas penolakan aplikasi yang dikirimkannya. Dia terus memperbaiki dan mengirim aplikasi ke tempat lain. Selain itu dia menyarankan juga untuk tidak malu dalam meminta dukungan orang – orang terdekat seperti orang tua dan teman.

Niar