Para seniman bundengan bersama Rosie Cook dan Palmer Keen dari Aural Archipelago

Jangankan orang Australia, orang Indonesia saja asing saat mendengar kata “bundengan”. Jangankan pula mendengar, melihat pun belum tentu pernah. Begitu pula dengan Tim Buset yang pada 8 Februari 2018 lalu menyambangi Sir Zelman Cowen School of Music, Monash University, untuk pertama kalinya – bersama puluhan orang yang hadir – kami dibuat terpukau melihat salah satu alat musik tradisional asal Wonosobo yang disebut “bundengan”, terpampang di balik kaca kabinet. Pada hari itu, the Music Archive of Monash University (MAMU) membuka ekshibisi bertajuk “A Duck Herder’s Zither on Java’s Dieng Plateau and Other Rare Indonesian Musical Instruments”.  Tak hanya menghadirkan bundengan tapi juga beberapa instrumen musik tradisional Indonesia yang terbilang langka dan hampir seluruhnya dikoleksi oleh Margaret Kartomi, seorang etnomusikolog spesialis musik Indonesia dan Asia Tenggara sekaligus profesor musik dari Monash University.

Meski bundengan menjadi sorotan utama, namun ekshibisi ini menghadirkan banyak instrumen nusantara yang jarang tereskpos. Bronia Kornhauser selaku kurator dari MAMU mengungkapkan bahwa alat musik yang dipamerkan tersebar dari Kalimantan, Sulawesi, Tidore, Papua, Timor, Roti, Sumba, hingga Flores. Tampak pula Gamelan Digul yang berasal dai era tahun 1920-an hingga bukan saja alat musik, tapi juga wayang kulit dari era 1930-an.

Workshop membuat bundengan di Grimwade Center for Cultural Material (Dok. Saiful Bakhri – Making Connections)

Usaha pelestarian instrumen musik tradisional nusantara yang dilakukan oleh MAMU pun diapresiasi oleh Kepala Pensosbud KBRI Canberra, Iwan Freddy Hari Susanto, dalam kata sambutannya. Ia menyebutkan bahwa musik selalu menjadi cara yang efektif untuk saling mengenal antar negara, dan bisa jadi jembatan persahabatan kedua negara tetangga.

Alat Berteduh yang Bertransformasi Jadi Alat Musik

Acara pembukaan ekshibisi  ini tak hanya diisi simposium, tapi juga ditutup dengan pertunjukan musik bundengan dan pemutaran film pendek tentang alat musik tersebut. Pertunjukan tersebut dimainkan oleh tiga seniman asal Wonosobo, Mulyani (Ngesti Laras Foundation, Guru SMP Negeri 2 Selomerto, Wonosobo), Said Abdullah, dan Luqmanul Chakim.

Untuk pertama kalinya, Tim Buset menyaksikan alat musik dari bambu yang berbentuk mirip cangkang kumbang dimainkan dan mengiringi tarian khas Wonosobo, seperti Tari Lengger dan Tari Ruwat Rambut Gimbal. Pertunjukan musik bundengan yang sama juga diadakan di KJRI Melbourne empat hari kemudian, tepatnya pada 12 Februari 2018.

Menariknya, alat musik yang terbuat dari rangkaian bambu yang diikat dengan ijuk ini berfungsi pula sebagai alat berteduh bagi para penggembala itik karena Wonosobo dikenal bercurah hujan tinggi. Dan lewat pemutaran film pendek berjudul “Musik dalam Tempurung”, terungkap jika bundengan sudah ada sejak abad 12 sebagai pengiring pertunjukan wayang kedu. Lalu mengapa disebut bundengan? Konon alat musik yang juga dikenal dengan sebutan “kowangan” ini mengeluarkan suara seperti orang sedang “bundeng” atau seseorang yang hidungnya tersumbat karena pilek atau sederhananya terdengar berdengung. Menariknya, meski alat musik ini dipetik tapi menghasilkan suara seperti alat musik pukul. Bundengan bisa menghasilkan suara senada dengan alat musik gamelan.

Alat musik bundengan berpadu dengan tarian tradisional Wonosobo

Alat musik ini terdiri dari empat tali yang memiliki ketegangan berbeda-beda. Terdapat pula potongan bambu di sisi kiri yang memiliki panjang pendek bervariasi. Inilah yang kemudian menghasilkan ritme dinamis dan struktural.

Lewat berbagai lagu daerah berbahasa Jawa Tengah yang dilantunkan dengan iringan bundengan, alat musik yang terlihat asing perlahan terdengar familiar di telinga. Satu lagi alat musik yang nyaris punah diselamatkan – meski untuk mendengarnya harus sampai di Australia.

Namun kabar gembiranya, bundengan kini mulai masuk kurikulum beberapa sekolah di Wonosobo. Begitu pula dengan pemainnya, yang tadinya hanya dilakoni tiga orang yang sudah beranjak tua, kini ada 20 musisi muda yang gigih mempelajari alat musik ini dan memperkenalkannya tak hanya ke seantero Wonosobo tapi juga skala nasional.

 

Apa Kata Mereka

 

Dr Tuti Gunawan (antropolog, akademisi)

Saya memang bukan orang musik, tapi saya sebagai orang Indonesia baru tahu kalau ada alat musik unik seperti ini. Bundengan terlihat sederhana tapi mampu mengeluarkan bunyi seperti gamelan, ini mengagumkan. Saya mengapresiasi Monash untuk usahanya melestarikan dan mengenalkan bundengan ke publik Australia.

 

Palmer Keen (etnomusikolog, pendiri Aural Archipelago)

Saya ikut Rosie Cook ke Wonosobo dua tahun lalu dan dari situ hingga akhirnya bundengan bisa sampai di Australia merupakan perjalanan yang luar biasa. Sebelum saya dan Rosi ke Wonosobo, sebenarnya tidak ada orang dari luar Indonesia yang memberi perhatian kepada alat musik ini. Saya dan teman-teman di Wonosobo sangat bangga dengan usaha ini. (Redaksi: Palmer Keen lewat Aural Archipelago berupaya mengarsipkan berbagai musik tradisional nusantara. Ia telah mendokumentasikan bundengan lewat video di halaman YouTube-nya. Silahkan ketik Bundengan dan Anda akan menemukannya).

 

Din Diradji dan Evelyn Diradji (CO-Chairman Museum of Indonesia Arts Inc)

Din Diradji: hingga usia saya 80 tahun, baru kali ini saya melihat alat musik bundengan.

Evelyn Diradji: The whole event was wonderful! Saya sangat terkejut dari instrumen yang simpel bisa menghasilkan suara seperti gamelan. Saya juga terpukau karena tak sekadar alat musik, alat ini juga digunakan sebagai payung untuk berteduh. Saya senang alat musik ini dilestarikan dan diriset, sehingga akan sangat membantu pelestariannya.

 

 

 

Deste
Foto: WinduKuntoro, Deste