Ola kawan-kawan BUSET! Siapa yang tidak sabar mendengar cerita-cerita perayaan HUT RI teman-teman kita kali ini? Langsung saja kita lihat, yuk!

Dear BUSET, masa aku kalah 🙁

Lihatkah kalian aku yang diujung kiri menunduk malu akan kekalahanku?

Hari Ulang Tahun Negara Indonesia tidak pernah tidak dirayakan dengan selebrasi yang penuh kebahagiaan. Berbagai macam kegiatan dan lomba-lomba baik di sekolah-sekolah dan lingkungan tempat tinggal di setiap penjuru Indonesia kian memeriahkan hari yang begitu penting tersebut.

Seperti banyak anak-anak di Indonesia pada umumnya, aku pun pernah ikut berpartisipasi dalam perlombaan HUT RI di sekolah. Ketika itu aku masih menduduki bangku kelas tujuh di tingkat SMP. Setiap murid beramai-ramai berlomba di sekolah pada acara perlombaan tahunan dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Ada teman-temanku yang mengikuti lomba balap karung, lomba sepak bola, bahkan lomba makan kerupuk! Tapi aku tidak ingin untuk hanya mengikuti perlombaan-perlombaan yang menurutku mainstream. Aku mengumpulkan segala keberanian yang tersisa dalam tubuh mungilku dan menantang diri untuk mengikuti lomba pukul bantal. Walau pada umumnya perlombaan ini diadakan di atas permukaan sebuah badan air, sekolahku mendirikan arena pertarungan hari itu di atas area yang berpasir. Kugulung lengan bajuku dengan mantap.

Di atas batang kayu bambu itu kutatap lawanku dengan garang. “Aku pasti bisa! Aku pasti bisa! Aku kuat!!” mantra itu tak hentinya kunyanyikan dalam hati. Dengan kuat kugenggam bantal yang ada pada tanganku sambil berdoa.

Wasit meniup peluitnya tanda perlombaan telah mulai dan dengan sekali pukul ke arah badanku yang kecil… aku pun terjatuh… dan kalah. Malu, pasrah, dan sedih bercampur aduk di dalam hatiku untuk sisa hari itu. Setelah itu, aku berjanji pada diriku untuk tidak akan pernah lagi mengikuti lomba pukul bantal!

-Made Krisna Sanjaya, Mahasiswa RMIT

Dear BUSET, bayangkan diriku di depan teman-temanku memimpin upacara bendera!

Bayangkan Rafi versi kecil memimpin upacara bendera!

Tak sangka perihal merayakan Dirgahayu Republik Indonesia, pasti tidak hanya aku tapi banyak orang memiliki begitu banyak kenangan indah – lomba makan kerupuk, balap karung, balap kelereng, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun, bagi aku secara pribadi aku tidak bisa melupakan pengalamanku menjadi Pemimpin Upcara Bendera pada masa SMP.

Jujur saja pada saat itu aku masih seorang bocah kecil, tapi dengan berani aku mengajukkan diri untuk memimpin upacara bendera di sekolah. Tak satu pun teman-temanku ada yang berani untuk mengambil posisi tersebut, aku akhirnya berpikir bahwa akulah yang harus maju dan memenuhi tugas tersebut.

Tak percaya pada umurku yang baru 15 tahun itu, aku bisa berperan penting dalam perayaan HUT RI. Bisa dikatakan keberanianku mencalonkan diriku pada hari itu dikarenakan jiwa Pancasilaku yang sejak kecil sudah tertanamkan dalam hatiku. Tetapi semua orang tentu tahu bahwa untuk menjadi Pemimpin Upacara bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi di depan seluruh teman-temanku, guru-guruku, dan semua warga sekolahku aku membuktikan kemampuanku yang aku percaya tak pernah mereka duga. Di atas tanah lapangan sekolah, di bawah cerahnya sinar surya aku memperingati Indonesia yang adalah rumahku. Tak pernah sedetik pun aku tidak merasa bangga untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanah airku, yang berhasil melahirkan bangsa yang kaya akan keanekaragaman. Hidup Bhinneka Tunggal Ika!

-Rafi Rizqullah Arifin, Mahasiswa Monash University

Dear BUSET, perlombaan anak-anak kompleks atau orangtuanya sih??

Jangan pernah lupa akan rumah

Bisakah kalian memilih satu dari begitu banyak kenangan dari hari ulang tahun. Terlebih lagi apabila hari itu adalah hari kelahiran Tanah Air tercinta Indonesia.

Tumbuh dan besar, aku dan teman-temanku di bangku Sekolah Dasar selalu antusias untuk terlibat dalam setiap bagian dari perayaan. Pertandingan-pertandingan seru seperti balap karung, lomba makan kerupuk, lomba tarik tambang, bahkan lomba tari tradisional.

Setiap murid tak hentinya berusaha keras untuk memenangkan kompetisi apa pun yang mereka ikuti. Anak-anak yang menggenggam tali tambang terlihat mantap dengan segala daya lengan-lengan kecil mereka untuk menarik tim lawan melewati garis. Para penari dengan ujung kepala hingga ujung kaki dibalut pernak-pernik yang menghiasi setiap gerak gerik koreografi mereka.

Tapi aku kerap kali mempertanyakan jin macam apa yang telah mengabulkan setiap permintaan anak-anak ini untuk bisa mempersiapkan segala hal yang mereka butuhkan untuk lomba-lomba mereka. Tak kuduga di balik kesempurnaan persiapan mereka adalah kerja keras dari orang tua mereka.

Terlebih lagi dalam hal perkostuman atau hiasan-hiasan dengan teliti disewa atau dibuat oleh ibu-ibu mereka tersayang. Ibu-ibu yang berhasil menghias sepeda mereka untuk berbentuk kapal perang di perlombaan hias sepeda, atau ibuku terkasih yang menjadi hati dari perlombaan fashion show baju tradisionalku hari itu.

Berjalan di depan para juri dengan busanaku yang tentu dengan bantuan ibu membalutku dengan anggun. Perlombaan HUT RI pada hari itu mengingatkanku akan merayakan rasa apresiasi akan rumah, tidak hanya Indonesia yang adalah tanah tempat tinggalku tetapi keluarga yang akan selalu menjadi rumah yang tak pernah henti kurindukan untuk pulang kembali.

-Felicia Budiman, Mahasiswa Master Degree Monash University