Bulan Ramadhan kali ini, BUSET Magazine telah mengundang tiga keluarga multikultural untuk menceritakan pengalaman serta kesulitannya dalam menghadapi perbedaan demi keharmonisan keluarga.

Dear BUSET, inilah cerita kami dari keluarga Etty Cooper dan Jaz Cooper
“Terkadang menemukan tempat untuk berdoa selama jam kerja dapat menjadi tantangan. Hal lain adalah menemukan makanan yang cocok. Namun, menurut saya tantangan yang lebih besar menanam pahala yang turut menggunung.
Saya dibesarkan sebagai seorang Kristen tetapi saya lalu memeluk Agama Islam dan membangun keluarga bersama Etty. Nilai-nilai dalam Agama islam dibangun atas dasar kebenaran, keadilan, serta martabat universal sehingga bermanfaat bagi setiap masyarakat.
Dengan tetap setia pada ajaran Islam dan aktif dalam komunitas Islam dan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah SWT, saya mencoba untuk menunjukkan contoh yang baik. Saya mencoba untuk menunjukkan kepada mereka keindahan agama Islam yang sebenarnya, arti di balik menjadi seorang Muslim, juga berbagi kebaikan dengan membantu komunitas publik di Australia.
Keempat anak-anak pada saat ini masih belum kami haruskan untuk berpuasa hingga beranjak dewasa. Tetapi, kami tetap membiasakan mereka untuk berpuasa dalam rentang waktu yang singkat pada awalnya sehingga menjadi lebih mudah bagi mereka ketika waktunya sudah sampai bagi mereka untuk mulai berpuasa. Tidak hanya itu, kami pun tidak berhenti mengajari mereka aspek spiritual, makna, serta manfaat di balik ibadah puasa.”
Dear BUSET, inilah cerita kami dari Eka Febrian Cole dan Matthew Cole
“Budaya orang Indonesa dengan OZ (Australia) memang sangatlah berbeda, tetapi yang terpenting bagi kami adalah kesetaraan nilai-nilai dalam kedua budaya tersebut untuk sesuai dengan ajaran Islam yang kita pakai di rumah. Karena sebenarnya tidak semua budaya di Indonesia juga menuruti norma-norma Islam dan budaya di Australia pun turut memiliki karakteristik yang sama. Suami saya sudah menganut ajaran Islam sebelum mengenal Saya dan akhirnya menjiwai agama Islam secara resmi sebelum kami menikah. Di Negara yang sebagian besar populasi tidak beragama atau dalam istilah lain –atheist– memang sangatlah sulit untuk mendidik anak-anak akan ajaran Islam (sebab disini kebebasan sangatlah dipentingkan).
Maka, kami berusaha untuk mendidik anak-anak kami sejak kecil mengenai apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam Agama Islam agar di kemudian hari mereka dapat menentukan sendiri apa yang baik atau tidak baik bagi diri mereka sendiri. Doa dan kesabaran sangatlah diperlukan karena anak-anak nantinya harus tahu bagaimana menempatkan diri dikalangan masyarakat di Australia. Misalnya saja, mereka harus tahu bagaimana berhadapan dengan keluarga yang tidak seagama atau bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu dari keluarga yang tidak seagama. Alhamdulillaah, tidak banyak rintangan dalam mendidik anak-anak kami berpuasa karena mungkin dari Sekolah juga madrasah, mereka sudah dijelaskan banyak tentang ibadah Ramadhan. Terlebih mereka sangat menanti-nantikan Bulan Ramadhan karena bagi mereka saat-saat berbuka adalah hal yang sangat istimewa.”
Dear BUSET, inilah cerita kami dari keluarga Yusriana Levi dan Ismail

“Saya dan suami memiliki satu keyakinan, Agama Islam. Maka dari itu, sebisa mungkin kehidupan kami berpatokan dengan ajaran agama kami. Dari awal menikah kami bersama-sama belajar hingga sekarang terus belajar bersama. Jadi, saya rasa tidak ada halangan signifikan sejauh ini.
Kemudian, mengenai perbedaan budaya, pada awal menikah memang perlu beradaptasi dengan perbedaan tradisi masing-masing. Sampai sekarang masih ada sedikit perbedaan tersebut. Namun, kami berdua selalu berusaha untuk saling memahami dan menerima perbedaan tersebut. Suami saya, Ismail, semenjak menjadi mualaf pun sudah menjiwai tradisi Islam ke dalam kehidupannya.
Dimana alhamdulillaah terdapat beberapa kesamaan antara budaya Indonesia dengan tradisi Islam, sehingga mudah bagi suami saya untuk beradaptasi. Memang suami saya masuk ke dalam agama Islam tetapi hal itupun sudah terjadi sebelum kami bertemu. Jujur, saya pribadi merasa tidak ada kendala dalam menjalankan ibadah sebagai seorang muslim di Australia. Komunitas muslim di Australia terus berkembang semenjak awal kami menikah dulu. Dengan demikian, fasilitas-fasilitas yang diperlukan sebagai penganut agama Islam juga semakin mudah untuk dijangkau. Seperti banyaknya daging-daging halal yang tersedia di supermarket, grocery bahkan butcher halal.
Lalu, jumlah Masjid juga tempat beribadah seperti Islamic Community Centres sudah banyak ditemui baik di daerah-daerah metropolitan maupun beberapa daerah regional. Saya pun melihat Sebagian besar orang Australia sendiri cukup menerima agama Islam dengan baik. Bagi anak saya yang paling tua (10 tahun), dia sudah mampu berpuasa sepenuhnya semenjak beberapa tahun belakangan. Begitu juga dengan anak kedua saya (7 tahun), alhamdulillaah sudah bisa berpuasa dengan penuh dikebanyakan hari – beberapa hari lainnya ia hanya kuat untuk berpuasa setengah hari saja. Anak yang ketiga masih tengah belajar untuk berpuasa sepanjang setengah hari. Walau begitu, ia tetap ikut makan bersama keluarga saat sahur. Sejak kecil, kendala dalam mengajarkan ibadah puasa kepada mereka adalah pada saat membangunkan sahur. Namun, sekarang mereka sudah terbiasa.”