Industri dunia pertunjukan teater musikal yang populer di New York, Amerika Serikat memang belum banyak dapat dinikmati di Indonesia. Padahal, sebagian besar penonton teater Broadway di Singapura adalah orang Indonesia.

Ditemui di kantor Purwa Caraka Music Studio di daerah BSD, Banten, BUSET berkesempatan untuk mewawancarai putri dari musisi Purwa Caraka, yaitu Andrea Miranda untuk memperingati Hari Musik Nasional yang dirayakan pada 9 Maret.

Optimis dengan Perkembangan

Menurut perempuan berdarah Sunda yang akrab dipanggil Dea ini, musik teater di Indonesia memiliki potensi untuk berkembang. Jika melihat perjalanan dari 2009, Indonesia sebenarnya tidak asing dengan operet. Konsep operet dan teater musikal kurang lebih sama, hanya skalanya saja yang berbeda.

Saat memiliki kesempatan untuk bergabung dalam sebuah teater musikal Gita Cinta pada 2009, Dea menemukan respon yang cukup baik dari audiens. Namun, memang dunia pertunjukan ini belum menjadi kultur di Indonesia. Dea mengaku baru mulai mengenali dunia teater musikal sekitar usia 12- 13 tahun, yaitu saat ia pertama kali diajak menyaksikan secara langsung teater musikal Phantom of the Opera di Australia.

Dea juga sempat menyatakan bahwa beberapa tahun ini, antusiasme masyarakat Indonesia mulai terlihat. Setiap Singapura menyelenggarakan atau mendatangkan teater musikal, masyarakat Indonesia banyak yang menonton. Di luar dari biaya tiket pesawat, akomodasi, dan keperluan saat di Singapura, masyarakat Indonesia tetap antusias.

“Tapi, kalau aku liat perkembangannya sekarang, Beauty & the Beast, Sound of Music, dan Shrek sudah main di sini (Indonesia). Aku pribadi sih optimis bahwa pasti akan bisa berkembang,” ujarnya.

Menurut pengamatan Dea, beberapa acara sekolah atau perkumpulan di Indonesia kini juga sering menyelipkan sentuhan musikal di dalamnya. Dari hal-hal kecil tersebut, makin banyak orang yang mulai menyadari keberadaan musik teater. Setelah menyebar, lama-lama akan membuka berbagai kesempatan untuk orang yang ingin berkarir dan berkarya dalam bidang teater musikal.

Mulai dari Menonton

Saat berkecimpung di dunia tarik suara, Dea masih berusia 5 tahun. Semasa kecil Dea mengaku dirinya memiliki suara yang sangat serak. Setelah dibawa ke dokter ahli THT, ternyata di pita suaranya terdapat benjolan yang memang harus dikikis. Seketika ia dihadapkan dalam dua pilihan, yaitu operasi atau saran untuk terapi suara. Supaya tidak mengambil risiko setelah dioperasi, orang tuanya memilih untuk terapi suara dengan les bernyanyi. Dea diajarkan untuk mempergunakan pita suara dengan baik dan benar untuk mengurangi benjolan tersebut.

Pada era transisi 80 ke 90-an, Dea banyak disuguhkan dengan film-film Disney, dari The Little Mermaid, Pocahontas, Beauty and the Beast, ataupun Aladdin. Dari situ, secara tidak langsung Dea mulai akrab dengan musik yang disajikan pada selipan-selipan dialog dan tarian. Sampai akhirnya, saat usia 12 tahun, Dea diajak pertama kali menonton secara langsung Phantom of the Opera di Sydney. Meski tidak terlalu memahami alur cerita dan pemahaman Bahasa Inggris yang belum mahir, untuk Dea kecil pertunjukkan tersebut sangat berkesan.

Sejak saat itu, setiap berkesempatan untuk mengunjungi luar negeri, Dea akan mencari toko CD atau DVD yang menjual musik musikal. Salah satu DVD yang paling berkesan bagi Dea adalah sebuah tribute concert untuk salah satu produser dari West End yang menyampurkan berbagai potongan karya musikal.

Setelah lulus dari jurusan musik di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Dea bertekad untuk menekuni teater musikal secara lebih serius. Pada 2014, Dea memutuskan untuk mengembangkan ilmu dengan mengambil program professional training di New York Film Academy selama setahun.

Selama menjalani masa kuliah, Dea mengaku fisik dan mentalnya terus ditempa layaknya besi. Ia harus menghadiri kuliah setiap hari Senin hingga Jumat dari jam 9 pagi hingga 7 malam dengan dua kali istirahat yang hanya diberi waktu 30 menit.

Namun, kedisiplinan adalah hal yang membekas bagi Dea. Perbedaan antara kultur sebagai mahasiswi di Indonesia dan New York terasa sungguh berbeda. Ia mengaku, toleransi waktu dalam hal ajar mengajar di Indonesia masih cenderung tinggi. Berbanding terbalik saat di New York, semua harus selesai dengan efektif dan efisien. Jika tidak siap mengikuti kelas, tak ragu para guru akan mengusir anak didiknya dari kelas.

Hal itu dirasakan saat Dea harus mengikuti kelas balet. Dea mau tidak mau harus mencari tahu segala pengetahuan dasar balet supaya tidak tertinggal dengan teman-teman lainnya. Alhasil, salah satu penggemar dari musikal Sweeney Todd ini harus rela menghabiskan hampir setiap waktu senggangnya untuk menghafalkan gerakan-gerakan dasar balet dengan bermodalkan YouTube, Wikipedia, dan Google Search.

Tak hanya untuk pelajaran balet, Dea pula memperlakukan kelas lainnya dengan cara yang sama. Salah satu tempat favoritnya selama mencari ilmu di New York adalah perpustakaan dengan gedung khusus pertunjukan seni untuk mencari referensi partitur atau video pertunjukan broadway di New York.

Tak berlama-lama, Dea memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Hal pertama yang dilakukan adalah merampungkan rilis album bertajuk ‘Andrea Miranda’ pada 2015 yang sebenarnya sudah dikerjakan sejak 2014. Kepulangan Dea pun diiringi dengan pemikiran bahwa jika dirinya memutuskan karir di luar negeri, maka kondisi teater musik di Indonesia akan lebih lambat berkembang.

Menurut penggemar Stephen Sondheim, Titiek Puspa, dan Lin-Manuel Miranda ini, tidak semua orang yang memiliki bakat dan gairah bisa memiliki jalan yang sama sepertinya. Maka dari itu, Dea memilih untuk berbagi ilmu di Indonesia dan memainkan peran teater musikal di Indonesia. Tak berapa lama, setelah aktifitas promosi albumnya selesai, Dea mendapatkan peran sebagai Ainun dalam opera Ainun (2017).

Sebelum berangkat ke New York, Dea sempat berkecimpung di teater musikal tanah air, seperti Gita Cinta the Musical (2010), Onrop! Musikal (2010), Semut Merah Semut Hitam (2012), Sang Kuriang (2013), Gita Cinta (2013), dan Tresna (2014).

Stigma Karir di Dunia Musik

Perempuan yang juga memiliki ketertarikan dalam dunia sejarah ini berpendapat bahwa saat ini masih banyak orang yang meremehkan pelajaran musik. Saat masih kuliah, ada beberapa kerabatnya yang menganggap kuliah musik hanya soal asal bernyanyi dan dianggap mudah. Perempuan yang juga menjabat sebagai dosen di Universitas Pelita Harapan ini mengaku bahwa beberapa muridnya pun sering menyampaikan keluh kesah yang serupa dengannya dulu.

“Yang sukses banyak kok, yang belum terkenal belum tentu tidak ada kerjaan. Ada orang yang tidak terkenal tapi setiap hari manggung. Lapangan kerjaan banyak bagi musisi. Aspek bermusik juga tidak hanya sebagai performer-nya saja. Tergantung minatnya mau apa,” ungkapnya.

Sampai saat ini, orang memiliki stigma bahwa musisi merupakan orang yang tampil di atas panggung. Padahal, seseorang yang membuat alat musik, pengatur akustik ruangan, operator rekaman, operator sound system, guru, music director dan lainnya juga merupakan bagian dari musik. Alangkah baiknya bila seluruh orang yang berperan pun dapat mengerti tentang kebutuhan dari orang yang akan tampil. Jika di New York, terdapat sekolah yang didesain untuk orang-orang yang ingin mendukung suatu penampilan. Ia menyatakan bahwa hal tersebut dapat membuat orang berpikir bahwa dunia musik juga memiliki lapangan kerja yang menjanjikan.

Kini, karir di teater musikal pun potensi berkarirnya juga semakin terbuka. Sudah banyak komunitas yang bergerak, seperti Jakarta Movement of Inspiration (JKTMoveIn) atau Jakarta Broadway Team. Semakin banyak orang yang memulai, Dea menyatakan bahwa tinggal menemukan momen yang tepat dan dukungan dari sekitar.

“Di luar negeri pun, tidak langsung jadi seperti industri yang sekarang. Mereka butuh waktu hampir ratusan tahun untuk sampai sekarang. Broadway atau West End, perjalanannya saja bisa puluhan hingga ratusan tahun,” ujarnya.

Sosok Purwa Caraka dalam Hidup

Ditanya soal sosok Purwa Caraka dalam dunia karir, Dea mengaku pertanyaan ini termasuk kategori yang sulit dijawab. Dea merasa terdapat dua ekspetasi dari orang lain terhadap anak dari musisi, antara kemakluman orang lain terhadap keputusan seorang anak karena orang tuanya seorang musisi juga. Ada pula yang merasa heran, jika anak musisi tidak mengikuti jejak karir orang tuanya.

Harus diakui bahwa peran Purwa Caraka sebagai sosok ayah berpengaruh besar dalam hidup Dea. Ia mengaku bahwa sifat determinasi ayahnya memang patut dicontoh. Dea juga terinspirasi dari kepercayaan ayahnya untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi musik Indonesia dengan membangun Purwa Caraka Music Studio. Sampai saat ini, perempuan yang menggemari sushi ini juga berkontribusi di bagian kurikulum. Rencananya, akan segera dibuka kelas pula bagi masyarakat Indonesia yang memang memiliki ketertarikan dalam bidang musik teater.

 

 

 

Dhyra