Diketahui bahwa sejak Februari dan Maret 2020, sekolah-sekolah dari berbagai tingkatan di Australia maupun Indonesia harus ditutup demi membatasi penyebaran Covid-19. Melalui tulisan ini, Buset mengajak pembaca untuk melihat curhatan suka-dukanya pengajar dan pelajar di Australia maupun Indonesia dalam menjalani study online.

Gagap Teknologi (Gaptek) 

Anonim adalah seorang guru Sekolah Dasar (SD) di wilayah Timur Indonesia yang juga terpapar Covid-19. Ia mengakui bahwa dirinya dan hampir semua rekan guru di wilayah tersebut masih Gaptek. Selain guru-gurunya, siswa-siswi dan orang tua muridpun  tidak semuanya memahami teknologi komunikasi, bahkan tidak semuanya merupakan pengguna teknologi. Pada awalnya sekolah menyiasatinya dengan melaksanakan kunjungan guru ke rumah-rumah para murid namun karena keterbatasan tenaga dan biaya maka terpaksa banyak sekolah yang harus menutup semester setelah melaksanakan ujian Tes Tengah Semester (TTS). Nilai TTS kemudian dialokasikan juga sebagai nilai Tes Akhir Semester (TAS).

Peningkatan Fleksibilitas

Leonard C. Epafras adalah dosen program doktoral di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) yaitu konsorsium yang terdiri dari tiga Universitas di kota Yogyakarta; Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).  

Diakui oleh Leonard bahwa dua tahun belakangan dirinya memang telah menggunakan Google Classroom untuk mensiasati jadwal kerjanya yang padat. Itulah sebabnya kuliah online justru memudahkan dirinya dalam manajemen aktivitas secara digital sekaligus penggunaan Google Meet yang dapat memudahkan interaksi dengan mahasiswa di tiga zona waktu Indonesia secara bersamaan.

Sementara itu hal-hal yang menjadi tantangan aktifitas kelas online ialah sering adanya overlapping suara maupun noise karena adanya mahasiswa yang sibuk sendiri. Dalam waktu yang lain, kelas bisa jadi sangat pasif yang mungkin saja mahasiswa tidaklah “hadir” secara spirit dan melakukan aktivitas lain dibalik akun yang mereka hadirkan di ruang kelas online. Hal semacam inilah yang diakui Leonard menjadi lebih melelahkan karena harus mengusahakan kelas yang interaktif tanpa pertemuan spirit dan emosi.

Family Time

Anonim merupakan seorang dosen di The University of Melbourne yang mengakui sangat senang dengan sistem kuliah online yang memungkinkannya memiliki lebih banyak waktu dengan keluarga terutama dengan anak-anaknya yang masih kecil.

Akan tetapi saat yang bersamaan ia kesulitan berkonsentrasi ketika menjalankan kelas online karena sebagai seorang ibu dan istri ia terus memikirkan banyak hal: ‘In your planning make sure you’ve covered: What is your kids’ schedule? What will you have for each meal? When will you do chores?  (laundry, dishes, tidying, cleaning) When are your key work meetings or times it’s critical you have someone to cover your work while you handle a household task?’.

Selain itu msalah-masalah teknis juga sering sekali mengganggu konsentrasi seperti ‘sometime audio and the quality of internet connection is bad in the online classes’.

Lebih Percaya Diri

Vania Sharleen adalah seorang dosen Fakultas Kependidikan dan Humaniora di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Dalam aktifitas kelasnya sebelum Covid-19, Vania selalu menaruh perhatian pada karakter para mahasiswanya yang adalah generasi Z, dipahami olehnya sebagai orang-orang dengan dua identitas atau lebih.

Identitas dan karakter dalam kelas biasanya bukanlah identitas atau karakter yang sama dengan di media sosial begitupun sebaliknya. Kebanyakan mahasiswanya berkarakter tenang dan pemalu dalam kelas sehingga Vania perlu bekerja keras untuk menciptakan suasana kelas yang interaktif.

Namun semenjak menjalani kuliah online, Vania menemukan adanya peningkatan kepercayaan diri pada mahasiswanya sebab ada lebih banyak mahasiswa yang aktif dalam diskusi kelas online.

Inilah yang membuat Vania lebih menyukai kuliah online ketimbang kuliah dalam ruang kelas. Namun diakui juga bahwa kuliah online tetap menyulitkannya membawakan mata kuliah praktika karena mahasiswa tidak dapat melakukan praktek dengan maksimal.

Susah Sinyal

Ester Damaris Wolla Wunga adalah seorang dosen yang mengampuh beberapa mata kuliah utama di salah satu Sekolah Tinggi Teologi (seminary school) di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kesenjangan paket data dan kestabilan sinyal internet menjadi tantangan terberat yang dihadapi oleh Ester.

Di NTT harga paket data internet dinilai terlalu mahal sehingga tidak heran jika banyak mahasiswanya mampu membeli smart phone tetapi tidak dapat rutin membeli paket internet.

Ditambah lagi dengan kualitas sinyal yang fluktuatif sehingga sulit untuk mengakses aplikasi semacam Zoom dan Google Meet. Akhirnya Ester hanya menjalankan kuliah onlinenya dengan chatting atau voice note menggunakan aplikasi messenger yang tarifnya jauh lebih murah bahkan ada mode gratisnya.

Kendala lainnya adalah ketersediaan listrik mengingat tidak semua wilayah di NTT telah mendapatkan akses listrik dan banyak mahasiswanya yang berasal dari wilayah-wilah tersebut. Semua keterbatasan ini membuat Ester merasa khawatir dan sedih karena mata kuliah inti yang diampuhnya tidak dapat diterima secara maksimal oleh mahasiswa.

Belajar Mengatur Waktu

Mikha Bastian yang merupakan seorang staff kampus sekaligus seorang mahasiswa pasca sarjana di salah satu kampus di Yogyakarta mengakui cukup menikmati masa-masa ‘work from home’ sekaligus kuliah online.

Beberapa bulan ini ia telah melakukan semua pekerjaan kantor dan kuliahnya sekaligus memberanikan diri mencoba beberapa peluang usaha online. Ia juga belajar memasak demi alasan kesehatan. Tantangan yang dihadapinya adalah bagaimana mengatur waktu agar semuanya dapat dilakukan dengan maksimal dan tidak setengah-setengah.

Untuk menghindarkan diri dari kebosanan karena tidak adanya kontak emosi dengan keluarga dan teman-teman yang tentunya terbatas pada perangkat online meeting, ia kemudian meningkatkan ketrampilan sistem adminstrasi dan desain grafis melalui kelas-kelas training online.

Latihan Multitasking

Evitoria Sinaga adalah mahasiswa internasional di Victoria University. Ia mengakui sangat kewalahan menjalani kuliah online karena ‘lebih demanding’ yaitu penambahan kapasitas tugas.

Hal unik dalam kuliah online adalah ‘bisa multitask during class’, tetapi hal ini sering kali menyulitkan konsentrasi sebab pikiran terganggu dengan banyak hal yang dapat dilakukan sementara kelas berlangsung seperti aktivitas rumahan yang dilakukan kebanyakan perempuan.

Tetapi meski banyak kesulitannya, tetap saja kuliah online juga memiliki sisi positif yaitu penghematan waktu dan biaya transportasi ke kampus serta kegiatan lainnya di luar kampus.

Khawatir Soal Ujian Final

Anonim merupakan mahasiswa Unimelb mengakui bahwa sistem perkuliahan online yang telah diterapkan sejak pertengahan Maret dapat membawa hal-hal positif sekaligus tantangan.

Bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga dan binatang piaraan barunya serta menghemat pengeluaran. Selain itu waktu untuk mengikuti kuliah bisa diatur karena ada fasilitas zoom record.

Hal yang benar-benar dikuatirkan saat ini adalah Online Final Exam. Pertama kalinya Unimelb memutuskan untuk ujian virtual yaitu selama ujian, murid akan diawasi oleh pihak universitas melalui webcam karena ujian kali ini akan dilaksanakana dari rumah masing-masing dengan kualitas internet yang baik. Anonim berharap standar penilaian final exam kali ini bisa disesuaikan dengan keadaan saat ini.  

Penurunan Kualitas Belajar

Osin Albertin adalah mahasiswa S1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah yang mengeluhkan penurunan kualitas belajar. Hal ini terjadi karena sering kali dalam kelas online, materi yang disampaikan dosen kurang dari 20 menit kemudian sisanya adalah mengerjakan tugas.

Banyaknya tugas mengakibatkan tidak adanya waktu membaca, mahasiswa hanya berlomba dengan waktu untuk submit tugas dan tidak lagi mempedulikan kualitas tugasnya.

Ditambah lagi dengan ‘godaan tempat tidur’ dan seri drama Korea jika kebosanan melanda karena aktivitas hanya terbatas dalam kos-kosan.

Kangen Sekolah

Elsha Constan adalah seorang pelajar SMA yang mengakui bahwa semua mata pelajarannya digantikan dengan tugas.

Bentuk tugas juga macam-macam misalnya membuat paper, membuat naskah drama, membuat video, mereview buku dan sebagainya.

Sekalipun setiap hari Elsha hanya di rumah saja namun ia tetap kesulitan membantu pekerjaan ayahnya yang adalah seorang peternak karena banyaknya tugas-tugas sekolah.

Elsha juga rindu kepada teman-temannya dan suasana sekolah. Kendatipun, ia tetap senang seharian di rumah karena bisa lebih sering main bersama kucing dan anjing peliharaannya 😉.

Demikianlah curhatan beberapa pejuang study online, mudah-mudahan wabah Covid-19 ini bisa segera berlalu dan semua aktivitas belajar-mengajar dapat kembali berlangsung sebagaimana biasanya.

Leny