Dampak Novel Coronavirus atau Covid-19 kian terasa sejak Pemerintah Victoria mengisukan Public Health Emergency (Kedaruratan Kesehatan Masyarakat) tanggal 16 Maret lalu. Berikut wawancara BUSET dengan beberapa pemilik bisnis dan mahasiswa Indonesia di Melbourne tentang efek Covid-19.
Angelina Sukri, Pemilik Extra Travel

“Maaf ya saya tadi malam baru tidur 3 jam,” kata Angelina di awal wawancara dengan kru BUSET. Dirinya mengaku bahwa biro travel miliknya menjadi semakin sibuk semenjak wabah coronavirus di Victoria, terutama setelah pengumuman public health emergency. Pasalnya ia sibuk meneleponi para kliennya satu per satu untuk mengcancel bookingan travel mereka dalam waktu dekat atau menghubungi kliennya yang sedang ada di luar negeri untuk pulang ke Australia. Hal ini dilakukan Angelina segera setelah pemerintah Victoria mendeklarasikan status darurat untuk wabah Covid-19 dan melarang warga negara Australia untuk bepergian ke luar negeri. Warga yang sedang berada di luar Australia juga dipanggil pulang.
“Kita sekarang cuma fokus untuk bantu-bantu orang, rugi si pasti tapi kita ga mau mikirin itu. Yang penting kita bantuin orang,” jelas pemilik Extra Travel itu. Ia juga menghimbau agar orang-orang yang ingin mengurus tiket baik untuk membatalkan, memesan atau mengganti tanggal berpergian agar mengecek lebih dahulu halaman Facebook Extra Travel dimana mereka dapat mendapat informasi lebih lengkap soal kebijakan berbagai maskapai dalam keadaan karantina dan wabah Covid-19 saat ini.
“Intinya, the world is in lockdown, do not travel,” ujar Angelina. Sebagai seorang pengusaha di bidang travel dan pariwisata, ia menyarankan dengan keras agar orang-orang tidak memesan tiket untuk bepergian jika tidak untuk keperluan yang mendesak, apalagi jika itu hanya untuk liburan. Pasalnya kini semakin banyak negara yang telah menutup perbatasan mereka untuk wisatawan, termasuk Australia.
“Wishing everyone good health and strength during this challenging time. Stay calm, stay healthy, please don’t selfishly hoard groceries, stay stoked, stay home, stay safe. Together, we can overcome the #coronavirus threat.” Berikut pesan dari Angelina di akhir wawancara dengan kru BUSET.
Nika Suwarsih, President of The Indonesian Society of Victoria (Perwira)

Salah satu dampak terbesar dari Covid-19 juga dapat terlihat di berbagai komunitas dan aktivitas sosial yang terpaksa harus diundur atau bahkan dibatalkan. Indonesian Satay Festival contohnya.
“Keputusan untuk mengcancel acara ini kita ambil setelah melalui proses voting. Pertama saya mengadakan voting dengan 10 board member PERWIRA yang memutuskan untuk membatalkan acara Indonesian Satay Festival 2020 untuk kebaikan bersama dan kesehatan masyarakat lebih utama. Kemudian saya bawa keputusan ini ke meeting besar panitia Satay Festival yang juga memutuskan agar acara dicancel atau dibatalkan. Dan semua meeting ini kita lakukan online,” jelas Nika Suwarsih, pengurus Satay Festival dan Presiden PERWIRA (Perhimpunan Warga Indonesia di Victoria).
Nika menegaskan bahwa keputusan untuk membatalkan acara tahunan PERWIRA ini selaras dengan pengumuman pemerintah Victoria yang melarang acara dan perkumpulan yang berjumlah lebih dari 500 orang. Sedangkan panitia tidak dapat memprediksi berapa orang yang akan datang ke acara tersebut. Pengalaman tahun lalu orang yang hadir lebih dari 500 orang.
“Kami dalam proses merefund 100% biaya kembali ke semua vendor. Grant (dana) dari Victorian Government juga dalam proses kami kembalikan 100%,” ujar wanita yang juga bekerja sebagai Community Development di Women Association South East Melbourne itu.
Walaupun komunitas Indonesia dan para vendors acara dapat memahami dan merespon dengan baik keputusan panitia untuk membatalkan Satay Festival, Nika sempat kecewa pembatalan tersebut. Pasalnya proses aplikasi untuk pendanaan acara komunitas seperti ini tidak mudah didapatkan. Proses aplikasi harus dilakukan setahun sebelumnya. Dirinya selaku Presiden PERWIRA dengan berat hati harus membatalkan acara ini demi mengutamakan kebaikan bersama, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
“Saat ini sudah banyak acara-acara komunitas Indonesia lain yang juga batal. Dan kita ga bisa prediksi sampai kapan akan seperti ini. Belum pernah kejadian yang seperti ini saya alami, selama saya menetap di Melbourne.”
“Saya ingin berterimakasih kepada semua stall holders, sponsors, media partners dan semua Panitia yang setia mensupport acara ini. Saya minta maaf harus membatalkan acara ini, untuk kebaikan kita bersama. Pesan saya, mari kita tetap bersatu saling support kepada masyarakat di sekitar kita dan di komunitas kita. Semoga kita selalu sehat dan sejahtera serta dijauhkan dari wabah penyakit Coronavirus. Semoga kondisi segara normal kembali. Aamin.” Demikian pesannya kepada komunitas Indonesia di Melbourne.
Willy Po, Pemilik Restoran Blok-M Express

Ketika supermarket ramai diserbu oleh para masyarakat yang mengalami
fenomena panic buying, usaha restoran justru mengalami penurunan
jumlah pengunjung yang lumayan drastis. Salah satu restoran yang
terkena dampaknya adalah Blok-M Express.
“Ada penurunan foot traffic kira-kira sebanyak 50% sejak Senin tanggal
16 kemarin. Ya sejak pengumuman state of emergency itu,” ujar Willy,
pemilik restoran Indonesia, Blok M. Willy juga menambahkan bahwa
penurunan jumlah pengunjung ini dikarenakan faktor lokasi restorannya
yang terletak di daerah CBD dimana sebagian besar pengunjungnya adalah
pegawai kantoran dan mahasiswa.
Pengumuman pemerintah Victoria yang ditanggapi oleh sebagian besar
universitas dan perusahaan untuk merumahkan pegawai dan mahasiswa
dengan kebijakan “work from home dan online class” ini membuat sebagian
besar orang untuk enggan keluar dari rumah. Selain jumlah pengunjung
yang sangat menurun, Willy mengaku bahwa beberapa bahan baku juga menjadi
sulit didapat.
“Beras dan bahan baku seperti mie kering menjadi susah untuk didapatkan. Kita biasanya bisa beli 10-15 bags per minggu, sekarang dibatasi jadi cuma 7 bags sama
supplier. Bumbu-bumbu juga susah datangnya, terutama bawang putih kupas yang
paling terasa karena dari Tiongkok,” katanya. Ia menambahkan bahwa
bahan-bahan seperti daging segar juga mengalami kenaikan demand
sedangkan supply tidak mencukupi yang mengakibatkan harga menjadi naik.
Saat ditanya apakah Blok-M Express akan mengambil tindakan-tindakan
untuk mencegah penyebaran virus corona, Willy menjelaskan bahwa ia
telah menerapkan langkah ekstra untuk meningkatkan standar kebersihan.
Di antaranya seperti menerapkan aturan karyawan dapur dan restoran untuk
memakai sarung tangan saat bersentuhan langsung dengan makanan, lebih sering
mencuci tangan, selain itu semua alat masak dan alat makan juga disanitasi sebelum digunakan. Blok M juga menerapkan pembayaran via eftpos untuk mengurangi
kontak dengan uang tunai.
“Untuk sementara restoran akan beroperasi seperti biasa yaitu jam 11 siang sampai jam 9 malam. Restoran akan terus beroperasi sampai ada keterangan dari pemerintah untuk tutup (lockdown). Kita sebagai bisnis owner juga berharap kalau konsumen yang enggan keluar untuk memesan makanan dari fasilitas online delivery seperti “uber food” untuk support usaha dan bisnis restoran. Semoga keadaan akan membaik kedepannya karena kalau usaha ditutup maka yang terkena dampak paling parah adalah semua pekerja yang mengandalkan biaya masukan dari toko dan usaha tersebut,” pesan Willy kepada para pelanggan.
Robin Surjadi, Pemilik Meetbowl

Nampaknya bawang putih menjadi komoditi yang langka ditengah-tengah wabah Covid-19 ini. Seperti Willy, Robin, pemilik restoran Meetbowl, juga mengeluh akan harga dan stok bawang putih.
“Harga garlic macam-macam ya, ada yang sudah dikupas ada yang belum. Tapi untuk bawang putih kupas sudah naik dari $6/kg menjadi $15/kg,” menurut pria beranak dua itu kenaikan harga bawang putih yang drastis dikarenakan oleh terhambatnya supply dari Tiongkok. Meski begitu, ia mengaku sementara ini tidak ada perubahan pada harga menu Meetbowl karena ia belum mengalami kesulitan untuk mendapatkan maupun kenaikan harga di bahan-bahan selain bawang putih.
“Foot traffic sih berkurang, kira-kira 10-20% saja. Ini sudah sejak dari Chinese New Year, karena corona kan mulai sejak waktu itu. Pengunjung lokal juga berkurang,” ujarnya.
Restoran yang menu spesialnya adalah bakmi khas Indonesia ini juga telah mengambil langkah-langkah ekstra demi pencegahan penyebaran virus Covid-19. Diantaranya seperti mengharuskan pegawai untuk mencuci tangan lebih sering dan mengelap meja serta pegangan pintu. Willy juga menghimbau pegawainya agar mengkonsumsi multivitamin dan vitamin c untuk meningkatkan imunitas tubuh. Meski ia tidak menginginkan lockdown terjadi, ia berharap Meetbowl dapat tetap buka untuk layanan takeaway saat lockdown. Ia juga berharap pemerintah dapat memberikan paket stimulus seperti keringanan pajak dan rental assistance ditengah kondisi wabah yang semakin memburuk.
Leonard Bintoro (@leonbleicken), Mahasiswa Monash University

Tak hanya bisnis, wabah corona juga berdampak besar bagi kehidupan mahasiswa Indonesia di Australia. Salah satunya adalah Leonard Bintoro. Mahasiswa asal Surabaya yang seharusnya menjalani semester terakhirnya di Monash ini terpaksa memilih untuk kembali ke Indonesia karena panik akan kemungkinan lockdown.
“Semua classes jadi online anyway, rasanya pointless and no need to be here, di Indo saja,” komentar Leonard yang akrab disapa Leon. Ia menerangkan bahwa Monash University sudah menggunakan metode belajar online sejak minggu pertama semester ini dalam upaya social distancing atau penjauhan sosial. Semua ujian dan tugas-tugas juga dilakukan secara online dan mengikuti jadwal semula. Meski begitu, mahasiswa jurusan Banking and Finance dan Marketing ini mengaku dirinya tidak begitu menyukai metode baru ini dikarenakan berbagai halangan yang berpotensi mengganggu kegiatan belajar mengajar seperti komunikasi.
“Rasanya lebih challenging sih, lebih enak ngobrol langsung sama guru. Dan group project juga jadi susah, karena aku even belum ketemu sama my team mates dan pasti susah untuk communicate with each other,” keluhnya.
Sebagai seorang pribadi extrovert, Leon juga merasa kecewa dengan efek wabah virus corona ini kepada kehidupan sosialnya. Dengan kebijakan pemerintah yang melarang acara atau kegiatan sosial yang melibatkan 100 orang atau lebih, universitas Monash memutuskan untuk membatalkan semua kegiatan sosial dan klub-klub ekstrakurikuler, termasuk professional networking events.
“I feel like I lose the feeling of meeting new people, making connections and going to new places and studying in new buildings,” kata laki-laki penggemar fashion ini. Dirinya juga merasa tidak aman dikarenakan susahnya memperoleh makanan, barang-barang keperluan sehari-hari terutama toilet paper yang terus diborong orang akibat fenomena panic buying yang tidak kunjung berhenti.
“Rasanya seperti doomsday,” cetusnya.
Phoebe