Masih ingat webinar pertama Reprodukasi, Let’s Talk About Sex beberapa pekan lalu? Kali ini Reprodukasi kembali dengan webinar terakhirnya dari seri #HarusDibahas, dengan judul Consent & Sexual Abuse

Pembicara di webinar ini adalah Tiara Puspita, psikolog klinis untuk orang dewasa dan advokat kesehatan mental, Citra Benazir, aktivis dan penulis dari Pleasure Girls, dan Gabriella Febiola, Puteri Indonesia DKI Jakarta VI 2020. 

Apa itu pelecehan seksual? 

Pelecehan seksual adalah perilaku, ucapan, isyarat, atau pendekatan terkait dengan seks yang tidak diinginkan. 

Pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, namun stigma di masyarakat masih sering membuat korban bungkam 

Pelecehan seksual tidak berbasis gender dan tidak selalu dengan lawan jenis. Siapapun bisa mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dimanapun mereka berada. 

Namun, masih terdapat stigma yang melekat baik di perempuan maupun laki-laki sebagai korban pelecehan seksual. Pengungkapan dan penanganan kekerasan seksual pada perempuan tidaklah mudah, karena hal ini sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Sebagai simbol kesucian dan kehormatan, perempuan yang mengalami kekerasan seksual sering dipandang sebagai aib. 

Figur laki-laki dalam budaya Indonesia sering dianggap sebagai pemegang kekuasaan utama dan seorang yang mendominasi dalam suatu hubungan. Gambaran umum ini membuat para pria merasa malu dan meragukan dirinya saat menjadi korban kekerasan seksual, karena anggapan bahwa mereka seharusnya “cukup kuat” untuk melawan pelaku kekerasan seksual tersebut.

Jenis-jenis pelecehan seksual 

  • Catcalling 

Catcalling adalah jenis pelecehan yang mencakup komentar menggoda, menampilkan gesture provokatif, bersiul dengan konteks menggoda, stalking, hingga menyentuh orang yang tidak dikenal dengan konteks seksual, biasanya terjadi di ruang publik.

  • Pelecehan Gender 

Komentar cabul atau humor tentang seks dari gender tertentu ke gender lainnya. 

  • Perilaku menggoda 

Kalimat atau ajakan berkonten seksual, termasuk ajakan kencan yang terus menerus dilakukan dan cenderung memaksa meskipun sudah ditolak berkali-kali.

  • Penyuapan Seksual 

Merupakan jenis pelecehan yang memiliki iming-iming imbalan agar calon korban tertarik atau mau melakukan ajakan pelaku. Penyuapan seksual umumnya terjadi di lingkungan yang awalnya tidak kita anggap berbahaya dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tertentu, seperti dosen kepada mahasiswa, murid kepada guru, ketua organisasi kepada anggotanya, dan lainnya.

  • Pemaksaan seksual

Memaksa seseorang untuk melakukan tindakan seksual yang jika ditolak akan mengancam untuk melakukan sesuatu yang merugikan calon korban. 

  • Pelanggaran seksual 

Menyentuh, meraba, memegang bagian tubuh seseorang secara paksa tanpa adanya consent. Hal ini disebut juga sebagai penyerangan seksual (sexual assault)

  • Online sexual harassment 

Menerima materi seksual yang tidak diharapkan 

Kondisi ini mencakup menerima chat yang mendandung kalimat eksplisit terkait seksual, menerima foto atau video yang mengandung konten seksual, meminta korban mengirim foto telanjang, dan lain sebagainya. 

Materi seksual korban di-posting secara online tanpa persetujuan 

Komentar atau gosip terkait seksualitas, orientasi, perilaku seksual, foto atau video yang mengandung konten seksual, atau menggunakan kalimat yang merendahkan seksualitas korban termasuk kedalam kategori online sexual harassment. 

Apa itu consent

Consent, atau lebih tepatnya sexual consent adalah persetujuan afirmatif (secara sadar, sukarela, dan tidak dalam hasutan atau ancaman) untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual. 

Persetujuan dapat terlihat dari reaksi, antusiasme, atau komunikasi yang dilakukan dengan jelas dan berkelanjutan.

Seseorang tidak dapat mengandalkan interaksi seksual sebelumnya atau perilaku seksual yang dilakukan ketika seseorang dalam keadaan tidak sadar sebagai suatu persetujuan seksual. 

Bagaimana caranya menanyakan sexual consent

Cara mendapatkan persetujuan seksual dapat dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 

“Boleh enggak kalo aku…”

“Benar begini?” 

“Kalo aku … boleh?” 

“Kamu mau … enggak?”

“Kalau mau berhenti bilang ya”

“Gapapa kan?” 

Are you okay with this?

Is this okay?

Sexual consent yang dilandasi komunikasi yang jelas akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada kedua belah pihak 

Aktivitas seksual mempunyai dampak besar bagi hidupmu, pasanganmu, dan hubungan yang sedang kalian jalani. Maka dari itu, penting untuk membicarakannya terlebih dahulu dan membuat persetujuan untuk memastikan bahwa semua aktivitas seksual dilakukan dengan sehat dan bertanggung jawab. 

Kekerasan seksual tidak luput dari dampak fisik maupun psikologisnya 

Reaksi setiap orang dari kejadian traumatis ini berbeda-beda, namun pada dasarnya para korban seringkali mengalami perubahan pada identitas diri (post-traumatic self). Secara emosional, kondisi ini dapat mengubah rasa kesejahteraan (wellbeing), nilai-nilai, dan pandangan hidup korban. Konflik antara keinginan untuk menyangkal kejadian traumatis dan keinginan untuk mengungkapkannya secara verbal seringkali merupakan tanda utama dari trauma psikologis. 

Bagaimana jika kamu merupakan korban pelecehan maupun kekerasan seksual? 

  • Pahami bahwa peristiwa tersebut bukan kesalahan diri kita. 
  • Sadari dampak yang terjadi pada diri hingga saat ini. Apakah ada flashback, mimpi buruk, kecemasan berlebih, ketakutan, dsb. 
  • Mencari safety plan jika pelaku adalah orang dekat dan masih berada di sekitar kita. 
  • Bicara dengan orang yang dapat dipercaya, konselor, psikolog, HRD, atau pihak berwajib. 
  • Jika ada bukti-bukti kekerasan atau pelecehan seksual, kumpulkan dan jaga bukti-bukti tersebut, termasuk jika ada bukti fisik. 

Bagaimana caranya mendukung korban? 

  • Mendengarkan tanpa menghakimi dan tidak emosional dalam menanggapi situasi. Berikan dukungan dan jadikan diri kita sebagai tempat aman untuk korban berbicara secara terbuka. 
  • Kata-kata seperti “aku percaya padamu”, “kamu nggak salah”, “kamu nggak sendirian”, “aku menyesal ini terjadi kepada kamu” dapat membantu menenangkan korban.
  • Apresiasi korban karena telah terbuka dan percaya pada diri kita untuk menceritakan pengalamannya. 
  • Berikan waktu bagi korban untuk berpikir dan memproses pengalamannya. Jangan memberikan tuntutan atau mengarahkan perilaku yang harus dilakukannya. 
  • Walaupun melaporkan ke pihak berwenang atau memproses secara hukum adalah langkah yang baik, tapi jangan memaksa korban untuk melakukannya jika ia belum merasa siap. 
  • Jika korban tidak ingin melaporkan ke pihak berwenang dan jika ia mengalami kekerasan seksual secara fisik, ajak ia ke rumah sakit atau klinik untuk memeriksakan kondisi fisik dan memastikan tidak ada luka atau infeksi. 
  • Observasi perubahan perilaku korban, gejala gangguan psikologis ataupun gangguan dari aktivitas harian yang terdampak dari peristiwa traumatis. 
  • Memahami bahwa kita bukan profesional di bidang trauma, sehingga ada keterbatasan dukungan yang dapat kita berikan kepada korban, meskipun kita mungkin ingin memberikan dukungan lebih. 

“Sometimes we feel alone because we don’t light up our torch but that is why we cannot see other people walking with us; all of us have been walking in the dark. As soon as you turn on that light, when you tell someone that you went through it and that’s when you realize that there are many people walking the fight with you.”

– Gabriella Febiola, Puteri Indonesia DKI Jakarta VI 2020 dan penyintas pelecehan seksual