Di penghujung Maret kemarin Buset mendapat kesempatan untuk menghadiri acara pertemuan di 20 Chancellors Walk, Monash University Clayton Campus, dimana perwakilan beberapa media diundang untuk pengadaan konferensi bertajuk “Chinese Indonesians: Identites and Histories” yang rencananya akan dihelat pada tanggal 1-3 Oktober 2019 di Learning and Teaching Building, Monash University clayton Campus.
Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre selaku pengada acara pertemuan dan konferensi yang akan datang, berdiri untuk mempererat hubungan antara Australia dan Indonesia dengan menyediakan platform dimana berbagai instansi dapat berinteraksi dan meningkatkan pemahaman budaya.
Didukung juga dengan perpustakaan Monash yang memiliki salah satu koleksi terbesar di Australia tentang studi Indonesia, terutama di bidang kemanusiaan dan ilmu sosial, serta banyak studi di Melbourne tentang Komunitas Tionghoa Indonesia yang telah diulas, menjadi landasan untuk pengadaan dan pemilihan topik konferensi ini. Komunitas Tionghoa di Indonesia sudah lama berada di Tanah Air, dan serta merta menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia dan perintis gerakan dekolonisasi.
Menurut Profesor Ariel Heryanto, Direktur Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre, studi tentang Tionghoa yang dilakukan seringkali terlalu sederhana. Mendiskripsikan, misal secara positif, dominasi ekonomi, atau hanya negatif, seperti digambarkan hanya sebagai korban. Ia pula menambahkan bahwa secara studi akademis, diskusi menyangkut nasionalisme Tionghoa Indonesia tak jarang berat sebelah, dimana label orang Tionghoa yang baik diberikan kepada yang nasionalistik, yang memberikan jasa besar kepada negara. Maka ini mengangkat pertanyaan mengapa untuk menjadi seorang penduduk yang baik bagi kaum Tionghoa Indonesia susah lepas dari ikatan nasionalisme? Bisakah dengan cara lain?

Walaupun berkutat seputar sejarah dan identitas Tionghoa Indonesia, konferensi ini hadir sebagai pintu masuk untuk diskusi topik lain yang juga relevan secara global, sebut saja kebangsaan, populisme, etnisitas, literatur, kebijakan, kewanitaan, dan lain-lain. Bersifat inklusif, konferensi ini ingin mempertemukan berbagai kalangan, akademis dan non-akademis, untuk membuka wawasan.
Dalam acara ini, Prof. Ariel Heryanto dan Dr. Jemma Purdey akan hadir sebagai Co-conveners. Format yang akan digunakan dibagi menjadi 3 bagian, yakni berupa paper presentations yang merujuk pada 4 pertanyaan kunci dan petunjuk yang dapat ditemukan di bagian event situs Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre. Bagi yang ingin ikut serta secara individual atau kelompok, kesempatan untuk mengirim hasil riset dibuka dari tanggal 13 Maret hingga 15 Mei, dan yang terpilih (diumumkan pada Juli 2019) dapat mempresentasikan reserach paper mereka pada hari konferensi.
Kemudian ada diskusi roundtable dimana para hadirin berkesempatan untuk berikutserta dalam pembicaraan topik-topik tertentu. Akan ada beberapa panel dan termasuk seorang pembicara yang bepengalaman dalam topik tersebut. Jika ada yang bersedia untuk memberi saran topik untuk roundtable, dapat menyampaikan topik berikut dengan sekitar 4-6 nama pembicara/moderator dan background mereka.
Topik untuk pengajuan panel dan research paper dapat menyertai berbagai disiplin termasuk Antropologi, Arsitektur, Diaspora, Ekonomi, Gender, Sejarah, Hak Asasi Manusia, Bahasa dan literatur, Media, Performing Arts, Politik, Perbandingan Regional, Agama, Seni Visual.
Dua pembicara utama yang hadir dalam acara tersebut termasuk salah satunya Dr Karen Strassler, seorang Profesor Antropologi dari Queens College dan CUNY Graduate Centre, USA. Beliau aktif melakukan riset tentang Indonesia dan pernah menulis buku yang memenangi beberapa penghargaan berjudul “Refracted Visions”, membahas visi kebangsaan Indonesia bagi fotografer Tionghoa Indonesia lewat fotografi.
Turut hadir ialah Dr Hilmar Farid, Direktur Jendral Kementerian Pendidikan dan Budaya yang memiliki latar belakang seorang aktivis dan pernah menulis disertasi tentang Pramoediya Ananta Toer, seorang sastrawan yang pernah dipenjarakan di Pulau Buru pada masa orde baru. Dan tentunya masih akan ada pembicara lain yang akan berpartisipasi dalam berbagai topik diskusi roundtable.
Selain dua bagian yang bersifat formal dan akademis, akan diadakan acara lainnya bersifat lebih santai, yakni pameran memasak kuliner Peranakan Tionghoa Indonesia, eksibisi buku, dan masih banyak lagi. Kontribusi untuk eksibisi ini juga terbuka untuk umum.
Petunjuk lebih lanjut bagi yang ingin berkontribusi, entah itu berupa research paper, roundtable discussion, ataupun pameran, dapat ditemukan di situs Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre (https://cvent.me/4951w;).
Selain ingin menjadikan konferensi ini sebagai tempat yang nyaman untuk bertukar pikiran dan membuahkan pembelajaran berharga, juga ada ekspektasi lainnya yang diharapkan dari penyelenggara acara. “Secara institusi, kami berharap akan ada publikasi dari selected papers, Jemma dan saya akan bekerja untuk itu tapi kami harus melihat actual paper terlebih dahulu. Yang kedua, saya berharap orang akan mempunyai hubungan, persahabatan dan kontak yang baik karena ketemu di konferensi ini,” ungkap Prof. Ariel Heryanto.
Denis