Setahun berlalu sudah sejak pertama kali pemerintah Australia menutup international bordernya. Alhasil, semakin banyak international students yang tidak bisa kembali ke Australia untuk melanjutkan studi offlinenya, bahkan beberapa dari mereka tidak pernah merasakan berkuliah langsung di Negeri Kangguru ini. Bagaimana ya kabar mereka? Apa suka-duka mereka selama ini, dan apa harapannya untuk pemerintah Australia? Yuk, simak cerita teman-teman kita berikut ini.
Akbar Madani, Economics and Geography student at The University of Melbourne

Dani kembali ke Indonesia sejak April 2020 dan memutuskan untuk cuti kuliah selama setahun sebelum melanjutkan studinya lagi secara online di awal tahun ini. Alasan utamanya kembali adalah untuk meringankan beban orang tua secara finansial dan moral karena dampak pandemi yang cukup besar menimpa mereka.
Laki-laki asal Bandung ini menuturkan bahwa interaksi yang minim, kesulitan bersosialisasi, dan kesusahan mengerjakan tugas kelompok atau tugas lain yang seharusnya dikerjakan face-to-face merupakan tantangan sehari-hari yang harus dihadapinya saat melakukan online learning.
Ia sangat berharap bisa kembali ke Melbourne untuk menuntaskan mimpinya berwisuda di depan gedung sekolah ataupun mencari pengalaman kerja di sana. Menurut laki-laki yang pernah meneliti potensi iklim dan geografis di Lembang, Bandung ini, pemerintah dan universitas di Australia harusnya bisa lebih mengerti kondisi yang tengah dihadapi international students mereka di berbagai belahan dunia.
“International students are facing a lot of different situations here back home. I, myself, request the government to encourage universities to look at these situations. We don’t need any more pressures (such as pressures on our grades) coming from universities, we need much more support. Don’t be too harsh, everyone is trying really hard here. Especially what we as international kids go through. I think it’s also a good idea for them to invest in international students’ mental health issues. I know that we have accessible services for international students on campus, but I think if we’re not on campus we also have a right for it because we are still paying a full fee as well, there’s no such thing as discount payment or incentives for pandemic financially,” tutup Dani saat ditanya apa harapannya untuk pemerintah Australia dalam menangani kasus border ini.
Annisa Hana, Accounting & Finance student at The University of Melbourne

Hana seharusnya berangkat ke Melbourne pada pertengahan tahun kemarin, namun sayangnya border Australia sudah tidak bisa menerima international students untuk masuk ke negaranya saat itu.
Sejak awal studinya, murid double degree dari Universitas Indonesia (UI) ini belum pernah berkesempatan belajar langsung di University of Melbourne.
“It was quite a hard adaptation for me, considering I was transitioning from studying in UI dan langsung ke Unimelb,” ujar gadis cantik ini saat ditanya apa suka dukanya belajar online semenjak berkuliah di University of Melbourne. Walaupun hanya mengambil empat mata kuliah per semester, ia mengaku jadwal kuliahnya sangat padat, belum lagi waktu yang harus dihabiskan untuk mengerjakan tugas dan memperisapkan ulangan semester.
“And then, remembering kita online, kita nggak ngedapetin fasilitas-fasilitas yang biasanya di provide kalau kuliah offline,” tambahnya.
Gadis yang pernah menjadi ketua Economics International Society (EIS) di UI ini menjelaskan bahwa padatnya jadwal kuliah mengharuskannya untuk pintar-pintar mencari waktu untuk refreshing. Jika belajar secara offline di Melbourne, menurutnya perjalanan dari apartemen ke kelas saja sudah termasuk refreshing. Namun, online study yang lebih banyak dihabiskan di kamar dan di depan laptop membuatnya kesulitan untuk mencari motivasi yang tepat untuk terus berjalan maju.
Walaupun Hana paham betul bahwa Australia ingin meminimalisir kasus COVID-19 di negaranya sebisa mungkin, ia pun juga berharap pemerintah Australia untuk lebih mempertimbangkan international students yang ingin melanjutkan studinya di sana.
“My hope is to be able to be there as soon as possible remembering I would graduate next year. Also, it’s very important for us to be mentally stable and it’s very hard for us to maintain that while online learning.” Gadis yang gemar hiking ini juga mengatakan bahwa biaya kuliah yang tidak berubah semenjak diberlakukannya online learning ini juga menjadi masalah, mengingat ia tidak mendapatkan fasilitas dan pengalaman yang sama dibanding mereka yang berkuliah langsung disana.
Alsakina Muhammadun, Civil Engineering student at Swinburne University

Berbeda untuk anak teknik yang satu ini, ia beruntung universitasnya memberi kelonggaran biaya kuliah untuk murid-murid yang harus melakukan studinya full-online diluar Australia. Namun tetap saja, menurutnya kuliah online bukanlah opsi terbaik untuk mereka yang berjurusan teknik atau biologi, karena banyak kelas-kelas lab yang akhirnya dibatalkan karena tidak memungkinkan untuk dijalankan di masa pandemi ini.
Sudah setahun lebih Alsa kembali ke Indonesia karena orang tuanya merasa khawatir saat Melbourne meemberlakukan full-lockdown di awal pandemi lalu. “You know, being with family always be a better solution kalau situasinya kayak gini,” ujarnya. Gadis yang sebetulnya sudah terbiasa tinggal jauh dari rumah ini mengira bahwa lockdown di Melbourne akan berakhir di akhir 2020 dan ia bisa kembali lagi kesana, “but oh well, the Australian government has another plan for it,” pungkasnya.
Saat ditanya apa harapannya kepada pemerintah Australia dalam menangani situasi ini, Alsa berharap Australia bisa seperti negara lain di luar sana yang memperbolehkan international studentsnya untuk melanjutkan studi di negara tersebut. “I know it’s not an easy job, but I hope Australia will consider international students to be able to come back. I think the idea of getting vaccinated before traveling to Australia is the best plan so far,” tutupnya.