Indonesia Culinary Association of Victoria adalah komunitas yang sengaja didirikan untuk merangkul orang-orang yang memiliki aspirasi untuk membesarkan kuliner Indonesia, baik dari kalangan chef maupun pemilik restoran. Mengembangkan bisnis kuliner di Australia terbilang rumit. Salah satu yang kerap menjadi masalah adalah mahalnya biaya operasi sebuah restoran dan berbagai peraturan yang harus dipatuhi. Di sinilah ICAV dapat membantu untuk memberikan penyuluhan perihal aturan yang berlaku, saling mendukung dan bertukar pikiran.

Pertemuan ICAV penghujung Juli kemarin diadakan di restoran The Uleg, Brunswick dengan mengundang Tati Carlin, sosok yang menjadi viral berkat partisipasinya dalam salah satu kompetisi memasak Australia yang terkenal secara internasional. Melalui acara yang ditayangkan di saluran televisi Australia tersebut, Tati mempromosikan masakan Indonesia. Ini lalu dinilai sebagai kesempatan untuk lebih menggiatkan lagi perbincangan seputar kerjasama membesarkan menu-menu andalan Tanah Air.

Bincang-bincang ICAV di restoran The Uleg mengundang Tati Carlin untuk meningkatkan promosikan kulinari Tanah Air

Penggunaan sosial media dapat bermanfaat untuk kuliner Indonesia

Melalui pengalamannya Tati menilai adanya persepsi bahwa makanan Indonesia di Negeri Kangguru masih belum mencapai standar yang bisa dicapai oleh negara tetangga, misalnya Maysia, Thailand dan Vietnam. Untuk itu, Tati berharap ada campur tangan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan promosi kulinari tradisional bangsa.

Dari sisi pecinta makanan, salah satu cara yang ia rasa dapat dilakukan adalah menggunakan kekuatan sosial media, yakni dengan mengedepankan konten yang dapat mengajarkan bagaimana cara membuat dan menikmati masakan Indonesia. “Many people ask me to teach Indonesian food, the more people know the process of making Indonesian food, the more interested people will go there and eat Indonesian food … you can’t believe what Instagram can do to your business, it’s amazing,” ucap Tati. “… it’s a very good tool for marketing, you don’t need to spend a lot of money,” tambahnya lagi.

Kendati demikian, tentunya harus lebih seksama dalam pemilihan material promosi. “Anda harus mengetahui market Anda. Misalnya saja, mengajarkan cara masak makanan Manado tidak seperti apa yang disukai orang Manado, karena itu sangat pedas… Harus menyesuaikannya dengan lidah konsumen di Australia.”

Hadirin berkesempatan mencicipi rempeyek buatan Tati yang menjadi viral

Rempeyek “Tati’s Spice Kitchen”

Setelah menjadi viral dan mendapatkan banyak pertanyaan di akun Instagramnya tentang bagaimana orang bisa membeli rempeyek buatannya, Tati pun akhirnya memutuskan untuk mulai menjual rempeyek yang dibuat dengan resep yang ia pelajari dari neneknya.

Kesempatan berkumpul di The Uleg pun tidak disia-siakan. Rempeyek buatan Tati yang ia beri nama tersedia untuk para anggota ICAV seraya menyantap menu-menu spesial, termasuk Iga Bakar saus Kacang dan Balado, Pepes Tahu dan banyak lagi.

Dengan tekstur yang renyah serta tak terlalu berminyak, banyak penggemarnya yang sudah menantikan kehadiran rempeyek “Tati’s Spice Kitchen”. Akan tetapi Tati mengatakan pihaknya masih harus menyiapkan packaging, label, dan lain sebagainya. Patut disimak kapan Tati’s Spice Kitchen akan rilis, pastinya akan memberikan tambahan selera dalam menyantap makanan sehar-hari.


Apa Kata Mereka

Oke Sumantri, pengusaha food trailer The Bunda & ICAV member

Sudah di bisnis kuliner mau masuk 5 tahun. Awalnya dari coffee, dari coffee mix ke makanan, dan sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu baru full ke makanan. Kalau harapan untuk kuliner Indonesia, karena ada berdirinya ICAV ini, kita memang targetnya meningkatkan, mau entah restoran atau entah food truck/trailer, untuk banyak untuk ikut jadi business owner. Memang restoran di sini banyak, cuman untuk bisnis trailer gitu kayaknya masih kurang. Mereka juga butuh lebih variasi. Paling common sate rendang gitu. Tapi mereka butuh yang lain, misal nasi bakar, batagor.

Heri Febriyanto, Indonesia Diaspora Network & ICAV member

ICAV awalnya itu didirikan sebagai satu wadah untuk para aktifitas kuliner di Victoria, untuk bisa share experience juga, dengan ada kumpul – kumpul, kita juga mencoba untuk expand dengan mewadahi para chef yang ada di Victoria, di Melbourne. Intinya kita mencoba mempererat persatuan itu sambil tentunya tidak mengurangi rasa mengcreate suatu bisnis karena sampai saat ini kan beberapa pengusaha ataupun restoran di Indonesia itu agak sedikit struggle ya. Dalam menghadapi era globalisasi, tentunya dengan derasnya makanan dari Jepang, Korea, China, kenapa kita tidak bisa cari formula yang unik. Dengan yang khas Indonesia, kita encapsulate dengan product high end, artinya suatu Indonesian product seperti yang Tati bikin ini, diramu dengan suatu proses yang sifatnya bukan lagi tradisional, tapi lebih ke arah modernisasi. Seperti memanfaatkan jaringan misal dari medsos. Kita sesama berkumpul demi itu. Harapan kedepannya kuliner Indonesia bisa mencapai lebih populer dibanding dengan katakanlah, culinary dari Thailand, Malaysia, kita harus bisa lebih compete. Untuk bisa mencapai itu kita gak bisa berdiri sendiri, kita perlu adanya kerjasama dari kawan kawan yang lain untuk bisa mewujudkan cita – cita seperti itu.

Denis