Bahasa Indonesia adalah sebuah hasil dari evolusi Bahasa Melayu yang diwacana pada Kongres Pemuda I di tahun 1926 menjadi akar mula bahasa nasional Republik Indonesia. Bahasa ini menjadi bahasa yang mempersatukan nusa dan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Bahasa ini diciptakan atas dasar betapa mudahnya bahasa ini untuk diajarkan dan dipahami. Namun, pada kenyataannya bahasa ini telah mengalami penurunan besar dalam jumlah orang yang tertarik untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Masalah ini telah menjadi krisis yang paling diprioritaskan oleh para guru Bahasa Indonesia di Victoria dalam konferensi tahunan VILTA kali ini.

VILTA adalah sebuah komunitas guru-guru Bahasa Indonesia di daerah Victoria yang dikelola oleh anggota-anggota komite sukarelawan sejak tahun 1970. VILTA menjadi rumah bagi para guru-guru Indonesia ini untuk saling mengikat jaringan, saling belajar akan metode-metode pengajaran terkini hingga pembelajaran budaya Indonesia serta hal-hal lain yang berkaitan dengan komunitas Indonesia. VILTA setiap tahunnya mengadakan konferensi tahunan dengan membahas semua perihal di atas sekaligus mencari solusi menanggulangi penurunan daya tarik Bahasa Indonesia.

“VILTA telah berkembang dengan begitu baik dan telah menjadi organisasi yang cukup besar dikarenakan beberapa banyak anggota baru yang bergabung dengan kami. Begitu disayangkan bahwa dengan segala usaha yang kita taruh dalam mempromosikan VILTA banyak dari sekolah-sekolah yang guru-guru ini berasal tidak memberikan izin bagi guru-guru Bahasa Indonesia mereka untuk menghadiri konferensi ini,” ujar Wakil Presiden VILTA Astrid Dux.

Wakil Presiden VILTA Astrid Dux

Tetapi hal yang disebutkan di atas bukan menjadi satu-satunya permasalahan krisis popularitas pengajaran Bahasa Indonesia di Victoria. Salah satu alasan utama lain yang ditemukan adalah misrepresentasi yang salah akan Indonesia yang dibawakan bersama semua citra buruk yang datang bersama liputan media yang buruk.

“Saya merasa bahwa situasi ini adalah sebuah representasi dari pepatah yang mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Persepsi publik pada sesuatu saat ini begitu bergantung pada apa yang media katakan. Anak-anak yang masih belum memiliki pemahaman kuat akan berita pun dipengaruhi oleh orang tua mereka yang kian dipapaskan oleh begitu banyak berita mengenai Indonesia,” jelas Silvy Wantania selaku Presiden VILTA dalam membahas permasalahan ini.

Silvy mengisahkan bagaimana Bahasa Indonesia pada abad 80 dan 90 berada pada titik puncaknya dengan begitu banyak sekolah dari luar berkunjung ke Indonesia dan pengajaran Bahasa Indonesia dari tingkat TK hingga universitas selalu ramai. Tetapi, sejak peristiwa bom Bali, Bahasa Indonesia mulai mengalami penurunan yang drastik hingga mengalami kesulitan untuk mengalami kenaikan dan kepopuleran Bahasa Mandarin pun meroket.

“Maka dari itu kita harus mempertahankan kenaikkan perhatian mereka akan Bahasa Indonesia ini. Terutama mereka yang remaja sehingga ketika mereka beranjak ke tingkat Universitas, ketertarikkan mereka akan Bahasa Indonesia tetap kuat dengan berbagai program seperti United Nations Forum atau pertukaran pelajar,” tambah Silvy.

Presiden VILTA Silvy Wantania

Menganjurkan solusi tambahan terhadap permasalahan ini, Konsul Jendral Indonesia Spica Tutuhatunewa mengusulkan kepada para guru untuk dalam proses pembelajaran sembari menyoroti persamaan positif dari para siswa Indonesia dan Australia. Dengan begitu mereka akan termotivasi untuk saling memelihara persahabatan yang dapat membuka peluang kerja sama di masa depan. Ia mengatakan bahwa dua persamaan terbesar yang dimiliki baik oleh anak-anak muda Indonesia dan Australia adalah bagaimana kedua merupakan generasi digital dan generasi kreatif.

“Sebagai generasi digital, anak-anak muda kini sangatlah cepat dalam menangkap teknologi-teknologi terbaru. Mereka sangatlah pintar dalam memahami media sosial, smartphone, internet, animasi, dan yang paling terutama adalah game. Industri gaming merupakan industri yang bernilai miliaran dolar, maka dari itu tidaklah salah bahwa perusahaan-perusahaan yang berkutat dalam bidang ini berhasil mengikat hati murid-murid Anda. Dengan persamaan kedua generasi ini memiliki pemikiran yang kreatif, inovatif, dan penuh ide, kita sebagai guru harus bisa memanfaatkan dua karakteristik ini dalam mengajar. Bagaimana kita bisa memfasilitasi para murid dengan pembelajaran yang menggunakan keseruan dari permainan game juga kreativitas,” jelas Konjen Spica.

Konferensi VILTA pada tahun itu juga disambut dengan kehadiran Joel Backwell yang merupakan Executive Director of International Education. Dalam pidatonya ia mengekspresikan bagaimana ia yang pernah hidup di Bandung turut prihatin akan krisis yang melanda Bahasa Indonesia ini. Ia menyoroti program bridge antar sekolah yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah ini. Program bridge adalah sebuah sistem komunikasi yang dapat membangun hubungan persaudaraan antara tidak hanya sekolah di Victoria yang belajar Bahasa Indonesia untuk saling membantu, tetapi juga dengan banyak sekolah di Indonesia. Hal ini diamini Silvy. Ia mengakui bahwa anak-anak menjadi begitu senang untuk menjalin hubungan terutama dengan anak-anak sekolah di Indonesia.

Pertemanan lalu tercipta dengan dasar persamaan yang mereka miliki; lagu-lagu favorit yang sama, film-film favorit yang sama, tren-tren sosial media favorit yang sama pula.

Semua guru Bahasa Indonesia dari seluruh penjuru Victoria datang untuk mencari cara paling tepat dalam mengajarkan bahasa ini kepada murid-muridnya di sekolah. Bahkan Silvy yang menemukan gairah dan cinta dalam mengajar Bahasa Indonesia kepada anak-anak pun turut hadir sembari mendukung para hadirin hari itu. Berbagai metode seperti quiz-quiz kecil menyenangkan yang menguji kekayaan kosakata Bahasa Indonesia para murid hingga memanfaatkan teknologi rekaman suara dalam membuat buku audio untuk melatih para murid akan pelafalan mereka. Semua dipersiapkan dan dipersembahkan oleh setiap pembicara untuk para guru yang hadir. Semua demi meningkatkan kepopuleran Bahasa Indonesia.

“Saya berharap bahwa kaula muda Indonesia juga dapat membantu progress pengembangan Bahasa Indonesia ini dengan lebih membiasakan diri berbicara dalam Bahasa Indonesia. Meningkatkan penggunaan Bahasa Indonesia melalui sosial media juga,” harap Silvy.

Apa Kata Mereka?

Claire Bradbury
Guru Bahasa Indonesia

Ketika saya masih bersekolah, kira-kira pada masa saya pada tingkat SMA, saya menemukan guru Bahasa Indonesia saya sebagai sosok yang begitu inspiratif. Terlebih lagi saya menyadari bahwa memang Indonesia merupakan tetangga Australia jadi menurut saya penting untuk mempelajari mengenai negara Indonesia juga bahasanya pada jenjang universitas.

Semakin saya mempelajari Bahasa Indonesia semakin saya tertarik akan bagaimana kebudayaan para masyarakat di Indonesia terutama kuliner Indonesia hingga saya pun mendapatkan kesempatan untuk menjalani pembelajaran di Indonesia. Maka, saya rasa konferensi ini perlu diadakan agar guru-guru ini bisa mencari cara menanamkan cinta itu terhadap murid-muridnya.

Harry Knock
Guru Bahasa Indonesia

Saya mempelajari Bahasa Indonesia ketika masih duduk di bangku SD dan pada saat itu pula tidak begitu tertarik dengan bahasanya. Tetapi beranjak SMA, saya berpikir bahwa mempelajari bahasa asing dan memiliki kemampuan untuk menjalin pertemanan dengan orang asing sembari berbicara dalam bahasa mereka terdengar begitu keren. Jadi ketika SMA saya memberikan kesempatan kepada saya untuk mempelajari bahasa asing, saya mengambil Bahasa Indonesia kembali karena saya sudah memiliki dasar pembalajaran Bahasa Indonesia sejak SD. Mulai dari itu saya mulai jatuh hati pada tata bahasa Indonesia hingga kultur Indonesia terutama film dan lagu Indonesia. Dari situlah timbul keinginan saya untuk mengajar Bahasa Indonesia. Sebagai salah satu anggota komite VILTA juga saya berharap VILTA mengangkat kembali popularitas Bahasa Indonesia dan melestarikannya di sekolah-sekolah di segala penjuru Indonesia.

Bintang