Bersamaan dengan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober silam, Social Researchers Forum (SRF), sebuah forum yang berasal dari Monash University kampus Clayton, Melbourne, mengadakan acara peluncuran buku yang diberi judul Berlayar: Perjalanan Mahasiswa Indonesia Meraih PhD. Sebanyak 20 penulis dari fakultas dan universitas berbeda mencurahkan pengalaman mereka ke dalam buku tersebut.

“Ide untuk buku ini diawali dari pertemuan 2 mingguan yang diadakan di Monash, untuk sebenarnya menampung keluh kesah teman-teman yang sedang mengerjakan perjalanan PhD sendirian. Kita adakan forum itu untuk sharing, jadi kan uneg-uneg keluar, bisa tertawa bareng, jadi kita nggak terlalu stres. Nah karena kita per 2 minggu itu temanya apa? Jadi kita mulai pikirkan temanya tiap pertemuan. Nah dari sini kita ingin knowledge ini dilestarikan, jadi muncul ide dan keputusan untuk dibuat menjadi buku,” papar Gatot Soepriyanto, Binus University, PhD on Accounting, penerima beasiswa Australia Partnership Scholarship (APS) dan Australia Development Scolarship (ADS), salah satu penulis buku dan pembicara yang hadir pada acara hari itu.

Pemotongan tumpeng untuk kesuksesan peluncuran 'Berlayar'
Pemotongan tumpeng untuk kesuksesan peluncuran ‘Berlayar’

Kendati demikian, ketika mereka memutuskan untuk membuat buku dengan melibatkan 20 orang itu tidak mudah, karena masing-masing memiliki kesibukan sendiri, adanya tanggal deadline yang harus ditemui, dan permasalahan gaya menulis yang berbeda-beda. “Tetapi kemudian kita berhasil satukan dan bantuan dari Monash juga luar biasa. Dari mulai bukunya, publikasinya, sampai pada acara yang di Jakarta dan di sini di-support sama mereka,” tambahnya.

Berlayar: Perjalanan Mahasiswa Indonesia Meraih PhD terdiri dari 4 bagian. Bab pertama mengangkat cerita mengenai persiapan para penulis untuk mengambil gelar PhD, mencari-cari beasiswa, kemudian bertanya kepada diri mereka apakah mereka memerlukan PhD atau tidak. Bab kedua adalah ketika mereka diterima untuk menjalankan PhD serta usaha mencapai ujian proposal. Selanjutnya, bab ketiga adalah mengenai ujian proposal hingga selesai. Dan bab terakhir berisikan pengalaman para penulis setelah menyelesaikan PhD dan kembali ke Tanah Air dimana terkadang mereka kembali membutuhkan penyesuaian dengan beberapa kebiasaan yang telah membudaya.

Acara dimulai dengan kata sambutan dari Dewi Savitri Wahab selaku Konsul Jenderal untuk Victoria dan Tasmania, lalu dilanjutkan ke Author’s Talk dengan 3 penulis buku Berlayar, yaitu Gatot, Endah Sri Rejeki; pegawai kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, sekaligus PhD on Human Geography, dan Gede Primahadi; Dosen Universitas Udayana, PhD on Linguistic dan penerima beasiswa Monash IPRS (International Postgraduate Research Scholarship).

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Denny Indrayana bersama ibu
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Denny Indrayana bersama ibu

Pada kesempatan yang sama, diadakan pembahasan buku, dengan para pembicara yang khusus diundang untuk acara tersebut, Prof. Denny Indrayana; mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sekaligus mantan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dan Dr. Max Richter, Senior Research Fellow, Australia-Indonesia Centre Energy project, Monash University.

“Sudah agak lama teman-teman yang menginisiasi ini mengundang saya, mungkin 2 bulanan yang lalu saya kemudian diminta untuk menjadi pembahasnya. Karena memang inisiatifnya bagus kan. Menulis buku itu penting, jadi pada saat saya diminta hadir, jadi kehormatan juga untuk saya ikut diskusi, ikut berbagi pengalaman. Menurut saya bukunya sendiri bagus, kita butuh lebih banyak menulis, karena budaya membaca kita masih sangat rendah. Buku semacam ini juga sangat penting karena setiap orang yang datang pasti punya persoalan yang sama, jadi pengalaman dari pihak-pihak sebelumnya mengenai bagaimana menghadapi masalah-masalah itu pasti sangat bermanfaat,” papar Prof. Denny Indrayana.

Acara berlanjut dengan diadakannya sesi tanya jawab, yang diikuti dengan pemotongan pita bersama Dr. Max Richter, pemberian door prize kepada beberapa peserta, sekaligus pemotongan nasi tumpeng. Peserta juga kemudian dibagi menjadi 3 grup untuk kesempatan berbincang dengan para penulis yang datang.

Endang Surjaningrum
Endang Surjaningrum, salah seorang penulis

“Kita adakan acara ini untuk mendorong percepatan buku ini dikenal sama teman-teman, itu adalah tujuan acara ini. Saya kira baru kali ini sebuah event digarap sama banyak grup. Kita tidak terlalu bedakan panitia sama peserta, karena pesertanya pun kebanyakan anak-anak yang sedang ambil Masters. Jadi jumlahnya hampir sama. Kecairan ini saya anggap membuat acara ini jadi sukses, dari segi kuantitas oke, dan dari segi unsur dari mana-mana saja yang datang oke, termasuk yang tidak terduga juga yaitu dukungan dari Monash sendiri. Datang tiga orang yang satu memang pembicara, dan yang dua itu officer. Itu di luar rencana, kami tidak menyangka,” ungkap Edi Riyanto selaku ketua panitia.

BUSET berkesempatan menemui Endang Surjaningrum, PhD Public Health, salah satu penulis Berlayar: Perjalanan Mahasiswa Indonesia Meraih PhD mengenai pengalamannya mengejar gelar PhD di Melbourne University, tetapi dapat mengikuti SRF karena tempat tinggal sang suami. “Suami saya tinggal di Clayton, sementara saya kuliahnya di Melbourne University kan agak jauh ya, jadi nggak bisa tiap minggu kesana. Tetapi sebagai mahasiswa PhD saya merasa perlu adanya tempat untuk belajar, makanya kemudian ada tempat itu, saya juga biasa ngumpul sama teman-teman Monash, jadi saya ikutan diskusi-diskusi itu.”

Endang juga berkata bahwa ia mempelajari mengenai proses mengikuti program PhD dari perkumpulan tersebut. Maka saat ada ide membuat buku, ia setuju untuk menceritakan tentang pengalaman berdasarkan yang ia alami. “Termasuk kebingungan yang saya alami. Psikologi kan cenderung micro cara pandangnya, tetapi kemudian pembimbing menyarankan saya ambil cara pandang yang harus macro, ini yang merupakan titik kejutan untuk saya. Karena seperti adanya dualisme di dalam diri saya, jadi proses dialog itu yang saya angkat,” akunya.

Lain halnya dengan Lara Fridani yang mengambil program PhD jurusan pendidikan anak usia dini. “Sebenarnya saya termasuk yang ikut di pertengahan kemudian nggak muncul lagi, terus muncul lagi, karena waktu itu saya sudah mau proses selesai, kemudian saya tidak bisa seaktif teman-teman karena saya punya anak. Dan anak saya sakit eczema berat jadi selama satu tahun lebih itu memang perawatan, jadi bolak balik rumah sakit. Kalau dibandingkan teman-teman (SRF) itu saya nggak serajin mereka,” sesalnya.

Kendati tidak memiliki komitmen yang sama dengan teman-teman seperjuangannya yang belum memiliki anak, Lara terus mengejar mimpinya sekaligus sangat senang saat diajak kolaborasi. “Kan kalau teman-teman menulis mengenai akademik, nah justru saya malah mengambil poin yang non-akademiknya. Setiap kuliah saya memang selalu punya anak. Waktu selesai S1 anak saya dua, ketika S2 kesini juga saya hamil lagi, terus sempat 8 tahun di Indonesia saya nggak lanjut kuliah. Nah saat mau lanjut kuliah S3, anak saya kan sudah besar-besar, jadi saya pikir mungkin saya bisa fokus belajar. Ternyata malah punya anak lagi yang terakhir,” ujarnya geli.

Hebatnya, ia tidak mengambil cuti hamil sama sekali dan tetap menjalani proses pembelajaran akademiknya menurut rekomendasi pembimbingnya yang yakin ia bisa menyelesaikannya tanpa mengambil waktu cuti tersebut. “Jadi saya sambil jalan terus saja. Saya selesaikan tugas-tugas saya, saya datang ke kampus saat harus ke kampus, terus dengan berbagai kendala yang saya alami, setelah 4 tahun baru saya selesai dan berhasil mendapatkan gelar PhD saya,” tutupnya bangga.

Ketua panitia acara, Edi Riyanto
Ketua panitia acara, Edi Riyanto 

 

 

 

** APA KATA MEREKA **

(dari kiri): Luqmanul, Vicca, hidayatullah,siti
(dari kiri): Luqmanul, Vicca, Hidayatullah,Siti

 

 

Siti Nurkhasanah
Master of TESOL, LPDP (lembaga pengelola dana pendidikan) Monash University Awardee

Acaranya menarik sekali. Pertama, kalau saya pribadi sebagai mahasiswa Monash yang sedang studi Master, saya memiliki mimpi untuk lanjut PhD juga jadi acara ini sangat membuka wawasan, insight kepada perjuangan para kandidat PhD, yang juga orang Indonesia, jadi bisa belajar sebagai bekal.

Kalau untuk peserta, saya lihat dari acara-acara yang lain, cukup besar jumlah yang datang, tapi menurut saya apakah mungkin sosialisasi acaranya terlalu mepet apa kurang promosi, dalam arti penyebaran medianya untuk acara ini masih kurang atau bagaimana, tapi memang hari ini saya lihat acaranya nggak penuh di KJRI, kan sayang banget karena acara ini sangat bermanfaat, terutama untuk anak muda yang di Melbourne, tapi mereka nggak tahu adanya acara ini. Mungkin kedepannya agar acara ini diperbanyak publikasinya.

 

Hidayatullah Yunus
Master of TESOL, LPDP Monash University

Acaranya sangat mengesankan, inspiratif, karena memberikan manfaat juga sama saya, saya kan masih semester pertama Master, masih nyari-nyari bagaimana kedepannya. Nah acara kayak gini membantu saya untuk menerawang apa saja yang bisa saya lakukan nanti. Karena saya punya strong will untuk mencapai PhD, jadinya acara ini membantu saya lebih banyak.

Mungkin kedepannya lebih banyak waktu untuk Q&A, karena lebih banyak diskusi lebih bagus, sehingga teman-teman yang punya banyak pertanyaan bisa diwadahi dengan sesi tanya jawab tersebut.

 

Vicca Maria
Master of Education, LPDP Monash Univeristy Awardee

Menurut saya acaranya bagus untuk kita yang Master, kebetulan saya sudah semester terakhir, jadi bagus untuk misalkan mau ambil PhD nanti gimana langkah-langkahnya. Ini seperti gambaran dan penguatan untuk mengambil PhD dengan persiapan matang.

Untuk kedepannya mungkin promosinya dibanyakin, tetapi tergantung respon dari masyarakat Indonesia di sini juga, S3 kan karena dianggap tidak terlalu penting, jadi mereka memilih untuk tidak datang di acara ini, sementara kelihatannya orang-orang yang datang kesini mungkin memang orang yang serius untuk ambil PhD.

 

Luqmanul Hakim Muttaqin
Master of Education in Inclusice and Special Education, LPDP Monash

Acaranya menarik dan informatif, saya juga sekarang sedang Master dan dilihat-lihat kayaknya jenjang karirnya juga bakal jadi akademisi, jadi kemungkinan bakal ngambil PHD. Salah satu cara untuk mengetahui seperti apa sih kehidupan PhD yang sebelum-sebelumnya, jadi kan bisa belajar dari mereka, bagaimana keluh kesah mereka.

 

 

Sasha