Dalam edisi kali ini ada beberapa artikel mengenai Bundengan – sebuah alat musik langka dari Wonosobo yang menjadi bintang utama dan inspirasi terselenggaranya pagelaran seni The Sound of Shadows: Entree di Aeso Studio Brunswick pada awal Februari kemarin.

dari kiri: Luqmanul Chakim, Rosie Cook, Mulyani, Bianca Gannon, Said Abdullah, Jumaadi

Di dalam ruangan kecil yang gelap, empat orang penonton yang masing-masing duduk di bawah satu Bendungan menyaksikan bayangan 60 bingkai wayang kulit yang ditampilkan di dinding. Gambar-gambar tersebut mengisahkan kegiatan sehari-hari masyarakat kelas menengah di Jawa Tengah yang hidup dengan alat musik tersebut.

Berbeda dengan alat musik gendang yang biasa ia mainkan, Bianca Gannon yang adalah komposer musik dan gamelan melihat Bundengan sebagai alat musik yang spesial karena memerlukan intimasi untuk bisa didengar dengan baik.

“Inspirasi terpenting dari acara ini adalah Bendungan yang dapat menimbulkan kesan terbaik bila didengar dari sangat dekat. Melalui acara ini, saya ingin menciptakan suatu pengalaman yang sangat intim dimana penonton dapat mengalami kedekatan pribadi dengan resonansi bunyi yang dikeluarkan alat musik tersebut,” ujar Bianca.

Meski merupakan sebuah alat musik tradisional, dalam acara tersebut Bianca menambahkan variasi alunan musik kontemporer dalam aransemen musik Bendungan untuk menciptakan dialog antara kebudayaan Indonesia dengan Australia.
“Walaupun Bundengan biasanya dimainkan secara sendiri-sendiri, di kesempatan ini kami memainkan kedua instrumen secara bersamaan dan dengan bantuan pemusik Said Abdullah dan Luqmanul Chakim, kami dapat menemukan nada yang lebih bervariasi dan hal-hal baru dari sebuah alat musik tradisional.”

Bianca mengatakan bahwa acara ini bermula dari ketertarikannya pada Bundengan setelah diperkenalkan oleh seorang konsevator bernama Rosie Cook yang juga membuat tesis tentang alat musik ini. Setelah belajar bermain dan bertemu langsung dengan masyarakat Wonosobo yang memainkan instrumen tersebut, Bianca membulatkan tekad untuk mengadakan sebuah pagelaran seni yang terwujud dengan sukses hari itu.

Demi menambah nilai seni dari pertunjukan tersebut, ia mengundang seniman Indonesia di Sydney bernama Jumaadi untuk turut menyumbang karya. Jumaadi menampilkan seni wayang yang terinspirasi dari pengalamannya saat turun langsung ke tanah Wonosoboo. Sebagai seorang seniman, ia memang suka menemukan ide melalui pengalaman bertatap muka dengan objek seninya. “Kita menjadi penyaksi dari suatu peristiwa dan nuansa. Terlalu nyaman kita kalau hanya asyik di studio melukis. Kalau saya sih melihatnya harus secara fisik, secara jasmaniah dan bukan hanya dari media. Pengalaman itu bisa diserap lewat tubuh akhirnya.” jelas Jumaadi.

Ia berharap melalui The Sound of Shadow: Entrée, akan muncul lebih banyak inspirasi untuk acara utama mereka di bulan Desember 2018.

Setelah mengetahui keunggulan Bendungan, Jumaadi berpendapat bahwa instrumen langka tersebut adalah unik dan perlu dikenal oleh khalayak luas. “Bendungan merupakan sebuah pengetahuan baru luar biasa yang kita tidak pernah tahu sebelumnya. Sangat otentik sekali bentuknya, bunyinya, permainannya, hingga peristiwa kebudayaan di lokasinya.”

Menurutnya, gamelan yang sudah mulai dikenal secara luas bukan satu-satunya alat musik Indonesia yang perlu rekognisi dunia. Bianca Gannon merasa bangga akan tanggapan dan respon penonton terhadap acara yang memiliki tujuh waktu tampil hari itu. Menurutnya penonton berhasil terhanyut dalam suasana yang digambarkan melalui alunan lagu dan tayangan visual kehidupan di Wonosobo.

Ia secara khusus mengucapkan terimakasih kepada para seniman yang tampil terutama pemusik Said Abdullah dan Luqmanul Chakim dan pelakon Mulyani yang telah membantu tanpa pamrih dan datang jauh dari Wonosobo.

Bianca berharap agar bersama-sama mereka dapat memperkenalkan alat musik langka nan unik yaitu Bundengan kepada lebih banyak orang.

 

***

APA KATA MEREKA

 

NICOLE TSE, 49
Dosen dan Peneliti di University of Melbourne

I thought it was very mesmerizing sort of experience. It’s not conventional sort of concept at all, so you’re not sure what direction it’s going to go or what the story is, especially if you’re close by the Bundengan, you’re in a very intimate space, your own intimate space, and a larger intimate space. The intimacy is sort of transfixed by the roving sounds and the instrument itself is so powerful. They look so simple but the sound they produce is actually very solid. And if you look at the instrument you think, “oh, how do something so simple make that type of sound?”

I know this event because I’m from the University of Melbourne and we have a collaboration with Monash University. It’s Margareth Pettuni who actually brought one of these Bendungan instruments maybe 20 years ago or so, and she took it to Monash University, and then for a long it’s been in the archive. She’s been thinking oh what is it, it’s never been performed or anything, and so she wanted to have it conserved so I came to a lab in University of Melbourne and then we conserved it. Fortunately at the time I had Rosie Cook, she’s actually behind those project and she worked on it, and then I think she became so attached and excited by the instrument and ended up doing her thesis on the instrument.

That was really nice to see the Bendungan mixed with the puppets and the gongs, it’s like the new reading of the dark theatre. It’s great. And I was just thinking how many shows do they do..  they must get really tired.

For the feedback, I think many people should come to the occasion.

 

PALMER KEEN, 29
Peneliti Etnomusikolog

Pertunjukan ini saya tahu karena sudah lama saya dengan alat musik Bundengan ini. Karena saya merupakan pendamping Rosie yang pernah meneliti Bundengan di Wonosobo. Jadi saya sudah dekat dengan grup ini, sudah beberapa tahun. Dan saya jadi pembicara tentang alat musik ini di Monash. Kemarin di Sydney mereka ada latihan, saya juga ada di sana, jadi saya juga ikut latihan.

Saya orang musik. Jadi mungkin kalau tentang wayang saya kurang tahu tapi saya suka lihat alat musik tradisional yang dipakai dalam konteks yang lebih eksperimental. Karena jarang sekali orang di Jawa berani untuk pakai alat musik dalam konteks seperti ini (kontemporer). Biasanya hanya berani main musik tradisional dan tidak berani main lagu baru.

Saya suka pertunjukan ini, alatnya cocok untuk dikombinasikan dengan wayang oleh Jamaadi. Jadi bagus dan unik sekali.

 

SAIFUL BAKHRI, 25
Mahasiswa S2 Culture Materials Conservation University of Melbourne

Saya tahu acara ini dari Rosie langsung karena jurusan saya yaitu Master of Culture Material Conservation. Rosie sudah lulus dan saya baru tahun kedua. Kenalnya karena Rosie tesisnya tentang Bundengan dan Nicole Tse mengenalkan kita lewat email. Acara ini pun sebenarnya adalah follow up dari tesis dia yang terus berkembang.

Acara ini sangat keren. Kontemporer. Jumaadi itu luar biasa, Bianca juga luar biasa. Karena kontemporer, story-nya mungkin kalau sekali lihat gak bakal ngerti, tapi overall tentang Bumi yang tidak stabil terus ada manusia yang membantu menstabilkan. Gak stabilnya itu karena monster atau raksasa.

Feedbacknya adalah lebih banyak performance. Karena ini kan sangat limited, hanya empat orang satu pertunjukan, tapi kedepannya mungkin bisa dikembangkan karena ini sangat bagus dan sangat intimate. Karena juga alat musiknya sangat langka.

 

TIMO, 8

The show is really good. I like the shadow puppets. I also like the music and it’s so interesting because I’m studying Indonesian at school.

 

 

 

 

Nasa