Tentu julukan “Princess of Bundengan” yang disematkan kepada Rosie Cook bukan olok-olok. Melainkan sebentuk apresiasi terhadap keuletannya memboyong alat musik tradisional yang nyaris tak terdengar lagi ini hingga ke Australia. Bahkan dengan diperkenalkannya instrumen bundengan ke Negeri Kangguru, gemanya bisa sampai kembali ke Tanah Air. Bagaimana bisa? Jawabannya karena kekuatan media sosial.
Menurut Rosie, yang ditemui Buset setelah acara Bundengan: The Music of Wonosobo di KJRI Melbourne beberapa waktu lalu, saat ia mulai menelaah Bundengan sekitar dua tahun lalu, ia hanya menemukan enam unggahan (posts) di media sosial lewat tagar #bundengan. Kini ada sekitar 400an lebih tagar #bundengan bertebaran di jagat maya. Hal itu pulalah yang memudahkan perempuan bernama lengkap Rosie H. Cook berkenalan lebih jauh dengan bundengan hingga ke Wonosobo. “Tagar (hashtag) memudahkan kita membangun arsip,” ujarnya.
Enggan Bersentuhan dengan Bundengan
Ketika disodori kesempatan untuk merestorasi alat musik kowangan (sebutan lain untuk bundengan) dari tahun 1971 yang merupakan koleksi dari Margaret Kartomi dan suaminya, Hidris Kartomi, Rosie mengaku tidak terlalu yakin apakah ia mau melakukannya. Ia mengenang, kowangan yang ada di the Music Archive of Monash University (MAMU) berada pada posisi tengkurap dan ia membayangkan ijuk hitam yang mengikat rangka bambu itu seperti rambut. Masih segar dalam ingatan, 15 Februari 2016, sehari setelah Hari Kasih Sayang, ia bertatap muka dengan instrumen musik langka berbentuk “aneh” dari Wonosobo.
Sama halnya jika cinta tak selalu hadir pada pandangan pertama, ketertarikannya perlahan-lahan tumbuh. Ia mulai mencari-cari informasi lewat mesin pencari google dan menemukan potret keseluruhan bundengan dari sana. “Ketika saya mengetik tagar #bundengan, ternyata saya melihat Said (Said Abdullah, seniman bundengan yang turut hadir pentas di Melbourne dan Sydney) mengunggah topik tentang bundengan. Saya langsung berpikir, wah ada orang yang membicarakan alat musik ini,” papar perempuan yang di tahun 2016 berhasil lulus meraih gelar Master untuk program studi Cultural Materials Conservation dari University of Melbourne dan memenangkan Alexander Coplan Award untuk Best Conservation Minor Thesis untuk studinya mengenai bundengan ini.
Membangun Koneksi dan Memori Sosial
Risetnya soal bundengan membawanya ke kabupaten yang terletak di dataran tinggi Dieng, Wonosobo – tempat asal instrumen musik dari bambu ini. Dari usahanya menelusuri sejarah dan transformasinya menjadi bundengan yang dikenal sekarang ini, bagaimana memperkuat anatomi bundengan yang terbilang rapuh karena terbuat dari bambu, dan berbagai dimensi lainnya, rupanya Rosie juga berhasil membangun koneksi dengan penduduk sekitar. Dari pertemanannya dengan para pelestari bundengan lokal, perjalanannya bersama bundengan tak hanya berakhir pada sisi akademis berwujud konservasi dan penelitian. Rosie turut membuka pintu koneksi agar bundengan semakin didengar dan diapresiasi.
“Tidak masalah jika saat pentas, alat musik bundengannya tiba-tiba jatuh. Biarkan sebagaimana adanya karena itulah yang akan dikenang seseorang. Saya berusaha membangun social memory dan social meaning,” serunya. Setelah rangkaian pentas, simposium, dan workshop bundengan yang dilakukan di Sydney dan Melbourne pada Februari lalu telah jadi bukti bahwa rekoleksi memori yang ditinggalkan bundengan tak surut begitu saja.
Rosie menyebutkan ada banyak pertukaran ide, kemungkinan kolaborasi lintas disiplin seni, juga undangan ke negara-negara lain. “Akan ada banyak pentas di Wonosobo. Bu Mulyani akan pentas dengan 100 bundengan di bulan Maret dan akan pentas dengan 200 bundengan di bulan Oktober di sana,” ungkapnya bangga. “Dari dunia akademis juga semakin banyak akademisi meneliti alat musik ini, sehingga lebih valid lagi. Banyak musisi yang tertarik untuk berkolaborasi. Banyak juga yang bilang bahwa akan sangat bagus untuk dipelajari di sekolah karena anak-anak mungkin akan tertarik melihat dari bentuknya, masuk ke dalam bundengan dan memainkannya. Walau bundengan sulit dimainkan tapi mudah menarik minat,” lanjutnya.
Lewat The Making Connections Project yang digagasnya, Rosie ingin meneruskan pembicaraan tentang bundengan agar tidak terputus. Ia berpesan agar semangat pelestarian bundengan di media sosial terdokumentasi dan terawat, maka jangan lupa membubuhkan tagar #bundengan atau #bundenganconnection setiap kali Anda ingin mengunggah tentang instrumen musik langka asal Wonosobo ini.
Deste
Foto: WinduKuntoro