Bagi yang kenal dengan sosok Dewi Lestari, atau kerap disapa Dee, pasti pernah membaca atau setidaknya pernah menonton film yang diadaptasikan dari beberapa karya bukunya. Beberapa karyanya termasuk series bernama Supernova yang berjalan dari 2001 hingga 2016, Filosofi Kopi, yang baru dirilis pada 2018 yaitu Aroma Karsa, dan lain -lain.

Hadir di acara bertajuk “A conversation with Dewi Lestari: Creative Ecosystem in Indonesia” yang diselenggarakan oleh Herb Feith Indonesia Centre di Monash University Clayton, Buset Magazine berkesempatan berbincang dengan Dee yang membagikan pengalamannya sebagai seorang penulis. Namun sebelum fokus dalam dunia menulis, Dee mendalami karir dalam industri musik.

Seiring menjalankan karir dalam industri tersebut dimana ia menjadi bagian trio vokal Rida Sita Dewi (RSD) yang juga beranggotakan Rida Farida dan Sita Nursanti, ibu dari dua anak ini juga masih kerap menghasilkan karya tulisan, dan dalam masa itu hasil kumpulan cerita pendek dan prosa selama satu dekade dari 1995 hingga 2005, yang kemudian dikompilasikan dalam buku berjudul “Filosofi Kopi” pun direalisasikan.

They knew. Mamaku adalah salah satu pembaca utama, kayak kasih support gitu ya. Cuman ngomong sekilas aja. Bilang, Kamu punya bakat menulis, dan somehow kata – kata beliau tersebut mengena ya. Membuat aku percaya bahwa ada orang di luar sana yang bisa mengapresiasi tulisanku. Walaupun mereka tidak mendorong harus ini itu, tapi mereka membiarkanku berkreasi. Mereka memberikanku atmosfer yang lebih supportive,” ujar Dee tentang pengetahuan keluarga tentang passionnya dalam menulis.

Namun pada akhirnya ia harus memilih yang mana ia harus lebih prioritaskan. Passionnya terhadap menulis tetap membara kencang. “Buku itu kan memakan waktu panjang untuk menulisnya. Butuh waktu satu sampai satu setengah tahun untuk satu judul. Jadi dengan demikian aku harus menerima kenyataan bahwa menyanyiku tak bisa lagi jadi prioritas. Kadang-kadang dijalankan, tapi sangat jauh berbeda dengan target pencapaianku menulis. Kalau di nulis, aku minimal satu setengah tahun sekali satu judul. Tapi di musik aku gak punya target seperti itu. Karena aku sadar bahwa sulit untuk ingin dua – duanya sama. Maka salah satu memang harus mengalah,” ujar alumni Universitas Parahyangan jurusan hubungan internasional tersebut.

Walaupun sudah tidak lagi memprioritaskan menyanyi tapi bagi Dee pengalamannya menyanyi ternyata dapat digabungkan dengan pengalaman menulisnya, dan menghasilkan perspektif yang baru. “Musik itu seperti menulis, tapi dengan melodi. That’s why I really pay attention to the lyrics. Because I think lyrics is my way of storytelling through music,” tutur Dee, yang mencontohkan hasil karyanya yang juga dinarasikan dalam bentuk lagu, seperti performa Aroma Karsa pada sore itu, dan juga album RectoVerso

Menggodok ide dan penemuan jati diri

Selama perjalanan sebagai seorang penulis sekitar lebih dari 10 tahun, Dee pun juga pernah mengalami situasi yang dihadapi berbagai penulis, yang disebut sebagai writer’s block, sebuah situasi dimana seseorang mendapatkan kesulitan untuk menemukan atau mengelola sebuah ide menjadi hasil akhir.

“Sering sekali, menurut aku writer’s block itu seperti ketika kita jalan, ada polisi tidur. Banyak orang menyangka kalau ada gangguan, berarti ada sesuatu  yang salah dengan cara kita ini, ada yang salah dengan ide saya, dan mereka memutuskan untuk markir, dan kebingungan gimana caranya mulai lagi,” ujar Dee soal asumsi yang kadang seseorang alami ketika bertemu dengan writer’s block.

“Salah satunya cara yang membantuku adalah mempunyai deadline. Karena dengan deadline, saya gak punya pilihan selain untuk terus. Karena punya waktu yang aku harus kejar. Mungkin masalahnya dengan penulis pemula, mereka gak punya target. Karena kan gak ditungguin penerbit atau apa ya. Sebenarnya target itu bisa kita ciptakan sendiri. Gak mesti nunggu pihak ketiga, coba buat dan patuhi, dan itu akan membuat kamu sadar bahwa writers block itu hanya semacam gangguan di perjalanan yang barangkali berarti ada sesuatu yang harus diperbaiki tapi bukan berarti harus berhenti,” saran wanita yang sempat pada masa SMA memiliki mimpi mempunyai karir dimana ia bisa sering jalan – jalan.

“Sering mencoba, menulis itu membutuhkan jam terbang. Kita tidak bisa berharap langsung bagus dalam seketika. Harus banyak uji coba untuk bisa mengenal dan membentuk “suara” kita sebagai penulis. Jika tidak dimulai segera dan sering, maka proses penemuan itu akan semakin panjang,” sang ibu dari dua anak tersebut menambahkan.

Menurutnya ide itu juga bisa datang dimana saja, lepas dari lingkungan tempat seorang penulis sedang menggodok karyanya, asalkan tempat tersebut dapat memacu sang penulis untuk berkonsentrasi lebih. “Problemnya adalah eksekusinya. Untuk eksekusinya, aku butuh ketenangan. Gak diajak bicara. Aku bisa tulis dimana saja, di kafe bisa, di pojok ruangan bisa, di tempat tidur bisa, di meja makan pun bisa. Yang penting ketika aku nulis aku tidak diajak bicara. Harus dibiarkan sendiri,” ia berbagi berdasarkan pengalaman dari cara kerjanya.

Dan selama perjalanan menulis pun, menurut Dee, seseorang pun juga bisa menemukan sebuah jati diri. “Segala sesuatu yang berhubungan dengan kreativitas, itu sesungguhnya alat untuk menggali diri kita sendiri. Orang bisa menemukan itu melalui musik, melukis, memahat ataupun menulis. Intinya adalah sebuah kegiatan kreatif adalah cara kita untuk menemukan diri kita sendiri,” ujar wanita yang sedang menggemari karya cerita penulis Yuval Noah Harari.

“Banyak pertanyaan saya tentang hidup, khususnya hal-hal eksistensial tentang manusia dan alam semesta, saya eksplorasi melalui menulis. Dan, saya jadi lebih mengenal keresahan saya sendiri itu apa, topik-topik apa yang menggelitik minat saya, sekaligus topik-topik yang tidak menarik untuk saya. Pada akhirnya, menurut saya penulis akan selalu kembali ke keresahan mereka masing-masing. Karena itulah ada penulis yang sering bergulat dengan kisah masa kecil, ada yang fokus kepada religi, ada yang fokus kepada seksualitas, dan sebagainya. Saya sendiri sangat tertarik pada tema spiritual dan eksistensial,” Dee membagikan pengalamannya menemukan jati diri melalui menulis.

Karya yang dijadikan film

Sudah ada beberapa karya Dee yang dijadikan film. Dee pun memberikan pandangannya terhadap karya film yang diadaptasikan dari tulisannya. “I think I have learned from experience. Pada awalnya mungkin terasa berat. Kok begini, kok begitu. The more I do it, the more I understand bahwa movies and books adalah dua format seni yang berbeda. Karena jika di dalam film, secara produksi kita harus bergantung dan berkoordinasi dengan banyak orang, sementara jika menulis you’re on your own. You’re free to do whatever you want. To write however you want, and let your fantasy go free,” ia jelaskan. 

Dee pun menerima bahwa proses pembuatan film memiliki berbagai faktor yang membuat hasilnya bisa berbeda dengan apa yang ia pikirkan. “Dalam film, everything is converted into scene and it means money. Dan tak hanya uang, tapi juga aspect of difficulties. Belum tentu SDMnya siap. Kemudian ada musik, belum tentu cocok. It has a lot of factors dimana pada akhirnya kita gak bisa expect bahwa the theatre in our mind when we read a book akan terwujud bisa sama dengan bagaimana sutradara menginterpretasikan sebuah karya. I believe that. Movie itu hasil karya film maker. Not hasil karya writer anymore,” tambahnya.     

Ketika ditanya apakah ia sedang mengerjakan novel berikutnya, Dee mengakui untuk saat ini belum. “Aku lagi punya banyak pilihan. Belum memutuskan yang mana harus aku kerjakan terlebih duluan. Untuk saat ini masih belum ada yang spesifik. I have few ideas tapi belum cukup matang untuk bisa aku share. Lagi dikumpulkan dan dipilih mana yang bisa dikerjakan,” ungkap wanita yang juga pernah mencoba hobi berkebun.

Mari terus disimak perkembangan karya Dewi Lestari berikutnya. Dan selama menunggu, kalian bisa membaca berbagai koleksi buku-buku Dee untuk mengisi waktu luang serta rasa penasaran.

Denis