“Jika saya boleh jujur memang saat ini Papua membutuhkan sentuhan khusus agar kelompok yang selama ini menganggap perlu Papua memisahkan diri dengan Indonesia bisa ditenangkan dan disadarkan. Mereka harus ditanamkan jiwa nasionalisme sehingga memiliki rasa cinta Tanah Air, dan yang terpenting adalah, masyarakat Papua harus diajak berpikir bersama bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.” Begitulah ungkapan Alfredo Kway, seorang mahasiswa yang berasal dari Papua dikutip dari Kompasiana, 17 September 2019.

Persoalan Papua yang belakangan menyeruak telah menjadi isu besar di tanah air. Dimulai dari kejadian ujaran rasis di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pertengahan Agustus lalu, ditambah dengan lambatnya pengusutan mengenai insiden tersebut, kemarahan masyarakat Papua tidak terbendung dan menumbuhkan aksi solidaritas di kota – kota besar.

Pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia sudah sejatinya bersatu untuk memikirkan permasalahan Papua yang terukir sejak lama ini. Segala elemen bangsa harus bersama – sama meningkatkan sikap menghormati antar sesama dan memerangi segala bentuk diskriminasi dan rasa saling curiga yang bisa memecah belah persatuan. Penting untuk selalu diingat bahwa bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang beragam dari segi suku, agama dan budaya. Sehingga setiap individu yang dilahirkan di negeri ini harus mengasah jiwa tolerasi untuk menjaga perdamaian dan keutuhan bangsa.

Berdiskusi mengenai Papua, kali ini BUSET berbincang dengan para pelajar Indonesia di Australia yang bukan penduduk asli Papua namun telah lahir dan besar di Papua.

Isu Rasisme Namun Bukan Hanya Persoalan Rasisme

Persoalan besar Papua yang kita dengar memang tidak jauh dari persoalan rasisme. Tartil Baiq, mahasiswi Universitas Melbourne yang lahir di Manokwari dan besar di Jayapura mengungkapkan bahwa isu rasisme sudah ada sejak dulu dan telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia sejak lama yang mendikotomikan suku tertentu. Akhirnya bagi masyarakat Papua, hal tersebut seperti gundukan bola salju dan djadikan main issue untuk menyuarakan (referendum).

Evi menekankan pendekatan kultural untuk mengembaikan perdamaian di Papua

Ditambahkan Evi Tioria Sinaga, gadis keturunan Batak yang juga lahir dan besar di Nabire dan pernah tinggal di Jayapura ini menganggap bahwa konflik yang terjadi di Papua saat ini bukan hanya soal rasisme tetapi tentang tumpukan persoalan masa lalu (tentang kesenjangan pembangunan, kesenjangan sosial, HAM, Freeport, konflik horizontal hingga pemblokiran internet) yang akhirnya menyebabkan “trust issue”, dimana orang Papua kehilangan kepercayaan baik terhadap pemerintah RI maupun pemimpin Papua saat ini.

“Kalau berbicara soal rasis tidak bisa disangkal. Bahkan saya sendiri yang istilahnya ‘amber’ lahir besar Papua (sebutan untuk pendatang di Papua) dan yang berkulit terang ini mengalami hal tersebut,” ungkap Evi.

Dana OTSUS Sebagai Sebuah Langkah

Tartil mengungkapkan bahwa sebagai pemerintah negara berkembang sudah menjadi “takdir” memiliki permasalahan kompleks, namun, permasalahan HAM di Papua harus segera diselesaikan dengan cara yang terhormat. Satu langkah besar yang dilakukan pemerintah Indonesia jaman Ibu Megawati adalah menggelontorkan dana OTSUS atau otonomi khusus untuk Papua, yang dianggap cukup untuk membiarkan orang Papua mengurus keuangannya sendiri.

Namun dia mengungkapkan bahwa ekspektasi pemerintah dan penggunaan dana tersebut harus tepat dan jelas, karena banyak anggapan bahwa dana tersebut dianggap “penyuapan”. “Ekspektasi pemerintah pusat terhadap dana yang diberikan ke Papua harus jelas, dan ada audit mengenai dana pengembangan tersebut. Karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tidak ada, harus membuat komisi atau badan sejenis itu. Sehingga jelas dana itu dikemanakan. Untuk pendidikan kah, untuk renovasi daerah pariwisata kah, dan lain sebagainya. Sehingga pemerintah pusat tidak dianggap “menyuap” oleh warga Papua jika terjadi sesuatu yang lebih besar,” tutur Tatil yang sedang menempuh pendidikan di bidang Master of Food Science ini.

Masyarakat Papua Harus Menyelesaikan Masalah Internalnya

Masalah Papua yang terjadi saat ini sangatlah kompleks, sehingga memerlukan penyelesaian yang juga tidak instan. Menurut Evi, yang sedang menempuh studi Master of Public Health di Universitas Victoria, banyak hal yang sudah dilakukan pemerintah yang menurutnya punya dua sisi seperti mata uang. Yang pertama, terkait dana OTSUS untuk mempercepat pembangunan di Papua sejak 2001 yang berlangsung 20 tahun. “Yang saya lihat di depan mata dan harus saya akui banyak pembangunan yang telah dilakukan pemerintah; baik pembangunan infrastruktur maupun manusia. Namun, apa yang dilakukan dari dana OTSUS masih dianggap tidak menjawab apa yang benar – benar dibutuhkan masyarakat Papua.”

Evi melanjutkan, berkaitan pembangunan sumber daya manusia, yang melalui OTSUS (baik program pemerintah daerah dan provinsi) sudah berkontribusi untuk menyekolahkan orang asli Papua (OAP) ke dalam maupun luar negeri. “Banyak yang sekolah baik – baik, berhasil dan kembali, tetapi ada juga yang sebaliknya. Pertanyaannya mengapa bisa begitu? Asumsi saya, mungkin mereka pun tidak paham kenapa mereka disekolahkan. Sehingga dari sini, perlu adanya strategi untuk menanamkan awareness, responsibility dan sense of belonging. Jadi, menurut saya solusinya tetap membangun SDM Papua untuk kembali mengabdi. Merdeka ataupun tidak merdeka akan berkontribusi membangun tanah Papua yang lebih baik,” kata Evi.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Tartil yang tidak melihat kegagalan dana OTSUS. Dia mengungkapkan bahwa dana OTSUS sudah digunakan dengan baik untuk menyekolahkan masyarakat Papua ke berbagai sekolah bergengsi sampai ke ujung dunia. Dia pun tidak menyangsikan seberapa genius dan pintar orang Papua dalam bidang akademik. Namun keloyalan masih menjadi keraguan tersendiri.

Artil merasa dana Otsus adalah langkah yang besar apabila dipergunakan dengan tepat

“Saya sepakat, jika dikatakan orang Papua adalah orang yang paling jujur di muka bumi ini, tetapi ini masalah keloyalan terhadap masyarakat mereka sendiri”, Kata Tartil.

“Jangan sampai ada masalah “rasisme” sedikit, yang sudah sukses di negara orang ikut – ikutan “merdeka” namun tidak ada kontribusi untuk membantu sesama masyarakat Papua.”

Peningkatan kualitas SDM saat ini dirasakannya hanya sebatas menyekolahkan, namun tidak ada penanaman rasa memiliki dan ketertarikan untuk kembali ke Papua. Gadis yang pernah menempuh S1 di kota Malang ini mengharapkan bahwa pemanfaatan dana OTSUS oleh pemerintah pusat harus maksimal. Bukan hanya menyekolahkan tetapi membina generasi. Banyak hal yang harus diselesaikan di Papua, mulai dari masalah lingkungan sampai kemanusiaan. Dana OTSUS tidak seharusnya digunakan untuk dibagi – bagikan tanpa ada pertanggungjawaban, harus ada hasil. Dengan begitu, image atau stigma orang Papua perlahan akan berubah.

“Ini harus menjadi perhatian para petinggi organisasi kemerdekaan Papua, mereka harus melihat kondisi masyarakat Papua saat ini, cukup menghubungkan sebab akibat dengan persoalan masa lalu,” mintanya.

Harapan Tartil, terlepas dari keinginan masyarakat asli Papua yang ingin memerdekakan diri, dia berharap masyarakat Papua bisa sama – sama menyelesaikan persoalan internalnya. Jika ingin merdeka, seharusnya mempersiapkan diri dengan mempersiapkan kualitas SDM, bukan hubungan luar negeri. “Dimana – mana kalau orang asing diceritakan masalah dari satu sisi perjuangan, tentu mereka akan mendukung kemerdekaan Papua. Sederhananya, masyarakat Papua tidak bisa hanya meminta referendum tetapi tidak mau mengubah diri mereka,” tambahnya.

Menekankan Pendekatan Kultural

Evi mengungkapkan bahwa yang terpenting untuk masalah yang panjang ini adalah dialog, pemerintah duduk bersama dengan orang Papua untuk melihat permasalahan yang ada dengan kacamata orang Papua. Mendengar dan menjawab apa yang dirasakan dan dibutuhkan orang Papua saat ini. Hal tersebut juga sudah dilakukan pemerintah, dimana 61 perwakilan tokoh Papua bertemu dengan presiden Jokowi pada 10 September 2019.

Namun, pertemuan tersebut dianggapnya tidak merepresentasikan isi hati orang Papua. “Di sini terlihat “trust issue” yang sudah merembes antara orang Papua dengan pemimpinnya. Lalu bagaimana solusi selanjutnya?

Menumbuhkan kembali rasa percaya bukan sesuatu yang mudah, butuh pendekatan kultural dan antropologi. Pendekatan kultural melalui gereja dan media dapat menjadi solusi untuk trauma healing, menanamkan dan menyebarkan pesan kasih dan mengampuni. Hasil dialog yang disepakati, direalisasikan dan dimonitor berkelanjutan. Harapannya “trust” dapat tumbuh lagi dengan melihat kerja nyata pemerintah, yang tentunya akan membutuhkan waktu,” tutur Evi.

Seberapa Rasis kah Saya?

Pada akhirnya, masalah yang kompleks butuh solusi yang tidak instan, butuh keterlibatan semua pihak dengan menjawab apa dibutuhkan oleh orang Papua. Evi pun berharap apa yang terjadi saat ini bisa jadi moment bersama (baik masyarakat Indonesia ataupun orang Papua) untuk berkaca dan bertanya ke diri kita sendiri seberapa rasis kah saya?

Be respectful dan berhenti mengotak – kotakan suku atau membeda – bedakan pendatang karena pada dasarnya kita semua ‘saudara’, kita ‘keluarga’, kita ‘manusia yang sama’ dimata Tuhan.

“Saya mengalami sendiri, diperlakukan rasis itu tidak enak, jadi apa yang terjadi sebenarnya menjadi reminder lagi untuk saya pribadi untuk berkaca dan bertanya ke diri saya, seberapa rasis kah saya?” Aku Evi.

Selanjutnya, mengenai penyebaran informasi, dia berpendapat ini adalah tanggungjawab setiap pribadi juga untuk menyebarkan informasi positif dan tidak memprovokasi. Pemerintah merealisasikan apa yang disepakati dan melalui gereja menumbuhkan kembali kepercayaan dan menyebarkan hukum kasih. Doa dan harapan khususnya untuk teman – teman yang sedang belajar di luar negeri ataupun luar Papua (di Jawa) untuk terus semangat, sekolah baik – baik, cepat selesai sekolah kembali dan berkontribusi untuk Papua.

Niar