AOSA: Ajarkan Pencak Silat Melalui Zoom

Gaya hidup saat ini memang tidak dapat lepas dari teknologi zoom, bahkan kelas olahraga pun kini diajarkan melalui platform konferensi video ini. Mau tahu bagaimana sebuah perguruan pencak silat melakukannya? Yuk simak kisah perguruan Art of Self Defence Akar!

Dari Jawa ke Melbourne

Art of Self Defence Akar (AOSA) dirintis oleh Les Tayu Irawan, seorang seniman pencak silat asal Bandung yang hijrah ke Australia di tahun 1970an. Sejak umur 5 tahun, Les memang sudah berkencimpung dalam dunia bela diri. Dari sang paman, Battling Ong, yang merupakan pemilik dojo bela diri judo School of Self Defence Indonesia (SOSI) dan ketua Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) waktu itu, dirinya belajar beragam aliran bela diri seperti ju jit su, judo, gulat, dan kuntao.

Les tidak mengenal pencak silat hingga ia menginjak usia dewasa. Dari kedekatan kedua orangtuanya dengan Raden Sabdo Mulyo, guru Pencak Silat Elang, pria kelahiran 1954 itu mulai mendalami gaya bela diri tersebut, termasuk aliran kebatinan yang ia pelajari dari Pak Soemardi di Solo, Jawa Tengah.

Raden Sabdo Mulyo – Guru Pencak Silang Elang



“Jadi saya ya naik gunung, karena dia (Sabdo Mulyo) tinggalnya di dekat situ, dekat Salatiga. Dan zamannya dia senang naik turun gunung, dan yang paling dia senang itu Gunung Lawu. Di situ saya sering latihan,” kenangnya.

Selain Pencak Silat Elang, Les juga sempat dididik oleh RM Tiyo Sutarya, guru Pencak Silat Domas di Bandung dan Koswara Suriatmaja, guru Gendang Pencak di Jawa Barat.

Dengan berbekalkan ilmu dua aliran pencak silat, kebatinan dan gendang pencak inilah Les membangun AOSA dan memperkenalkan bela diri asal Indonesia itu kepada masyrakat Australia, khususnya Victoria.

Perkenalkan Pencak Silat Kepada Warga Australia

Pada mulanya Les mengajarkan pencak silat di sekolah-sekolah dan organisasi masyrakat. Cara pengajarannya pun cukup unik, karena ia memadukan ilmu pencak silat dengan kebatinan dan gendang pencak. Singkat kata, aliran pencak silat Les bukanlah sekadar ilmu bela diri, tapi lebih menyerupai seni tarian pencak silat.

Dari situlah ia bertemu dengan David Bachsinar, yang kemudian menjadi salah satu murid terlamanya. David merupakan seorang warga Australia yang berhasil diajak Les untuk mengenal, mendalami dan menyukai pencak silat.

Tak hanya sebatas hobi, David lantas mengikuti jejak Les untuk menjadi atlit pencak silat profesional. Ia pun mewakili Australia di perbagai kejuaraan pencak silat kelas internasional dari 2007 hingga 2018, di mana pada puncak karirnya ia sukses meraih medali perunggu di kejuaraan tahun 2010.

David mengaku hal yang paling disukainya tentang pencak silat adalah aspek kebatinan yang unik dan membedakan pencak silat dari ilmu bela diri lainnya. Menurut pria keturunan campuran Medan-Australia itu, ilmu kebatinan tak hanya membantu menenangkan pikiran dan batin, namun juga dapat membuat seseorang mengenal diri sendiri lebih baik.

“Kebatinan includes meditation and breathing exercises, which help a lot to get you through the day. Because sometimes you’re your worst enemy, but pencak silat is how to deal with that stuff. It is about how to be your own best friend and be a better version of yourself,” komentar David yang kini juga merupakan guru pencak silat dan pendiri perguruan Domas Zero Point.

David (kiri) dan Les

Adaptasi Pencak Silat di Era Teknologi

Berlakunya berbagai restriksi akibat pandemi COVID-19 yang melumpuhkan sebagian besar aktifitas warga Australia turut berdampak besar bagi AOSA. Namun, semenjak berhasil melakukan pertunjukan silat di Panggung Merdeka yang diadakan oleh ABC secara online via Facebook, Les mulai mendapat ide untuk menggabungkan kelas-kelas pencak silat dengan teknologi zoom.

Harapannya adalah dengan melalui teknologi zoom, AOSA bukan hanya dapat terus mengajarkan pencak silat kepada anggota lama, namun juga menjangkau lebih banyak lagi murid baru. Alhasil di akhir bulan Agustus lalu, ia melakukan kelas percobaan melalui zoom yang dihadiri beberapa anggota AOSA, termasuk David dan Ruby Irawan, putri Les sendiri.

Kendati menerima tanggapan yang cukup positif dari para peserta, keterbatasan teknologi tetap terasa dikarenakan susahnya mempraktekkan jurus-jurus yang membutuhkan kontak fisik. Selain itu, format kelas online ternyata tidak diterima baik oleh para murid yang berumur di bawah 5 tahun dikarenakan level konsentrasi mereka yang masih rendah. Faktor lain seperti kebugaran dan level keahlian para perserta juga turut merupakan hal yang butuh dipertimbangkan dalam mengajar kelas online. Meresponi faktor-faktor tersebut, kedepannya Les berencana untuk membuat program-program kelas yang sesuai dengan umur dan level para peserta. Untuk sementara, program kelas tersedia bagi anak-anak umur 5-12 tahun, 12 tahun hingga 40 tahun, dan manula (di atas 40 tahun).

Walau masih ada beberapa hal yang butuh dibenahi dalam pengajaran kelas online, Rubi optimis akan maanfaat teknologi zoom di pengajaran pencak silat. Menurutnya kelas zoom justru semakin memudahkan banyak orang untuk menghadiri kelas.

“Once people understand how simple it is to get online, it is easier because you don’t have to leave the comfort of your home. For me it is a lot more convenient,” ujar gadis yang kini mengenyam pendidikan di universitas RMIT itu.