Festival Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia TOPA) saat ini tengah berlangsung di kota Melbourne. Festival yang baru pertama kali diadakan ini menawarkan beragam bentuk seni yang merupakan kolaborasi para seniman dari beberapa negara Asia Pasifik. Dimulai dari seni pertunjukan, sastra, hingga karya-karya non-verbal hadir untuk penonton segala umur dan berbagai minat.

Dr Steven Tonkin, kurator Political Acts: Pioneers of Performance Art in Southeast Asia

Gallery 1 di Arts Centre Melbourne didaulat menjadi tuan rumah seni pertunjukan gratis yang mengangkat tema politik. Pameran ini bertajuk Political Acts: Pioneers of Performance Art in Southeast Asia. Media preview diadakan 10 Februari 2017 yang lalu, sehari sebelum pameran dibuka bagi khalayak umum. Beberapa pengunjung yang diundang, termasuk BUSET, memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan dua orang seniman dunia yang menyempatkan diri untuk hadir. Mereka adalah Lee Wen, perwakilan dari Singapura, dan Dadang Christanto, mewakili Indonesia.

Setahun belakangan, Lee Wen harus duduk di kursi roda lantaran kemampuan motoriknya yang semakin menurun. Namun ia mengakui bahwa kondisinya tersebut justru menjadi inspirasi pada beberapa karyanya. Semenjak kecil ia sudah sangat menggemari kegiatan menggambar. Meski demikian, ia juga sempat menyatakan tidak tahu sejak kapan tepatnya ia mulai menekuni profesi secara serius sebagai seorang seniman. Melalui karya seninya, ia berharap agar pandangan masyarakat dunia menjadi lebih terbuka dengan adanya pertukaran dan rasa saling apresiasi antar kebudayaan.

Lee Wen asal Singapura berfoto di depan hasil karyanya sendiri yang bertajuk Splash! #7 (2003)
Lee Wen asal Singapura berfoto di depan hasil karyanya sendiri yang bertajuk Splash! #7 (2003)

Komunikasi paling efektif menurut Lee Wen adalah melalui gambar. Aturan komposisi dan kesederhanaan yang disalurkan melalui gambar-gambar terkadang memiliki pengaruh yang justru lebih kuat terhadap penikmatnya. “A picture speaks a thousand words,” ucapnya. Sebagian besar karya Lee Wen menggunakan komposisi warna dan tubuh manusia, terutama terfokus pada ekspresi wajah. Seperti dapat dilihat dari karyanya yang dipajang di eksibisi Political Acts.

Dilansir dari sang kurator, Dr Steven Tonkin, secara pribadi dirinya mengajak satu per satu ketujuh seniman untuk pameran Political Acts ini. Dalam proses pemilihan, ia pula memastikan bahwa para seniman bersedia bekerja sama satu dengan lainnya. Menurutnya hal ini sangat penting untuk memastikan kesuksesan pameran itu sendiri. Bahkan menurut Lee Wen, ketujuh seniman adalah sahabat dan Political Acts adalah pameran pertama dimana mereka berkesempatan untuk bekerja sama. Setelah proses pemilihan itulah, kerja keras dimulai dalam mempersiapkan pameran. Pria lulusan Australian National University tersebut mengatakan, “para seniman mancanegara ini berkolaborasi secara jarak jauh dengan saya. Kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan hal tersebut. Kami berkomunikasi dan bertukar pendapat, bahkan ada karya-karya yang dikirim ke saya secara online, untuk kemudian dicetak di Melbourne, lalu dipajang di pameran ini.” Hasilnya pun tidak perlu diragukan lagi, sangat terlihat keharmonisan dari satu karya ke karya lainnya.

Maestro dari Indonesia, Dadang Christanto menghadiahkan sebuah kesempatan langka bagi para pengunjung yang hadir hari itu. Pada pukul satu siang, ia mempertunjukkan karyanya yang berjudul ‘Tooth Brushing’ yang dicetuskannya pertama kali pada tahun 2015.

BUSET-ngeliput-political-acts-hiasan-3 BUSET-ngeliput-political-acts-hiasan-4

**

 

 

Penasaran dengan hasil kerja keras sang kurator dan para seniman tersohor se-Asia Tenggara?

Kunjungilah Political Acts: Pioneers of Performance Arts in Southeast Asia di Gallery 1 Arts Centre Melbourne.

Pameran akan berlangsung hingga 21 Mei 2017.

 

Seniman yang berpartisipasi Political Acts: Pioneers of Performance Arts in Southeast Asia

  1. Dadang Christanto (Indonesia)
  2. Khvay Samnang (Kamboja)
  3. Lee Wen (Singapura)
  4. Liew Teck Leong (Malaysia)
  5. Moe Satt (Myanmar)
  6. Melati Suryodarmo (Indonesia)
  7. Tran Luong (Vietnam)

 

 

Ishie