Penghujung 2019 kemarin kembali diadakan rentetan pameran kesenian bernama Mapping Melbourne oleh Multicultural Arts Victoria. Kegiatan tersebut berjalan dari tanggal 30 November hingga 8 Desember.

Bekerjasama bersama Project 11, pada 5 Desember Gedung Arts West di Melbourne University menjadi lokasi dimana sosok seniman dari Tanah Air, Angga Wedhaswara, menampilkan karyanya yang bertajuk “Ana Muslim”. Seni pertunjukan tersebut memiliki arti “Saya seorang Muslim”, dan mengeksplorasi perbedaan yang dihadapi oleh mereka yang menganut Islam tradisional dan yang menganut Pancasila.

Dalam karyanya, Angga juga mengeksplorasi konsep Muslim Dzimmi. Dzimmi memiliki arti orang non-Muslim yang tinggal di negara yang menganut peraturan Syariah, namun diberikan perlindungan legal. Dalam karyanya ini Angga menyampaikan makna sebuah keinginan menjadi seorang Muslim yang dapat berdamai dengan mereka yang Non-Muslim.

Dari pengadaan kegiatan kesenian yang terbuka untuk umum ini, Konfir Kabo dari Project 11 menyampaikan bahwa komunitas tersebut didirikan sebagai inisiatif untuk mempromosikan kesenian yang tak hanya baru, tapi juga berani. Selain berkolaborasi dengan Multicultural Arts of Victoria, Project 11 juga pernah berkolaborasi dengan institusi di sektor edukasi contohnya University of Melbourne, Victoria College of Arts, University of Tasmania.

Interpretasi yang Terbuka

Pada awal acara Angga membagikan cerita di balik pilihannya memakai pakaian berwarna putih. Hal ini mengingatkan baginya sosok Ustad Nur, seseorang Muslim Rohingya yang mengungsi ke Indonesia bersama keluarganya. Angga pertama kali bertemu dengan Ustad Nur di Bogor pada tahun 2013. Ia tidak memandangnya dengan prasangka buruk, bahkan melihatnya sebagai seorang teman, dan Angga pun bersedia membantunya mencari tempat menginap.

Adegan pencucian pakaian dimana warna pakaian berubah dari yang awalnya hitam, melambangkan penyucian diri dalam jiwa dan raga

Namun 2 minggu kemudian Ustad Nur dan keluarganya menghilang. Sebelum itu Ustad Nur pernah menceritakan kepada Angga bahwa ia ingin pergi ke Australia. Hingga kini pun Angga tidak mengetahui apa jadinya nasib sang keluarga tersebut. Untuk memperingati Ustad Nur yang ia sudah anggap sebagai teman, Angga memilih untuk memakai baju serta sarung dan peci berwarna putih, sama seperti tampilan ketika pertama kalinya Ustad Nur bertemu dengan Angga.

Seni pertunjukan pun berjalan interaktif, dimana Angga menceritakan tentang kaum Muhajirin yang melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah mengikuti Nabi Muhamad, dan mereka pun disambut oleh kaum Anshar yang menolong mereka. Angga pun mengajak para audiens menjadi sosok Anshar baginya, dan mereka yang berkenan pun diberikan stamp di tangan mereka dengan lambang memiliki arti Anshar.

Sang seniman kemudian membersihkan pakaian hitam yang awalnya ia pakai dengan pemutih dalam dua bakul, masing-masing melambangkan pencucian dalam jiwa dan raga. Adegan tersebut pun dilakukan sambil menyanyikan doa. Kembali di penghujung pertunjukan Angga kembali memanggil para audiens untuk maju satu bersatu dan kembali menanyakan jika mereka tetap bersedia menjadi “Anshar”nya setelah menonton adegan tersebut. Jika berkenan, tangan para audiens pun disemprotkan pengharum di tangan.

Angga mengajak para audiens menjadi pelindungnya

Interpretasi dari adegan pun terasa sangat terbuka. Pengalaman dari pertunjukan tersebut mulai dari pilihannya untuk memakai pakaian putih tersebut, nyanyian doa, adegan mencuci pakaian berwarna hitam sebagai penyucian jiwa dan raga, dedikasi aksi menjadi sosok “Anshar” bagi sosok Ana Muslim yang direpresentasikan oleh Angga, mengajak para audiens untuk memiliki pikiran yang terbuka, untuk tidak saling menghakimi satu sama lain berdasarkan penampilan dan memberikan perlindungan bagi satu sama lain.

Sebagai seorang seniman pun ia harus selalu menyiapkan diri untuk adanya perbedaan dalam penafsiran terhadap karya seni pertunjukan buatannya. “Bahkan mungkin untuk performance itu, saya harus sudah siap sekalipun harus ditangkap polisi misalnya, dan saya harus punya argumen kenapa saya harus membawakan itu. Persis seperti di 212 dimana saya membentangkan bendera itu, langsung didatangi laskar FPI. Terus ditanyain ini bendera apa, apakah jadi provokator gitu. Akhirnya saya bisa ngejelasin ke mereka. Kalau gak bikin performance gini saya gak akan bisa ngejelasin ke mereka bagaimana Muslim yang ideal bagi saya,” ceritanya tentang pengalaman dimana ia pernah menampilkan karya Ana Muslim ini di Indonesia.

Pada akhirnya pertunjukan seni menurutnya dapat menjadi sebuah medium komunikasi. “Saya selalu percaya bahwa performance dapat menjadi pemantik diskusi, dia punya daya untuk membuat orang berpikir,” ucapnya.

“Kalau soal penafsiran yang berbeda, itu saya percaya kita menafsirkan berdasarkan apa yang ada di kepalanya dia sebenarnya. Gak semua orang harus sepakat dengan apa yang saya omongin. Ini seperti komunikasi biasa. Kamu bisa saja menafsirkan apa yang saya omongin dengan cara yang berbeda juga kan,” tanggapnya terhadap interpretasi yang berbeda.


Apa Kata Mereka

Danny, seniman

As an Artist, for me it’s not a conceptual learning. It’s not about learning something specific to religion, something specific to a person’s opinion of a religion. For me what I found quite poignant in the performance was the way in which it showed me feeling. And I think you can learn feeling. You can learn relations, those human understanding. And I think what was quite powerful there was the person, the felt and the touch. And maybe I learned something from that space, something that can’t be quantified, like living one’s life. I think the artist showed a particular quality and the way he lives his life. And I think there was a dedication to a practice, a way of being, and he encapsulates that through a series of motions and gestures and engagements.

Saeed, pekerja IT

Maybe because I was late, I was a little confused by what he’s trying to do. I was out of focus at what he’s trying to do, maybe it wasn’t so detailed about the event, I was trying to expect something else, but this was the event. It could have been completely one to one interaction, like people can and ask a question, like understand what is it. The performer I’m not blaming him, but I feel there’s a language barrier.

Windu Kuntoro, fotografer

Ana Muslim dari sudut pandangku itu tentang bagaimana Angga, bukan menentang tapi menunjukkan bagaimana Islam itu bukan hanya untuk ormas tertentu. Jadi yang aku baca karena aku kenal Angga juga kan, yang aku baca itu dia mau ngasih gambaran ketika ada kampanye atau demo 212 selama ini kan dari tahun 2017, dia itu mau menunjukkan ceritanya dia itu NU. Dia enggak menghendaki radikalisme, dia berusaha untuk menunjukan saya Muslim di depan massa ormas, ketika benderanya dicabut tapi dia masih punya bendera cadangan. Dia ingin menunjukkan bahwa Islam itu suci, bersih, bukan hanya menunjukan Islam itu keras, itu yang aku dapat dari pertunjukan tadi. Maksud dia dengan mencuci dengan bleach itu kita bersih, hitam yang dianggap keras dicuci jadi putih. Bahwa Islam itu untuk semuanya, bukan kekerasan.


Denis