Dekorasi bendera segitiga warna-warni dan anyaman bundar bermotif batik bergelantungan di langit gedung KJRI Melbourne. Hiasan yang diharapkan dapat membangkitkan mood para pengunjung ini hanyalah sebagian kecil dari total keseruan acara “Alun-Alun” garapan organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) cabang Victoria.

PM dan Co-PM Selma dan Natalia

Dipadati kurang lebih 500 pengunjung yang sebagian besar adalah warga Indonesia sendiri, “Alun-Alun” telah sukses menjadi pemanis di siang hari musim gugur kota Melbourne. Sesuai dengan visi penyelenggara dari enam tahun yang lalu, “Alun-Alun” diadakan dengan tujuan untuk menyambut warga Indonesia yang baru menginjakkan kaki mereka di kota ini.

Berbeda dengan sebelumnya, undangan untuk hadir ke acara yang tidak dipungut biaya ini tidak hanya ditujukan untuk students saja, melainkan juga bagi warga Indonesia yang sudah berkeluarga. Selma Halida, Project Manager “Alun-Alun” 2017, mengatakan bahwa pada tahun ini, panitia telah mengambil langkah berani untuk memperluas target public mereka tersebut.

Kompetisi nyanyi sukses menarik perhatian pengunjung

“Sebenarnya, awalnya kami hanya ingin menargetkan students yang baru datang ke Melbourne, agar dapat bersosialisasi dan bergabung dalam PPIA melalui stan yang ada. Tapi, lama-lama kami juga ingin menargetkan orang-orang Indonesia yang just want to have fun on the weekend, termasuk mereka yang sudah berkeluarga,“ ujar Selma.

Bertemakan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, halaman KJRI diramaikan oleh stand PPIA dari ketujuh universitas di Melbourne, yang tema dekorasi dan makanan yang dijualnya terinspirasi dari tujuh etnik di Indonesia, yaitu Jawa, Ambon, Betawi, Toraja, Bugis, Minangkabau, dan Bali.

Tari Payung dibawakan Sanggar Bhinneka

Pemilihan tema tersebut didasarkan pada keinginan pihak penyelenggara untuk menampilkan keberagaman seni Indonesia, dan dengan harapan untuk memperkuat solidaritas antar sesama warga Indonesia, melihat maraknya usaha pemecahan kesatuan masyarakat di Tanah Air belakangan ini.

Kemeriahan acara ditonjolkan dengan adanya penampilan dari tiap ranting PPIA, grup band Indonesia di Melbourne, dan tarian tradisional Indonesia dari sanggar tari Bhinneka dan Baitul Ma’mur, yang mengundang sambutan meriah dari puluhan orang penonton yang duduk santai di atas rumput.

Seraya dihibur oleh para performers, pengunjung berbondong-bondong memadati food vendors yang menyajikan jajanan khas Indonesia seperti nasi kuning, empal, cendol, rujak, dan otak-otak.

Baitul Ma’mur mempersembahkan Tari Merak

Ketujuh food vendors yang ada di acara ini, semuanya menyediakan kuliner Indonesia. Beberapa makanan dan minuman yang dijual bahkan sudah habis diborong pengunjung hanya beberapa jam setelah acara dimulai.

Mengeliminasi lomba fotografi dan melukis yang digelar tahun lalu, singing competition menjadi satu-satunya lomba yang diadakan di “Alun-Alun” 2017. Keputusan ini diambil oleh Selma dan segenap panitia karena kompetisi aransemen lagu dinilai lebih dapat mempromosikan kebudayaan Indonesia, dan dianggap paling sesuai dengan tema ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang mereka garap.

Singing competition itu lebih engaging, karena bisa membuat orang nonton, teriak-teriak, dan tepuk tangan, dan juga lebih menyatu dengan konsep ‘festival’ dan tema kami tahun ini. Melalui lomba ini, kami juga dapat memberitahukan kepada orang-orang, bahwa Indonesia juga punya, lho, lagu-lagu tradisional yang bagus. Bukan hanya pop saja,” jelas Selma.

“Alun-Alun” ternyata belum lengkap tanpa kehadiran ormas Indonesia yang tentunya memerlukan dukungan dari sesama warga Nusantara. Kesempatan ini digunakan oleh organisasi-organisasi yang ada untuk merekrut anggota baru dan mensosialisasikan visi dan misi mereka.

Organisasi yang turut menyemarakkan acara tersebut diantaranya adalah Australia Indonesia Youth Association (AIYA), Young Indonesian Muslim Students Association (YIMSA), Paskibra Melbourne, Buku untuk Anak Bangsa (BuAB), dan Victorian Indonesian Language Teachers Association (VILTA).

Berkaitan dengan keberadaan grup masyarakat tersebut, memang sudah menjadi sasaran penyelenggara untuk menjadikan “Alun-Alun” sebagai acara yang terbuka bagi deretan komunitas, agar mereka bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas.

“Kita itu sebenarnya open buat everyone aja, kita ingin menjadi sebuah platform dimana kita bisa menyajikan semua hal Indonesia dan menyatukan itu di satu acara. Jadi untuk organisasi-organisasi masyarakat di Melbourne, yang ingin mempromosikan diri mereka, kita open banget, karena kita emang pengen bantu mereka untuk spread the word of their existence,” tutup Selma.

Melalui acara yang berlangsung selama lima jam ini, Co-Project Manager “Alun-Alun” 2017 Natalia Theresa berharap agar para pengunjung merasakan kegembiraan berada di festival yang seluruh bagiannya sengaja dibuat menyerupai “kampung halaman”. “Harapan kami sih agar pengunjung dapat feels like home di Melbourne, apalagi karena mereka sudah kenal banyak orang dengan datang ke “Alun-Alun”. Semoga mereka have fun juga, makan-makan juga, mengenyangkan perut juga, dan makin dekat satu-sama lain.”

Selma dan Natalia merasa bangga atas keberhasilan penyelenggaraan “Alun Alun” 2017, dan sangat menghargai kerjasama yang telah dibangun seluruh panitia selama empat bulan terakhir.

Besar harapan mereka agar acara ini akan tetap diadakan di tahun mendatang karena dinilai sangat bermanfaat bagi orang lain dan memiliki konsep yang berbeda dari acara-acara lainnya.

 

 

APA KATA MEREKA

MEYKE, 41 | Sanggar Baitul Ma’mur

Kami tahu acara ini dari teman yang adalah salah satu panitia. Kebetulan anak saya itu dari Sanggar Baitul Ma’mur, dan akhirnya kami ditawarkan untuk menari tari tradisional Indonesia.

Acaranya ramai, ya, lebih ramai dari acara terakhir kami datang ke konjen. Terakhir kami datang ke konjen kalau tidak salah saat ulang tahun Saman Melbourne, yang memang lebih sepi. Kalau “Alun-Alun” ini jauh lebih ramai.

Bagian favorit saya entertainment-nya, kali, ya. Nyanyi, tari, dan stan makanannya juga, yang pilihannya macam-macam.

Kritik untuk acara ini, mungkin agar dibuat agar bisa lebih on time, ya.

 

BINDI (kiri), 22 | Pengunjung lokal

One of my friends told me to come here, and I think it’s quite interesting, there are lots of young people here. I haven’t been here before. I like the music, the dancers’ costumes, they were really beautiful, really cool.

My favorite part is watching the people, dancing and singing, and also the food. The food is always amazing.

My feedback is maybe to encourage other people from other countries to come here, so they can learn more about the Indonesian culture.

 

ESTHER VERONICA, 19 | Mahasiswi Swinburne University

Gue tahu acara ini dari teman-teman di uni. Menurut gue, acara ini santai tapi tetap seru. Gue suka gimana mereka bisa bikin acaranya kreatif tapi unsur-unsur Indonesianya itu masih kerasa banget.

Kalau gue paling suka pas bagian performance sama singing competition-nya sih, orang-orang pada kreatif banget. Keren!

Untuk kritik sih, hmmm apa, ya? Mungkin lain kali acaranya bisa diadain di tempat yang lebih gede, dan yang lebih ke arah city juga mungkin. Jadi bisa lebih nyaman, terus mungkin bisa undang artis-artis Indo buat performance-nya, biar makin banyak yang datang.

 

 

Nasa