Mengawali musim dingin yang lalu, puluhan awak media di Victoria berkesempatan untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan terbuka perdana AIJA (Association of Indonesian Journalists in Australia). Selain mengundang Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, kesempatan kali itu pula dimanfaatkan untuk saling tukar pikiran seputar isu politik dan sosial serta sebagai ajang silaturahim di Bulan Ramadhan.
Acara yang dimulai sekitar pukul lima sore tersebut diawali dengan sesi registrasi dan kegiatan buka puasa bersama sebelum kemudian Ketua AIJA Lucky Kalonta mengisi panggung dengan beberapa kata sambutan.
Agenda utama pertemuan merupakan talk show dengan Dubes Nadjib dipandu wartawan senior Hendrarto Darudoyo yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua AIJA. Kepiawaian Darudoyo dalam menyusun pertanyaan yang tajam dan ringkas membuat jumpa temu ini semakin menarik untuk diikuti.
Melalui bincang ringan tersebut terungkap beberapa fakta yang cukup menarik tentang Dubes Nadjib yang ternyata pernah berprofesi sebagai wartawan paruh waktu untuk sebuah surat kabar ketika berkuliah di Bandung. Bahkan bakat alami sebagai seorang diplomat sudah terlihat sedari dulu ketika beliau ditempatkan sebagai jurnalis khusus urusan luar negeri/foreign affair.
Saat ditanya mengenai perbedaan karakter jurnalis Australia dan Indonesia, sambil tersenyum Dubes Nadjib menjelaskan bahwa jurnalis Indonesia cenderung lebih konfirmatif dan kekeluargaan dibandingkan jurnalis Australia yang sering menyimpulkan hasil wawancara secara sepihak, terlebih di saat-saat genting seperti pada kasus Bali Nine beberapa waktu lalu. Hal ini kontan membuat hubungan antar kedua negara menjadi semakin memanas.
Dalam kesempatan yang sama, Dubes Nadjib turut berbagi pengalaman menjabat sebagai diplomat di kala konflik Timor Leste berkecamuk. Termasuk bagaimana pemerintah dan jurnalis Australia memperlakukan Indonesia yang kemudian berlanjut dengan pembahasan kasus Papua yang masih ‘panas’ dewasa ini serta menegenai visa kunjungan jurnalistik yang disediakan RI bagi para jurnalis asing, termasuk Australia.
Memasuki sesi tanya jawab, penyiar senior Nuim Khaiyath menanyakan pendapat Dubes Nadjib mengenai ketegasan pemerintah Indonesia dalam menghadapi serangan pernyataan dari Australia dimana menurutnya sesuatu yang tidak benar harus secepatnya diklarifikasi agar tidak menjadi polemik. Nuim tampak geram dengan sikap Perdana Menteri Tony Abbot yang menyebut-nyebut jumlah bantuan dana dari Negeri Kangguru untuk bencana tsunami 2004 di Indonesia dalam hubungannya dengan kasus Bali Nine. Mengutip ucapan Nuim, bantuan tersebut sebenarnya memberikan keuntungan bagi Australia untuk ‘tidur nyenyak’. Menanggapi hal ini Dubes Nadjib memilih untuk mengedepankan cara-cara diplomatis yang dinilai lebih bijak mengingat besarnya kerjasama bilateral dalam simbiosis mutualisme dengan Australia.
Pendapat lainnya dilontarkan oleh seorang dosen Monash University, Yacinta Kurniasih. Menurutnya, di era modern ini setiap warga Indonesia patut menjadi diplomat bagi bangsa sesuai bidangnya masing-masing dan berkewajiban untuk mengklarifikasi bila ada berita-berita seputar Tanah Air yang dirasa tidak benar. Sebab, lanjut Yacinta, Australia masih dikuasai ‘dinosaurus-dinosaurus’ yang sangat tidak paham mengenai Indonesia.
Kendati hubungan bilateral Indonesia dan Australia sempat menegang, namun sebagian besar peserta berpendapat bahwa kedua negara tetap saling membutuhkan dan tidak terpisahkan. Bahkan ada yang mengibaratkan bak sepasang suami-istri yang meski bertengkar tapi tetap sayang.
ignatia