AHLI GIZI IESJE BAKAR TOBING TERIMA PENGHARGAAN DIETITIANS ASSOCIATION OF AUSTRALIA

Pada tanggal 20 Mei silam, Dietitians Association of Australia (DAA) mengadakan konferensi nasionalnya yang ke-33 di Melbourne Convention and Exhibition Centre. DAA didirikan pada 1976 dan merupakan sebuah asosiasi profesi ahli gizi nasional Australia.

Yang membuat spesial pada konferensi ini, DAA menganugerahkan sebuah sertifikat penghargaan untuk seorang ahli gizi asal Indonesia, Iesje Bakar Tobing. Iesje menerima penghargaan Membership Loyalty Award setelah menjadi anggota Dietitians Associaton of Australia selama 40 tahun.

“Untuk mendapatkan sertifikat ini saya harus mengikuti kriteria dari Dietitian dan mengikuti undang-undang, kerjanya juga tidak cacat. Kalau bekerjanya tidak benar juga ada orang yang nggak bisa terus maju. Kan kita berhubungan dengan rumah sakit, pasien, dan klinik-klinik. Dan kalau memang ada yang tidak puas, mereka bisa complain ke DAA ini,” paparnya bangga.

Sukses meraih gelar Bachelor of Science in Nutrition dari University of Otago, Selandia Baru, Iesje lalu mengemban tugas sebagai dosen di Akademi Perhotelan, Lembang, Bandung, sekaligus bekerja di Hotel Indonesia sebagai ahli gizi. Ia kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di University of Malaya di Kuala Lumpur, Malaysia. Di sini Iesje mendapatkan gelar Master setelah menimba ilmu di Fakultas Pertanian dan Medicine. Sebelum pindah ke Melbourne, ia kembali bekerja sebagai dosen bidang nutrisi di Serdang, Malaysia dan menerbitkan thesis bertajuk ‘Some Investigations of The Level of Nutrition of Rural Malays’.

“Awalnya pindah dari Kuala Lumpur ke Melbourne pada tahun 1971, karena almarhum suami dapat kerjaan di radio Australia ABC. Untuk saya, kebetulan karena punya gelar bachelor dan master dari commonwealth country terus saya dapat beasiswa untuk ikut internship year di Royal Melbourne Hospital selama 1 tahun, sekaligus praktek lihat pasien. Yang penting adalah punya pengalaman dan harus sabar menghadapi pasien,” ujarnya.

Pada tahun 1976, Iesje kemudian bergabung dengan Dietitians Association of Australia dan mulai bekerja di berbagai rumah sakit, seperti Angliss Hospital, Southern Memorial Hospital, Mercy Hospital for Women, klinik di Canterbury Road, dan masih banyak lagi. “Saya juga praktek di klinik di Collins Street, itu private practice dengan dokter. Pekerjaan saya semua mencakup penyakit-penyakit seperti diabetes, kanker, alergi dan semua yang berkenaan dengan kesehatan,” jelas wanita yang hobi olahraga dan musik ini.

Selama bekerja dan menjadi bagian dari DAA, Iesje banyak menghadiri konferensi DAA nasional dan internasional seperti di Montreal, Kanada, dan Vienna, Austria.

Bersama Claire Hewat, Chief Executive Officer DAA
Bersama Claire Hewat, Chief Executive Officer DAA

Kendati kesuksesannya di bidang tersebut, Iesje mengaku pada awalnya ia ingin menggeluti dunia kedokteran dan belum terpikir untuk menjadi seorang ahli gizi ketika memilih jurusan, namun dirinya tetap bertekad untuk menggali ilmu sedalam-dalamnya. Padahal, di tahun 1960an tidak banyak wanita Indonesia yang gigih melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat universitas, apalagi hingga ke luar negeri. “Tadinya ingin jadi dokter, saya pergi ke New Zealand, tapi uangnya nggak cukup katanya pemerintah. Selain itu, tadinya juga mau ambil pertanian, karena saya dulu juga belajar pertanian, tapi saya pikir pertanian berat sekali kerjanya, tenaga kita kan perempuan, sepertinya lebih cocok gizi, jadi masuk gizi saja,” jelasnya.

Bahkan, ketika sampai di Melbourne, Iesje masih ingin mencoba peruntungannya di bidang kedokteran, maka ia pun mengikuti ujian untuk menjadi seorang dokter. Sayangnya, ketika hanya berdua dengan satu orang lain pada waktu ujian, orang itu memiliki gelar PhD dan merupakan warga negara Australia. “Jadi akhirnya dia yang dapat. Tapi I don’t feel sad about it. Karena terbukti sekarang pembahasan mengenai gizi ada dimana-mana, di televisi, dan lainnya. Kebetulan juga karena saya orang Indonesia, banyak teman-teman yang belajar juga mengenai makanan-makanan Indonesia. Pasien juga banyak yang orang Indonesia.”

Faktanya, kedokteran dan gizi memang harus bersatu. Bahkan, Iesje kembali menjelaskan, dalam konferensi yang ia ikuti tersebut, ada seorang dokter gigi yang menjelaskan bahwa kesehatan gigi juga tergantung oleh pola makan dan asupan makanan yang kita pilih. Gigi kita penting untuk mengunyah makanan sehat, apapun itu yang kita makan akan menentukan kita menjadi sehat atau tidak. “Semuanya tergantung apa yang kita makan, you are what you eat.” “Dan ada lagi kombinasi pola makan dengan olahraga menurut umur orang masing-masing,” tambah wanita yang kini sudah pensiun.

Meski sudah penisun, Iesje tetap aktif sebagai anggota DAA. Masih banyak juga pasien atau orang-orang yang sekedar bertanya mengenai gizi melalui telepon. Apalagi dengan banyaknya informasi di internet, terkadang justru membuat bingung dan kurang tepat. Maka itu, sebagai ahli gizi, Iesje harus bersedia memberi penjelasan dan informasi yang benar. Walaupun tidak terikat dengan suatu rumah sakit tertentu, Iesje tetap dapat membantu orang lain mengenai persoalan gizi.

 

 

Sasha