Kehadiran Tulus di panggung Soundsekerta ‘Sound of The Nation’ beberapa pekan silam membuat sebagian besar masyarakat Indonesia di Melbourne bersemangat. Selain memiliki suara khas nan merdu, tembang-tembang yang dibawakan pula mempunyai makna tersirat yang membuat penggemarnya, terutama kaum hawa, terbuai. Penampilan pria kelahiran Bukittinggi, 20 Agustus 1987 yang sangat maksimal tak mengherankan mengingat pengalamannya yang luar biasa di bidang musik. Tulus telah menggondol segudang penghargaan dan predikat termasuk “Rookie of The Year” dari Rolling Stone Editors Choice, “Male Singer of The Year” versi NET. ONE Indonesian Choice Awards, dan “One of Best Top 9 Indonesia Music Album” dari Majalah Tempo. Penyanyi bernama lengkap Muhammad Tulus Rusydi ini juga didaulat untuk tampil mewakili Indonesia di Anugrah Planet Muzik Singapore.

BUSET berkesempatan bertemu dan berbincang dengan sang bintang. Mari kita simak cerita dibalik kesuksesan seorang Tulus?

BUSET: Bagaimana Tulus bisa beralih dari yang tadinya menjurus di bidang arsitek dan sekarang memilih untuk berkarir di bidang musik?

TULUS: Saya memang menyukai keduanya dulu dan saya memilih untuk menjalani kedua bidang tersebut, arsitek dan musik. Tetapi seiring berjalannya jalan, saya merasa bahwa musik lebih cocok dengan visi dan potensi saya sehingga saya memberanikan diri untuk memulai manggung, rekaman dan berbagi cerita melalui musik.

 

BUSET: Apa tujuan utama dalam berkarir sebagai penyanyi bagi Tulus?

TULUS: Hal ini baru saya sadari akhir-akhir ini bahwa ada sesuatu yang sangat spesial diberikan oleh saya dari Sang Pencipta, yaitu kemampuan saya dalam bernyanyi dan menulis lagu. Saya sangat menikmati bakat saya tersebut. Tapi ternyata manfaat terbesarnya adalah ketika lagu-lagu yang saya ciptakaan tersampai di telinga yang mendengar. Jadi, dapat saya simpulkan bahwa tujuan terbesar saya adalah saya berusaha seoptimal mungkin untuk memaksimalkan bakat yang sudah dititipkan untuk membuat orang lain dan saya bahagia.

 

BUSET: Apa kesulitan dan pengalaman pahit yang dialami ketika memutuskan untuk menjadi pemusik?

TULUS: Pada saat saya terjun di industri musik, saya adalah orang yang tidak dapat memainkan musik sama sekali dan saya tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang musik. Saya murni menggunakan instinct dalam bernyanyi. Tetapi, masalah tersebut terselesaikan ketika saya bertemu dengan produser saya. Ibaratnya, lagu-lagu saya itu telanjang dan yang membuat bajunya adalah produser saya agar setiap lagu dapat lebih representatif. Prosesnya adalah bagaimana kita berdua menyesuaikan visi lagu dengan suasana yang ingin dimiliki oleh pendengar. Sebagai contoh, salah satu lagu kita dengan suasana “comfortable” yang membuat pendengar dapat menjadi lebih santai ketika mendengar lagu tersebut. Setiap proses pembuatan lagu itu sangat unik dan penuh imajinasi.

 

BUSET: Apa pengalaman yang paling berkesan sejauh ini?

TULUS: Konser tunggal saya pada tanggal 28 September 2011 dengan kapasitas yang sangat kecil yang menampung sekitar 200 orang. Konser tersebut adalah konser perdana saya sehinga perasaan saya bercampuk aduk pada saat itu. Tetapi, saya bersyukur banget karena malam hari itu penuh dan walaupun kapasitasnya hanya sedikit, energi yang saya rasakan sangatlah besar dan tidak akan pernah saya lupakan. Malam itu adalah malam yang lumayan bersejarah bagi saya, karena walaupun sekarang kita semakin berkembang secara quantitas, konser tunggal perdana saya itu masih saya ingat dan energinya masih bisa saya rasakan sampai sekarang.

 

BUSET: Siapa yang paling memotivasi dan menyemangati Tulus untuk terus berkarya?

TULUS: Banyak sekali, termasuk diri saya sendiri. Lalu diikuti dengan anggota keluarga saya, terutama kakak pertama saya yang sekarang menjadi executive producer saya. Dia yang paling percaya akan bakat saya dan sangat berperan penting dalam membangun kepercayaan diri saya. Selain itu adalah guru saya yang bernama Ibu Nur. Ialah yang pertama kali bilang bahwa saya itu bisa nyanyi.

 

BUSET: Apa inspirasi utama Tulus dalam membuat album “Gajah”?

TULUS: Setiap lagu memiliki cerita yang berbeda-beda di album “Gajah” ini, tetapi spirit yang paling menonjol di album ini terdapat pada lagu Gajah itu tersendiri. Di lagu ini saya ingin menyampaikan bahwa kita harus yakin bahwa pasti terdapat hal yang positif dibalik hal yang paling tidak menyenangkan sekalipun. Dulu saya sempat dipanggil “Gajah” oleh teman-teman saya karena badan saya yang besar dan pas saya besar saya ubah pengalaman tersebut sebagai sebuah lagu.

 

Tulus
Tulus

BUSET: Apa lagu yang paling berkesan di album “Gajah”?

TULUS: Gajah. Saya awalnya sempat ragu untuk mengeluarkan lagu ini, tetapi akhirnya setelah berani merekam, saya sangat senang. Karena setelah digali, Gajah ini adalah binatang yang terhitung sangat cerdas, kuat, sangat sosialis dan mandiri. Selain itu, Gajah adalah satu-satunya binatang yang bisa bikin perangkat atau alat bantu kerja.

 

BUSET: Seperti yang kita tahu, lirik dan judul lagu album “Gajah” ini sangat tidak mainstream. Bagaimana cara Tulus membuat judul dan lirik dari setiap lagu?

TULUS: Saya menulis lagu dari apa yang saya dengar dan apa yang saya rasakan, lalu biasanya liriknya dulu jadi baru judulnya belakangan. Menurut saya, judul lagu adalah sebuah kata-kata yang merepresentasikan sebuah lagu. Untuk lirik lagunya sendiri saya biasanya mengambil inspirasi dari pengalaman hidup saya sendiri, orang lain dan bisa juga dengan berimaginasi. Proses pembuatan lagu itu sebenarnya jorok, dalam arti tidak disengaja dan bisa terbuat dimana saja.

 

BUSET: Apa pendapat Tulus mengenai industri musik di Indonesia?

TULUS: Menurut saya, itu tergantung dari kacamata setiap individu dalam arti bahwa setiap invididu memiliki pandangan yang berbeda. Tetapi yang saya lihat sejauh ini adalah setiap industri di Indonesia memiliki visi untuk maju dan menghasilkan lagu-lagu yang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi, beban yang paling berat menurut saya adalah pembajakan dimana lagu-lagu sudah tidak dihargai lagi di jaman sekarang. Yang kita dapat lakukan adalah membuat orang untuk dapat lebih mengapresiasi karya kita dengan cara seperti menonton konser atau membeli produk yang asli.

 

 

marcia Julia
foto: krusli