Banyaknya berita bohong atau berita hoax merupakan salah satu alasan dari adanya perpecahan dan konflik di tengah-tengah masyarakat. Tersedianya beberapa saluran untuk mendapatkan informasi, menjadikan informasi terlalu simpang siur dan menumpuk sehingga masyarakat tidak lagi dapat dengan mudah membedakan berita mana yang benar dan mana yang bohong. Dan dengan perkembangan teknologi yang sudah begitu cepat – dimana masyarakat secara universal memiliki perangkat elektronik dan akun media sosial – menjadi sangat memudahkan fake news atau berita bohong untuk tersebar secara luas.


Berita Bohong adalah Masalah Serius

Dilansir dari Tempo, salah satu anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, menyatakan bahwa fake news sudah masuk dalam tahap yang serius di Indonesia. Ditemui disela-sela acara World Press Freedom Day 2017 lalu, Imam juga menjelaskan bahwa saat ini bahkan berita bohong yang tersebar di media sosial juga diadopsi oleh media mainstream, hal ini lah yang memperburuk keadaan berita bohong. “Di local election, fake news tumbuh dengan sangat cepat. Ini juga ancaman terus-menerus bagi kita di Indonesia, setiap tahun kita berhadapan dengan berita bohong,” jelas Imam.


Ciri-ciri Berita Bohong

Yosep Adi Prasetyo, selaku Ketua Dewan Pers, dilansir dari Tribun News, menjabarkan ciri-ciri berita hoax atau berita bohong. Ciri pertama yang disebutkan Yosep adalah “begitu disebar, ia dapat mengakibatkan kecemasan, permusuhan dan kebencian pada diri masyarakat yang terpapar”. Berita bohong biasanya berisikan informasi yang timpang yang menimbulkan kecemasan atau menimbulkan kebencian kepada satu golongan di masyarakat.

Ciri kedua adalah “ketidakjelasan sumber beritanya”. Berita bohong atau fake news biasanya tidak memiliki sumber yang jelas, jika pun berasal dari sebuah situs, situs tersebut pun mungkin tidak dapat diverifikasi sebagai situs berita yang valid.
Ciri ketiga adalah “pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu”. Seorang jurnalis atau wartawan atau penulis berita diharuskan untuk menuliskan sebuah berita yang ‘cover both sides’, artinya berita tersebut memiliki sumber dari narasumber dan juga orang yang diberitakan, sehingga tidak ada pihak yang benar dan yang salah. Dalam penulisan berita bohong, biasanya tidak digunakan penulisan ‘cover both sides’ sehingga terkadang menyudutkan satu pihak dan menimbulkan kebencian terhadap pihak tersebut.

Ciri keempat adalah “sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi”. Yosep menjelaskan bahwa biasanya berita bohong mempunyai judul dan pengantar yang provokatif, memberikan penghakiman bahkan penghukuman, namun tanpa data dan fakta yang valid. Berita bohong juga biasanya menggunakan data perkataan dari tokoh yang memiliki peran penting di masyarakat, sehingga masyarakat semakin percaya walaupun sebenarnya perkataan tersebut belum tentu benar juga.

Media Sosial adalah Tempat Informasi yang Belum Terverifikasi

Banyak berita bohong tersebar dari media sosial, mulai dari yang memiliki lingkup luas seperti Facebook, hingga yang memiliki lingkup personal seperti WhatsApp atau LINE. Berita yang disebarkan lewat chatroom tentu saja akan lebih cepat tersebar, karena dengan satu klik maka orang akan langsung bisa membaca dan kembali membagikannya kepada orang lain.

Yosep, dalam artikel yang ditulis oleh Tribun News, menyatakan bahwa “yang ada di media sosial itu informasi belum terverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu jika ada informasi di medsos, baca dengan teliti, klarifikasi kebenarannya, verifikasi dengan cara membandingkan berita yang sama dari sumber berbeda, jangan langsung diterima atau disebar ulang.”

Apa Yang Dapat Kita Lakukan?

Untuk mempermudah pembaca BUSET dalam menyikapi banyaknya fake news atau berita bohong atau hoax yang bersebaran di masyarakat, dunia maya, ataupun media sosial, BUSET mewawancarai beberapa wartawan, baik yang melakukan pendidikan jurnalistik, maupun mereka yang sudah lama bekerja di bidang jurnalistik.

Lani Diana

Lani Diana, seorang wartawan yang pada saat kuliah mengambil jurusan Jurnalistik dan sempat menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ultimagz, dan sempat bekerja sebagai wartawan di Tempo menyatakan bahwa setiap orang harus menjadi seperti wartawan.

“Kita harus skeptis dan filter info yang kita terima. Kita sebagai pembaca harus konfirmasi info-info yang kita dapat. Bagaimana caranya? Ya dengan baca berita. Bacalah berita di media yang memang kredibel, bukan di media yang nggak jelas. Media yang kredibel kalau di Indonesia contohnya adalah kantor berita ANTARA atau Reuters,

Setelah membaca berita atau informasi, pembaca juga harus kembali mengulik apakah berita tersebut masuk akal dan sudah terkonfirmasi dengan baik atau belum,” jelas Lani.

Narendra Hutomo

Sempat melakukan magang di VICE Indonesia, Narendra Hutomo menjadi narasumber BUSET selanjutnya yang memberikan tips untuk menghadapi berita bohong atau hoax yang tersebar di masyarakat. Menurut Narendra, kita sebagai konsumen media harus ‘stay independent’.

“Kalau kita mau membuka internet, atau grup WhatsApp, atau apapun, kita harus membuat mindset kalau apapun yang nanti kita baca dan kita lihat itu belum tentu benar. Lagi-lagi ini ada hubungannya dengan literasi media, kita harus berpikiran kalau ‘gue adalah orang yang membaca berita yang memang ingin gue tahu dan yang memang ingin gue baca’, jangan sampai jadi orang yang dijejelin atau dinumpang-lewatin informasi,” jelasnya.

Syarifah Sahnath Assiry dan Siti Sarah Zahira

Dua wartawan perempuan, Syarifah Sahnath Assiry dan Siti Sarah Zahira, yang bekerja untuk Gogirl! Media, mengatakan bahwa kita harus selalu melakukan cross-check setelah menemukan suatu informasi.

“Habis dapat berita atau baca berita, kita jangan langsung menyimpulkan kalau berita tersebut benar atau langsung percaya, kita harus tunggu dulu, atau melihat sumber-sumber lain. Kalau dapat infonya dari satu portal berita, coba cek portal berita yang lain, apakah mereka juga mengeluarkan berita atau informasi yang sama, jangan langsung disebar. Tunggu sampai ada konfirmasi terhadap berita tersebut,” jelas Sarah.

Sahnath pun menyatakan bahwa, “Kita harus selalu cross-check berita yang kita lihat, baru-baru ini banyak banget berita beredar yang padahal sebenarnya berita itu adalah berita hoax. Jadi cara paling gampang adalah kita meng-googling judul berita tersebut di Google, kalau yang keluar link-nya nggak terlalu banyak, bisa jadi berita itu berita hoax.”

Fake news, berita bohong, hoax, apapun itu, adalah sesuatu yang dibuat oleh satu pihak dengan tujuan yang tidak baik. Maka alangkah baiknya, sebagai konsumen berita atau informasi dan juga pengguna media sosial dan media mainstream, kita harus belajar untuk lebih kritis dan tidak langsung percaya informasi negatif yang tersebar hanya lewat chat WhatsApp ataupun status di Facebook.

 

 

 

adbm